Zainuddin Labay El-Yunus



            Syekh Zainuddin Labay El-Yunus lahir di Bukit Surungan Padangpanjang pada hari kamis, tanggal 12 Rajab 1308H/1890 M. Ia meninggal pada tahun 1924 dalam usia 34 tahun. Pada usia 8 tahun, ia sekolah di Governement Padangpanjang sampai kelas IV, karena tidak puas dengan metode mengajar waktu itu. Walaupun demikian, semangatnya untuk menuntut ilmu tidak pudar. Secara autodidak, ia banyak membaca buku-buku, baik agama maupun umum. Akan tetapi karena desakan dari orang tuanya untuk sekolah, akhirnya secara berturut-turut, ia berguru pada H. Abdullah Ahmad, H. Abbas Abdullah, H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul). Dalam perjalanan intelektualnya, Zainuddin lebih banyak belajar secara autodidak. Hal ini dilakukan karena tidak puas dengan materi dan cara mengajar guru-gurunya waktu itu. Untuk mewajibkan cita-citanya, pada tanggal 10 Oktober 1915, ia mendirikan Diniyah School di Padangpanjang yang sarat dengan ide pembaharuan. Ia melakukan perombakan terhadap sistem dan metode yang lebih sistematis, serta mengubah sistem pendidikan surau dengan sistem pendidikan klasikal. Meskipun bahasa pengantar dipergunakan bahasa Arab, namun materi pendidikan yang ditawarkan meliputi pendidikan agama dan umum yang langsung diambil dari buku-buku dari Mesir dan Belanda. Murid-muridnya antara lain: AR. St. Mansur, Hamka, Duski Samad, dan adiknya, Rahmah el-Yunusiyah.
            Selain mengajar, ia juga aktif menuangkan buah pikirannya melalui karya tulis, baik dalam bentuk buku maupun artikel. Diantara buku karangannya adalah tentang fiqh, tata bahasa Arab, biografi Musthafa Kamil, kitab ‘Aqaid al-Diniyah, Arsyad al-Murid, dan lain sebagainya. Disamping kitab-kitab tersebut, ia juga banyak menulis artikel di majalah al-Munir.
            Perhatian Zainuddin terhadap pembaharuan pendidikan Islam sangat luas. Hal ini terbukti dengan aktivitas kependidikan yang dilakukannya, mulai dengan mengajar di Surau Jembatan Besi sampai akhirnya ia mendirikan sekolah yang diberinya nama Diniyah School pada tahun 1915. Lembaga pendidikan Diniyah School memperkenalkan sistem pendidikan modern, yaitu dengan menggunakan sistem klasikal dan kurikulum yang teratur. Materi pendidikan yang ditawarkan bukan hanya ilmu agama, akan tetapi juga ilmu umum sebagaimana yang diajarkan di lembaga pendidikan government, seperti bahasa asing, ilmu bumi, sejarah, dan matematika. Selain itu, murid-murid Diniyah School pada umumnya diseleksi dengan cermat dan memenuhi syarat yang ditetapkan, seperti murid-murid dalam satu kelas rata-rata memiliki umur dan kesanggupan yang sama. Suatu pendekatan yang masih baru bagi lembaga pendidikan waktu itu. Hal ini disebabkan karena kebanyakan lembaga pendidikan Islam tradisional menyelenggarakan pendidikan dengan sistem halaqah, berorientasi pada ilmu agama, tidak menggunakan sistem klasikal, dan bentuk kurikulum yang tidak sistematis.
            Melalui lembaga pendidikan yang didirikannya, ia berharap dapat menciptakan output yang berkualitas, tidak hanya ilmu agama, akan tetapi juga ilmu umum lainnya. Output seperti ini sangat dibutuhkan umat dan bangsa ini untuk membangun peradaban dan mengejar ketertinggalannya selama ini. Dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama, Zainuddin lebih banyak mengambil metode Mesir. Akan tetapi, dalam mengajarkan ilmu-ilmu umum, ia cenderung mengambil gagasan pembaharuan pendidikan yang dikembangkan Musthafa Kamil Pasya, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Kedua pendekatan ini terlihat jelas dari kitab yang digunakan lembaga ini. Disamping kitab yang dikarangnya, ia juga menggunakan kitab Arab sebagaimana pendidikan Mesir untuk ilmu agama dan ilmu umum dengan menggunakan literatur barat.
            Sebelum pengajaran membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu lainnya, susunan pelajaran Diniyah School dimulai dengan mengajarkan pengetahuan bahasa Arab. Penekanan Zainuddin pada bahasa Arab dilatarbelakangi karena materi tersebut merupakan alat utama yang perlu dikuasai peserta didik agar mudah mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Metode yang diterapkan Zainuddin untuk memperkenalkan bahasa Arab dimulai dengan memperkenalkan tulisan Arab dan menyusun kalimat dalam bahasa Arab melayu. Kemudian untuk kelas menengah, bahasa Arab yang digunakan adalah bahasa Arab sederhana, sementara untuk kelas tertinggi ia menggunakan buku-buku terbitan Kairo dan Beirut.
            Selain melalui lembaga pendidikan formal yang didirikannya, ia juga memanfaatkan majalah al-Munir sebagai media pendidikan umat Islam. Melalui berbagai tulisannya, ia mencoba membuka wawasan umat Islam tentang universalitas ajaran Islam. Ia bahkan tidak segan-segan mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan fatwa ulama terdahulu, jika memang ia pandang pendapat tersebut tidak lagi sesuai dengan ruh universal ajaran Islam. Dalam upayanya ini, ia seringkali mendapat kritikan dan tantangan dari ulama yang sesat dan ulama Wahabi yang telah keluar dari Mazhab ahl-Sunnah wa al-Jama’ah. Namun demikian, hal tersebut tidak membuatnya “patah semangat”, bahkan semakin mendorongnya untuk tetap kritis dan konsisten dengan ide pembaharuannya. Oleh karena itu, tak heran jika Steenbrink menilai ketokohannya sebagai sosok ulama yang memiliki kepribadian tokoh.

0 komentar: