MAKALAH KULTUR ANGGREK



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Keanekaragaman spesies anggrek di indonesia sangat besar,diperkirakan sekitar 5000 spesies anggrek yang tersebar di hutan Indonesia. Keadaan ini merupakan potensi yang sangat berharga bagi pengembangan anggrek di Indonesia. Terutama berkaitan dengan sumber daya genetik angger yang sangat diperlukan untuk menghasilkan anggrek-anggrek silang yang baik dan unggul. Sangat disayangkan keanekaragaman jenis anggrek tersebut terancam kelestariannya karena maraknya penebangan hutan dan konversi hutan. Penyebab lainnya adalah banyaknya pencurian terselubung oleh orang asing terhadap anggrek-anggrek asli alam. Oleh karena itu perlu melestarikan serta menginventariskan plasma nutfah jenis-jenis anggrek yang kita miliki. Sehingga terjamin kelestarian keanekaragaman jenis anggrek tersebut ( Sandra, 2004).
Kultur jaringan tanaman adalah metode atau teknik mengisolasi jaringan, organ, sel maupun protoplas tanaman, menjadikan eksplan dan menumbuhkannya ke dalam media pertumbuhan yang aseptik sehingga eksplan tersebut dapat tumbuh dan berkembang, berorganogenesis dan dapat beregenerasi menjadi tanaman sempurna. Teknik kultur jaringan beranjak dari teori totipotensi (total genetic potensial) yang dikemukakan oleh Sleiden dan Schwan pada tahun 1838. Menurut teori ini sel tanaman adalah suatu unit yang otonom yang didalamnya mengandung material genetik lengkap, sehingga apabila ditumbuhkan didalam lingkungan tumbuh yang sesuai akan tumbuh dan bregenerasi menjadi tanaman lengkap/utuh (Mattjik 2005).
Menurut Yusnita (2003) kultur jaringan dapat digunakan untuk keperluan ; menyimpan plasma nutfah, menyelamatkan embrio, memperbanyak klonal tanaman, manipulasi kultur protoplas, merekayasa genetik tanaman, memproduksi tanaman haploid, dan menginduksi ragam somaklonal. Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan sangat bermanfaat untuk memperbanyak tanaman introduksi, tanaman klon unggul baru, dan tanaman bebas patogen yang perlu diperbanyak dalam jumlah besar dalam waktu relatif singkat. Aklimatisasi planlet merupakan salah satu tahap kritis yang sering menjadi kendala. Pemilihan bagian
tanaman yang digunakan sebagai eksplan, perlu memperhatikan umur fisiologis dan ontogenetik tanaman induk, serta ukuran eksplan karena ini merupakan faktor penting dalam kultur jaringan. Eksplan yang digunakan pada umumnya adalah bagian tunas pucuk (tunas apikal) atau mata tunas lateral pada potongan batang berbuku dan bagian daun.
Pada kultur jaringan penyimpangan dalam proses mitosis tetap dapat terjadi. Penyimpangan mitosis ini akan mengakibatkan perubahan genetika sehingga tanaman baru yang dihasilkan tidak sama dengan induknya (ragam somaklonal). Ragam somaklonal didefinisikan sebagai ragam genetik dari tanaman yang dihasilkan oleh sel somatik tanaman yang ditumbuhkan secara in vitro (Mattjik 2005).
Perbanyakan anggrek dapat dilakukan secara generatif maupun vegetatif. Secara generatif, perbanyakan dilakukan melalui proses perkecambahan biji anggrek secara in vitro yang diawali dengan penanaman biji dengan cara penaburan biji pada media padat atau cair. Biji tersebut dapat ditumbuhkan langsung menjadi planlet. Secara vegetatif perbanyakan dapat dilakukan menggunakan bagian somatis tanaman melalui subkultur yang ditanam dalam media tanam sehingga tumbuh menjadi PLB (protocorm like bodies) dan kemudian diregenerasikan menjadi planlet. Hal tersebut dapat dilakukan melalui modifikasi media baik hormon maupun nutrisi (Hendaryono 2000).

1.2  Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
-          Mengetahui cara memperbanyak anggrek dengan kultur jaringan
-          Mengetahui cara pengkulturan anggrek dengan metode yang baik









BAB II
Tinjauan Pustaka
Anggrek secara taksonomi diklasifikasikan ke dalam phyllum Spermatophyta atau tumbuhan berbiji, kelas Angiospermae atau berbiji tertutup, subkelas Monocotyledonae atau bijinya berkeping satu, ordo Gynandrae karena alat reproduksi jantan dan betina bersatu sebagai tugu bunga dan famili Orcidaceae atau keluarga anggrek (Kartiman, R. 2004).
Famili anggrek mempunyai 750 genus berbeda dengan 25 000 spesies dan lebih dari 30 000 kultivar hasil persilangan (Hew dan Yong, 1996). Dendrobium merupakan salah satu genus anggrek terbesar di Asia (Warren dan Tettoni, 1996). Nama Dendrobium berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata dendron artinya pohon dan biein artinya untuk hidup. Secara keseluruhan Dendrobium berarti tanaman yang hidup pada pohon. Genus Dendrobium diperkenalkan oleh seorang botanist Swedia, Olaf Swarts pada tahun 1800. Botanist tersebut
mendiskripsikannya dalam sembilan spesies. Dendrobium tumbuh di AsiaTenggara, Himalaya (Nepal dan Sikkim), Birma, propinsi Moulmein, India Barat Daya, Ceylon, Malaysia, Filipina, Indonesia, New Guinea, Australia, Cina dan Jepang (Widiastoety. 1997).
Bentuk daun anggrek bermacam-macam dari sempit memanjang, pensil, bulat, bulat-lonjong, bulat telur, mata lembing/lanset, jantung dan masih banyak lagi variasi lainnya. Seperti umumnya tumbuhan monokotil, daun anggrek memiliki tulang daun yang sejajar dengan helaian daun dan tidak memiliki pertulangan yang bercabang. Tebal daun bervariasi dari tipis hingga tebal berdaging (sukulen). Pada setiap bukunya, daun melekat berselang-seling atau berpasangan dan setiap buku terdapat dua helai daun yang berhadapan (Widiastoety. 1997). Dendrobium mempunyai daun yang tebal (Hew dan Yong, 1996). Bentuk daun pada Dendrobium bigibbum dan Dendrobium phalaenopsis hampir sama, bentuk daunnya besar di bagian pangkal dan mengecil di bagian ujung. Panjang daunnya dapat mencapai 10 cm (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2004).
Ciri lain dari tanaman anggrek Dendrobium sp. adalah mempunyai pseudobulbs tegak lurus dengan daun dalam dua baris. Pseudobulbs biasanya membesar pada bagian paling dasar dan bagian tengah. Daun pada bagian paling bawah dari pseudobulbs adalah kecil atau tidak ada (Sutiyoso, Y. 2005).
Dendrobium sp. termasuk dalam tipe anggrek epifit yang dapat tumbuh pada pohon maupun batu, dengan beberapa akarnya menggantung di udara . Akar anggrek epifit umumnya lunak dan mudah patah, ujung runcing, berklorofil, licin dan memiliki daya lekat. Rambut-rambut pendek yang melekat pada bagian akar digunakan untuk menyerap air dan hara (Syuhud, P. 2008.).
Menurut Dressler dan Dodson (2000), klasifikasi anggrek Dendrobium adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi                : Spermatophyta
Subdivisi         : Angiospermae
Kelas               : Monocotyledoneae
Ordo                : Orchidales
Famili              : Orchidaceae
Subfamili         : Epidendroideae
Suku                : Epidendreae
Subsuku          : Dendrobiinae
Genus              : Dendrobium
Genus Dendrobium mempunyai keragaman yang sangat besar, baik habitat, ukuran, bentuk pseudobulb, daun maupun warna bunganya. Spektrum penyebarannya luas, mulai dari daerah pantai sampai pegunungan. Tersebar di India, Sri Lanka,Cina Selatan, Jepang ke selatan sampai Asia Tenggara hingga kawasan Pasifik, Australia, Selandia Baru, dan Papua Nugini. Tumbuh baik pada ketinggian 0−500 m dpl dengan kelembapan 60−80%. Budi daya anggrek yang paling mudah adalah yang berasal dari tempat asalnya (Lingga, P. dan Marsono. 2001).
Persyaratan tumbuh setiap jenis anggrek berbeda-beda, tetapi semua jenis memerlukan aliran udara yang selalu bergerak. Manfaat aliran udara ini untuk mencegah timbulnya penyakit akibat lingkungan yang terlalu basah, menurunkan suhu udara pada siang hari yang panas, dan membawa unsur-unsur yang dibutuhkan tanaman seperti CO2, N2, dan air (Setiawan, 2005).
Anggrek Dendrobium merupakan tanaman yang berasal dari daerah tropis yang membutuhkan sinar matahari dan temperatur yang cukup panas, tidak seperti anggrek tertentu yang hanya cocok di daerah dingin seperti Paphiopedillum. Dendrobium membutuhkan cahaya 50-60% dan suhu 28-30oC dengan suhu minimal 15oC (Anggrek.org., 2005). Sedangkan lingkungan yang dikehendaki anggrek ini tidak terlalu basah tetapi membutuhkan kelembaban yang tinggi yaitu 65%-70%. Apabila keadaan media terlalu basah dapat menyebabkan tunas atau daun menjadi busuk (Kartiman, R. 2004). Kebutuhan lingkungan tumbuh tersebut dapat diatasi dengan pemberian naungan dan pengabutan dengan sprayer.
Pertumbuhan anggrek Dendrobium optimal pada ketinggian kurang dari 400 mdpl walaupun pada ketinggian yang lebih tinggi masih dapat tumbuh dan berbunga (Setiawan, 2005). Lingkungan tumbuh Dendrobium tersebut merupakan daerah yang cukup panas. Umumnya Dendrobium hanya disiram pada saat hari cerah, saat mendung, hujan atau berkabut tidak perlu dilakukan penyiraman. Penyiraman pada saat media anggrek telah kering merupakan waktu yang tepat (Lingga, P. dan Marsono. 2001).

2.1 KULTUR JARINGAN
 Kultur jaringan tanaman pertama kali berhasil dilakukan ole White pada thaun 1934. Pada tahun 1939, Whiter melaporkan keberhasilannya dalam membuat kultur kalus dari wortel (animasi kultur kalus wortel) dan tembakau. Pada tahun 1957, tulisan penting Skoog dan Miller dipublikasikan dimana mereka menyatakan bahwa interkasi kuantitatif antara auksin dan sitokinin menentukan tipe pertumbuhan dan morfogenik yang akan terjadi. Penelitian mereka pada tembakau mengindikasikan bahwa perbandingan auksin dan sitokinin yang tinggi akan menginduksi pengakaran, sedangkan rasio sebaliknya akan menginduksi pembentukan tunas. Akan tetapi pola respon ini tidak berlaku universal. Temuan penting lainnya adalah hasil penelitian Morel tentang perbanyakan anggrek melalui kultur jaringan pada tahun 1960, dan penggunaan yang meluas media kultur dengan konsentrasi garam mineral yang tinggi, dikembangkan oleh Murashige dan Skoog tahun 1962.
Kultur jaringan, cara ini disebut juga cara non konvensional karena membutuhkan teknologi dan biaya yang tidak sedikit untuk memulai dan melakukannya, juga dibutuhkan pengetahuan yang lebih rumit. Perbanyakan ini menggunakan bagian kecil dari tanaman (dapat berupa daun, akar, ujung batang, atau bunga) yang ditanam dalam kondisi aseptik dan lingkungan yang terkendali (Wattimena et al., 1992)
Perkembangan kultur jaringan anggrek di Indonesia sangat lambat dibandingkan negara-negara lain, bahkan impor bibit anggrek dalam bentuk ‘flask’ sempat membanjiri nursery-nursery anggrek. Keadaan ini disebabkan pengetahuan pembudidaya anggrek yang sangat sedikit mengenai teknik ini. Selain itu kultur jaringan memerlukan investasi yang besar untuk membangun laboratorium yang mungkin hanya cocok untuk perusahaan.
Kultur jaringan adalah teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman dalam kondisi aseptik sehingga dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi individu baru yang utuh. Teknik kultur jaringan didasari oleh konsep totipotensi sel yang artinya total genetic potential atau setiap sel dari tubuh multisel memiliki potensi memperbanyak diri dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap (George dan Sherrington, 1984).
Media yang digunakan dalam kultur jaringan anggrek tidak jauh berbeda dengan media lainnya. Beberapa media yang digunakan untuk perbanyakan anggrek adalah Knudson 'C' (Knudson, 1946), Wimber (Wimber, 1963) atau Fonnesbech (Fonnesbech, 1972) atau media MS (Murashige and Skoog, 1962). Media yang digunakan umumnya media padat, kecuali Cattleya yang dikulturkan dalam media cair. Media ini dipadatkan dengan Bacto agar (8 - 10 %). Sebagai sumber karbon, sukrose ditambahkan dalam media (20 gr/L), atau kombinasi glukose (10%) dan sukrose (10%). Hormon pertumbuhan ditambahkan dalam media ini dalam konsentrasi rendah. Auksin yang digunakan antara lain IAA, IBA, NAA atau 2,4-D pada konsentrsi 1 mg/L karena diduga auksin dapat merangsang pertumbuhan akar. Sitokinin yang digunakan umumnya adalah Kinetin dan BAP pada konsentrsi 0.5 mg/L untuk merangsang pertumbuhan tunas (Mulyaningsih dan Nikmatullah, 2006).




















BAB III
PEMBAHASAN

            Kultur Jaringan adalah teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri & bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Prinsip utamanya adalah perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman, menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril. Teknik kultur jaringan pada saat ini telah berkembang menjadi teknik perkembangbiakan tanaman yang sangat penting pada berbagai spesies tanaman.

 Manfaat Kultur Jaringan Tanaman
1. Perbanyakan cepat dari klon Kecepatan multiplikasi sebanyak 5 akan memberikan 2 juta plantlet dalam 9 generasi yang memerlukan waktu 9 – 12 bulan.
2. Keseragaman genetik.
Karena kultur jaringan merupakan perbanyakan vegetatif, rekombinasi karakter genetik acak yang umum terjadi pada perbanyakan seksual melalui biji, dapat dihindari. Karenanya, anakan yang dihasilkan bersifat identik. Akan tetapi, mutasi dapat terjadi pada kultur jaringan pada saat sel bermultiplikasi, terutama pada kondisi hormone dan hara yang tinggi. Mutasi genetik pada masa multiplikasi vegetatif ini disebut „variasi somaklonal‟.
3. Kondisi aseptik
Proses kultur jaringan memerlukan kondisi aseptik, sehingga pemeliharaan kultur tanaman dalam kondisi aseptik memberi bahan tanaman yang bebas pathogen
4. Seleksi tanaman
Adalah memungkinkan untuk memiliki tanaman dalam jumlah besar pada wadah kultur yang relative kecil. Seperti telah disebutkan sebelumnya, variasi genetik mungkin terjadi. Juga, adalah memungkinkan untuk memberi perlakuan kultur untuk meningkatkan kecepatan mutasi. Perlakkuan dengan bahan kimia (bahan mutasi, hormone) atau fisik (radiasi) dapat digunakan.
5. Stok mikro
Memelihara stok tanaman dalam jumlah besar mudah dilakukan pada in vitro culture. Stok induk biasanya dipelihara in vitro, dan stek mikro diambil untuk diakarkan di kultur pengakaran atau dengan perbanyakan biasa.
6. Lingkungan terkontrol
7. Konservasi genetik
Kultur jaringan dapat digunakan untuk menyelamatkan spesies tanaman yang terancam (rare and endangered species). Metode dengan pemeliharaan minimal, penyimpanan jangka panjang telah dikembangkan.
8. Teknik kultur jaringan dapat digunakan untuk menyelamatkan hibrida dari spesies yang tidak kompatibel melalui kultur embrio atau kultur ovule.
9. Tanaman haploid dapat diperoleh melaui kultur anther.
10. Produksi tanaman sepanjang tahun.
11. Perbanyakan vegetatif untuk spesies yang sulit diperbanyak secara normal dapat dilakukan melalui kultur jaringan.

Pemanfaatan metode kultur jaringan tanaman anggrek mulai diterapkan pada perusahaan anggrek milik Everest Me Dede pada tahun 1950, tetapi tidak dilaporkan secara luas pada waktu itu ( Bergman, 1972). Kultur jaringan tumbuh dan berkembang menjadi tanaman kecil-kecil yang banyak jumlahnya dan bebas dari virus. Berdasarka percobaan inilah digunakan teknik kultur jaringan anggrek untuk memperoleh klon-klon yang bebas dari virus.
Bahan –bahan yang digunakan untuk kultur jaringan yang diperkirakan dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman. Syarat yang harus dipenuhi dalam memilih bahan yang digunakan untuk kultur jaringan ialah : jaringan yang sedang aktif pertumbuhannya, seperti tunas, daun, mata tunas, tangkai tunas dan ujung akar. Bahan yang baik adalah bahan yang diambil semuda mungkin,  bahan yang diambil perlu dijaga sterilitasnya. Hal ini disebabkan kebersihan kultur jaringan sangat dipengaruhi oleh gagal atau tidaknya menjaga sterilitasnya
( Soeryowinoto, 1977). Eksplan yang diambil dari tunas anggrek berasal dari bagian terujung meristem apikal atau tunas ketiak sebesar 4-10 cm, selain itu eksplan anggrek juga dapat diperoleh dari biji tanaman anggrek yang keluar pada bagian atas. Media kultur jaringan memegang peranan penting dalam menunjang pertumbuhan jaringan yang terdiri dari unsur makro dan unsur mikro. Gula sebagai pengganti karbon, juga tersusun dari vitamin-vitamin, asam amino, zat pengatur tubuh, bahan pemadat berupa agar dan senyawa-senyawa komplek alamiah ( Winata,1988).
Sutji (1988) mengatakan unsur-unsur hara merupakan unsur makro dan unsur mikro seperti N, P, K, Ca, Mg, S, Fe, Cu, Mn, Zn, Mo dan Co. Masing- masing unsur tersebut mempunyai peranan penting didalam pembentukan klorofil,protein, mempertinggi aktivitas enzim, mengaktifkan pembentukan jaringan meristematik, translokasi karbohidrat dan lain-lain. Selanjutnya dikatakan bahwa karbohidrat disamping sumber energi terhadap tanaman, juga merupakan sumber nutrisi yang berperan terhadap pertumbuhan kultur sel tanaman. Juga merupakan sumber nutrisi yang berperan terhadap pertumbuahan kultur sel tanaman. Sumber karbon ini digunakan sebagai penghasil energi dalam proses respirasi,pertumbuhan sel-sel baru dan dalam konsentrasi yang tinggi dapat merangsang pertumbuhan akar.
Kondisi lingkungan kultur jaringan memrupakan faktor lain yang sangat menentukan keberhasilan dalam kultur jaringan. Menurut Sutji ( 1988) faktor-faktor lingkungan tersebut antara lain, cahaya, temperatur dan pH media. Perana cahaya terhadap pertumbuhan ditentukan oleh lamanya penyinaran. Intensitas cahaya yang baik dari lampu antara 100-400 Ft-0. Untukpembentukan tunas dan akar diperlukan tunas dan akar pada PLB anggrek diperlukan penyinaran optimum 16 jam per hari.
Sutji (1988) mengatakan pertumbuhan kultur jaringan memerlukan temperatur tertentu. Secara umum kultur jaringan tumbuh dengan baik pada temperatur 20 C sampai 28 C. Untuk mengontrol temperatur ruangan kultur jaringan dibantu dengan AC.        


















DAFTAR PUSTAKA

Anggrek.org. 2005. Budidaya Tanaman Anggrek. http://www.anggrek.org/ budidaya tanaman-anggrek.html. 8 November 2008.
Baker K. F. and Cook R. J. 1974. Biological Control of Plant Pathogens. San Fransisco: W. H. Freeman and Company. 433 p.
Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 2004. Peluang ekspor produk florikultura. Makalah pada Seminar Nasional Florikultura, Kebun Raya Bogor, 4-5 Agustus 2004. Pusat Pengembangan Pasar Wilayah Eropa.
Badan Pengembangan Ekspor Nasional. Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2004. Teknologi agribisni tanaman hias. Balai Penelitian Tanaman Hias. Pusat Penelitian dan Pengembanga Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2003. Nilai ekspor impor beberapa tanaman pangan dan hortikultura 1999-2002. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Kartiman, R. 2004. Pengaruh kombinasi zat pengatur tumbuh dan potongan protocorm like bodies untuk perbanyakan anggrek bulan raksasa (Phalaenopsis gigantea) dengan metode kultur jaringan. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut pertanian Bogor.
Lingga, P. dan Marsono. 2001. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Edisi revisi. Penebar Swadaya. Jakarta. 146 hal.
Sandra, E. 2003. Kultur Jaringan Skala Rumah Tangga. Agromedia Pustaka. Depok. 80hal.
Setiawan, H. 2002. Usaha Pembesaran Anggrek. Penebar Swadaya. Jakarta. 88 hal.
Syuhud, P. 2008. Macam-macam Media Anggrek. http://iswaraorchid. wordpress.com/category/anggrek/. 8 November 2008.
Sumarno. 2004. Potensi florikultura untuk usaha agribisnis di Indonesia. Makalah pada Seminar Nasional Florikultura, Kebun Raya Bogor, 4-5 Agustus 2004. Direktorat Jenderal Bina Produksi Horikultura.
Sutiyoso, Y. 2005. Peluang bisnis anggrek. Penebar Swadaya. Jakarta.
Widiastoety. 1997. Peningkatan produktivitas dan mutu bunga anggrek. Balai Penelitian Tanaman Hias. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

MAKALAH KULTUR GAHARU



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Gaharu merupakan produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dalam bentuk gumpalan, serpihan atau bubuk yang memiliki aroma keharuman khas yang bersumber dari kandungan bahan kimia berupa resin (α-β oleoresin). Gaharu terbentuk dalam jaringan kayu, akibat pohon terinfeksi penyakit cendawan (fungi) yang masuk melalui luka batang (patah cabang). Komoditas gaharu telah cukup lama dikenal masyarakat secara umum. Beberapa jenis tanaman gaharu yang dikenal antara lain (Aquilaria malaccensis Lamk) adalah salah satu jenis tanaman hutan yang memiliki mutu sangat baik dengan nilai ekonomi tinggi karena kayunya mengandung resin yang harum baunya. Gaharu berwarna coklat kehitaman sampai hitam, berbau harum jika dibakar. Gaharu terdapat pada bagian kayu atau akar dari jenis pohon penghasil gaharu yang telah mengalami proses perubahan kimia dan fisika akibat terinfeksi oleh sejenis jamur.
Pemanfaatan gaharu di Indonesia oleh Masyarakat Pedalaman Sumatera dan Kalimantan, telah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Gaharu dimanfaatkan antara lain untuk pengharum tubuh, ruangan, bahkan kosmetik dan obat-obatan sederhana. Saat ini gaharu sangat sulit ditemukan sehingga perlu dipertahankan dan dilestarikan agar jenis ini tidak punah. Selain mencegah kepunahan gaharu ini, pembudidayaan juga dapat meningkatkan produksi gubal gaharu baik secara kualitas maupun kuantitas dan ekspor gaharu dapat berjalan dengan lancar tanpa merusak hutan alam.

1.2.      Tujuan
Tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui :
1.      Untuk mengetahui pembuatan bibit tumbuhan Gaharu secara kultur jaringan.
2.      Menemukan kombinasi antara sumber eksplan dan takaran zat pengatur tumbuh yang terbaik terhadap pertumbuhan eksplan dalam menghasilkan tunas  pada medium Murashige dan Skoog (MS) secara kultur jaringan.

1.3 Manfaat
Manfaat makalah ini dapat menjadi salah satu alternatif untuk perbanyakan gaharu dalam pengadaan bibit gaharu dalam jumlah yang banyak dan relatif singkat dan penggunaan takaran zat pengatur tumbuh yang terbaik dalam perbanyakan tanaman gaharu.




















BAB II
ISI

2.1  Botanis Gaharu (A. malaccensis Lamk)
Gaharu didefinisikan sebagai sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati sebagai akibat dari suatu proses infeksi yang terjadi baik secara alami maupun buatan, yang pada umumnya terjadi pada pohon gaharu.
Gaharu (A. malaccensis Lamk ) dapat ditemukan di Bangladesh, Bhutan, India, Indonesia, Iran, Laos, Malaysia, Myanmar, Philipina, Singapore, dan Thailand. Gaharu hanya diambil gubalnya yang mengeluarkan bau harum. Keharuman gubal gaharu terbentuk oleh kayu yang mengalami pelapukan dan mengandung damar wangi (aromatic resin) sebagai akibat serangan jamur. Dengan kata lain, gaharu atau gubal gaharu merupakan substansi aromatik berupa gumpalan atau padatan berwarna coklat muda sampai coklat kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam dari kayu tersebut. Substansi aromatik yang terkandung dalam gubal gaharu ini termasuk dalam golongan sesquiterpena.
Taksonomi atau klasifikasi gaharu (Aquilaria) adalah sebagai berikut :
Kingdom         : Plantae
Divisio             : Spermatophyta
Class                : Dicotyledonae
Ordo                : Myrtales
Family             : Thymeleceae
Genus              : Aquilaria
Species            : A. malaccensis Lamk
      Secara ekologis jenis-jenis gaharu di Indonesia tumbuh di hutan primer terutama di dataran rendah, dan daerah pegunungan sampai ketinggian 2.400 m dpl. Umumnya gaharu yang berkualitas baik tumbuh pada daerah beriklim panas dengan suhu 28° - 34° C, kelembaban 60 – 80 %, dan curah hujan 1.000 – 2.000 mm/tahun (Sumarna, 2002 dalam Martesa 2006).
Tinggi pohon di daerah potensial, gaharu ini dapat mencapai 4 meter dengan diameter 50 – 80 cm. Kulit batangnya licin berwarna putih atau keputih-putihan, lurus atau kadang-kadang beralur. Kayunya agak keras, daun lonjong memanjang dengan panjang 5 – 8 cm dan lebarnya 3 – 4 cm, berujung runcing, dan berwarna hijau mengkilat. Bunga berada diujung ranting atau ketiak daun bagian atas dan bawah. Buah berada di dalam polong berbentuk bulat atau lonjong, berukuran panjang sekitar 5 cm, dan lebar 3 cm (Sumarna, 2002 dalam Martesa 2006).

2.2  Pembentukan Gaharu
            Gaharu dihasilkan tanaman sebagai respon dari masuknya mikroba yang masuk ke dalam jaringan yang terluka. Luka pada tanaman berkayu dapat disebabkan secara alami karena adanya cabang dahan yang patah atau kulit terkelupas, maupun secara sengaja dengan pengeboran dan penggergajian. Masuknya mikroba ke dalam jaringan tanaman dianggap sebagai benda asing sehingga sel tanaman akan menghasilkan suatu senyawa fitoaleksin yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap penyakit atau patogen. Senyawa fitoaleksin tersebut dapat berupa resin berwarna coklat dan beraroma harum, serta menumpuk pada pembuluh xilem dan floem untuk mencegah meluasnya luka ke jaringan lain. Namun, apabila mikroba yang menginfeksi tanaman dapat mengalahkan sistem pertahanan tanaman maka gaharu tidak terbentuk dan bagian tanaman yang luka dapat membusuk. Ciri-ciri bagian tanaman yang telah menghasilkan gaharu adalah kulit batang menjadi lunak, tajuk tanaman menguning dan rontok, serta terjadi pembengkakan, pelekukan, atau penebalan pada batang dan cabang tanaman. Senyawa gaharu dapat menghasilkan aroma yang harum karena mengandung senyawa guia dienal, selina-dienone, dan selina dienol. Untuk kepentingan komersil, masyarakat mengebor batang tanaman penghasil gaharu dan memasukkan inokulum cendawan ke dalamnya. Setiap spesies pohon penghasil gaharu memiliki mikroba spesifik untuk menginduksi penghasilan gaharu dalam jumlah yang besar.

2.3  Manfaat Gaharu
            Gaharu banyak diperdagangkan dengan harga jual yang sangat tinggi. Selain ditentukan dari jenis tanaman penghasilnya, kualitas gaharu juga ditentukan oleh banyaknya kandungan resin dalam jaringan kayunya. Semakin tinggi kandungan resin di dalamnya maka harga gaharu tersebut akan semakin mahal dan begitu pula sebaliknya.
Sampai saat ini, pemanfaatan gaharu masih dalam bentuk bahan baku (kayu bulatan, cacahan, bubuk, atau fosil kayu yang sudah terkubur. Setiap bentuk produk gaharu tersebut mempunyai bentuk dan sifat yang berbeda. Gaharu mempunyai kandungan resin atau damar wangi yang mengeluarkan aroma dengan keharuman yang khas. Dari aromanya itu yang sangat popular bahkan sangat disukai oleh masyarakat negara-negara di Timur Tengah, Saudi Arabia, Uni Emirat, Yaman, Oman, daratan Cina, Korea, dan Jepang sehingga dibutuhkan sebagai bahan baku industri parfum, obat-obatan, kosmetika, dupa, dan pengawet berbagai jenis asesoris serta untuk keperluan kegiatan keagamaan. Seiringnya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi industri, gaharu bukan hanya berguna sebagai bahan untuk industri wangi-wangian saja, tetapi juga secara klinis dapat dimanfaatkan sebagai obat. Gaharu bisa dipakai sebagai obat: anti asmatik, anti mikroba, stimulant kerja syaraf dan pencernaan ,obat sakit perut, penghilang rasa sakit, kanker, diare, tersedak, tumor paru-paru, obat tumor usus ,penghilang stress, gangguan ginjal, asma, hepatitis, dan untuk kosmetik. 

2.4  Kultur Jaringan

Kultur jaringan dalam bahasa asing disebut dengan tissue culture, weefsel cultuus atau gewebe kultur. Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara vegetatif. Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbayakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril.
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional. Pertumbuhan dan perkembangan jaringan pada kultur diarahkan menurut tujuan yang diinginkan dengan memanipulasi komposisi medium dan lingkungannya.
Teori yang mendasari tehnik kultur jaringan adalah teori sel oleh Schawann dan Scheleiden (1838) yang menyatakan sifat totipotensi ( total genetic potential) sel, yaitu bahwa setiap sel tanaman yang hidup dilengkapi dengan informasi genetik dan perangkat fisiologis yang lengkap untuk tumbuh dan berkembang menjadi tanaman utuh, jika kondisinya sesuai ( Yusnita, 2003).
Menurut Santoso dan Nursandi (2003) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan kultur jaringan yaitu:
1.   Genotipe
      Pada beberapa jenis tumbuhan embrio mudah tumbuh akan tetapi pada beberapa jenis tumbuhan lain sukar untuk tumbuh. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kultivar dari jaringan yang sama.
2.   Komposisi media makanan
Media untuk pertumbuhan embrio harus mengandung unsur hara makro, unsur hara mikro dan gula. Faktor penting lainnya yang tidak boleh diabaikan adalah adanya ion ammonium dan potassium.
3.      Oksigen
      Suplai oksigen yang cukup sangat menentukan laju multiplikasi tunas dalam usaha perbanyakan secara In vitro.
4.   Cahaya
Kadang-kadang untuk perkembangan embrio membutuhkan tempat gelap kira-kira selama 7-14 hari. Baru dipindah ke tempat terang untuk pembentukan klorofil.
5.   Temperatur
Temperatur optimum yang dibutuhkan umumnya tergantung dari jenis tumbuhan yang digunakan. Secara normal temperatur yang digunakan adalah antara 220° C-280° C.
6.   Lingkungan yang aseptik
Kondisi lingkungan sangat menentukan terhadap tingkat keberhasilan pembiakan tanaman dengan kultur jaringan.
Selain suhu, kelembaban dan cahaya, Pierik (1982) menambahkan kondisi fisik yang paling baik dalam kultur jaringan adalah pH. pH pada media makanan pengaruhnya belum diketahui. Dapat dipakai pH antara 5,0 - 6,5. Sedangkan menurut Wetherell (1976) bahwa sel-sel tanaman yang ditumbuhkan secara in vitro mempunyai toleransi pH relatif sempit, dengan titik optimum antara pH 5,0 dan 6,0.

2.5  Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik yang bukan nutrisi tanaman yang dalam jumlah kecil atau konsentrasi rendah akan merangsang dan mengadakan modifikasi secara kualitatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Penggunaan zat pengatur tumbuh bila digunakan  dengan konsentrasi rendah akan merangsang pertumbuhan tanaman, dan sebaliknya bila digunakan dalam jumlah besar/konsentrasi tinggi akan menghambat pertumbuhan bahkan dapat mematikan tanaman. Beberapa zat pengatur tumbuh yang dikenal adalah :
1.      Auksin       :  salah satu hormon tumbuh yang tidak terlepas dari proses pertumbuhan dan perkembangan suatu tanaman.
2.      Sitokinin    :  zat pengatur tumbuh ini mempunyai peranan dalam proses pembelahan sel
3.      Gibberelin : hormon tumbuh pada tanaman sangat berpengaruh pada sifat genetik, yang mempunyai peranan dalam mendukung perpanjangan sel, aktivitas kambium dalam mendukung pembentukan RNA baru serta sintesa protein.
4.      Etilen         :  hormon tumbuh yang secara umum berlainan dengan auksin, giberelin, dan sitokinin. Etilen mempunyai peranan penting dalam proses pematangan buah
5.      Inhibitor    : zat yang menghambat pertumbuhan pada tanaman, sering didapat pada proses perkecambahan, pertumbuhan pucuk atau dalam dormansi.
Zat pengatur tumbuh sangat diperlukan sebagai komponen medium bagi pertumbuhan dan diferensiasi. Tanpa penambahan zat pengatur tumbuh di dalam medium, pertumbuhan sangat terhambat bahkan mungkin tidak tumbuh sama sekali. Pembentukan kalus dan organ-organ ditentukan oleh penggunaan yang tepat dari zat pengatur tumbuh tersebut.
Pada umumnya zat pengatur tumbuh yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah dari golongan auksin dan sitokinin. Auksin adalah senyawa yang dicirikan oleh kemampuan dalam mendukung terjadinya perpanjangan sel pada pucuk, dengan struktur kimia yang dicirikan dengan adanya cincin indole. Auksin sebagai salah satu hormon tumbuhan bagi tanaman mempunyai peranan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman, dimana hormon tumbuh ini berpengaruh terhadap perpanjangan sel, menghambat pertumbuhan tunas ketiak (lateral), merangsang pembelahan sel pada daerah kambium serta mempercepat pertumbuhan akar (Heddy, 1986).
Auksin sintetik yang sering digunakan adalah Naptalene Acetic Acid  (NAA) karena lebih tahan dan stabil. Pada penelitian Martesa (2006) dengan pemberian NAA 0,175 mg/l + 5,0 mg/l BAP pada medium MS ada beberapa yang belum mengalami pembentukan kalus, hal ini diduga karena konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA yang kurang optimal dari media tersebut. Sedangkan pada penelitian Agustunine (1999) melaporkan bahwa pada tanaman Gmelina arborea Linn konsentrasi yang terbaik bagi pertumbuhannya adalah NAA 0,05 mg/l + BAP 0,25 mg/l. NAA dari golongan ini telah digunakan secara luas untuk menginduksi kalus baik gymnospermae dan angiospermae. Perakaran umumnya diinduksi dari kalus karena peranan hormon NAA ini. 6-Benzylaminopurin (BAP) adalah sitokinin sintetis, dimana struktur kimianya sama dengan kinetin tetapi lebih efektif. BAP digunakan untuk pembentukan kalus, tetapi yang paling baik adalah untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan dari tunas. BAP juga sedikit menginduksi perakaran. Menurut Raharja (1993), sitokinin termasuk hormon yang dapat mempengaruhi pembelahan sel pada jaringan tanaman yang ditumbuhkan pada media buatan. Perlu diketahui bahwa dalam beberapa keadaan pembentukan akar akan mengikuti pembentukan tunas, tetapi BAP dengan konsentrasi yang tinggi dan masa yang panjang seringkali menyebabkan regenerasi tanaman sulit berakar dan dapat menyebabkan penampakan pucuk abnormal. Menurut Pierik (1987) , BAP dalam konsentrasi tinggi (1-10 mg/l) dapat menginduksi tunas. Penelitian Duma (1995) hanya menghasilkan kalus dari eksplan kotyledon A. mangium dengan penambahan 0,01 mg/l NAA dan 5 mg/l BAP. Sedangkan  Martesa (2006) melaporkan pembentukan kalus baru dan tunas pada gaharu dengan penambahan 0,175 mg/l  NAA dan 5,0 mg/l BAP .
Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) dalam pertumbuhan jaringan tanaman, sitokinin berpengaruh terutama pada pembentukan sel. Bersama-sama dengan auksin memberikan pengaruh interaksi terhadap diferensiasi jaringan. Pada pemberian auksin dengan kadar yang relatif tinggi diferensiasi kalus cenderung ke arah pembentukan akar, sedangkan pada pemberian sitokinin dengan kadar yang relatif tinggi perkembangan kalus akan cenderung ke arah pembentukan batang dan tunas.

2.6  Sumber Eksplan
Eksplan adalah bahan tanaman yang digunakan dalam kulturisasi. Eksplan ini menjadi bahan dasar dalam pembentukan tunas. Bagian tanaman yang bersifat meristematik antara lain terdapat pada ujung batang dikenal dengan meristem apikal, sedangkan meristem yang terdapat pada kuncup di ketiak daun disebut meristem aksiler. Bagian tanaman yang dapat digunakan sebagai eksplan adalah kotiledon, daun, akar, tunas pucuk, empulur batang, potongan batang satu buku, umbi lapis, dan bagian bunga (Indrianto dalam Ike Martesa 2006) . Menurut Yusrianti (2002) sumber eksplan yang terbaik adalah berasal dari pucuk yang mampu menginduksi kalus ulin paling cepat dibandingkan dengan sumber eksplan batang. Selanjutnya Asnawati (1998) menyatakan sumber eksplan terbaik adalah berasal dari apeks dalam  pembentukan tunas Accacia mangium Wild. Menurut Irawati (2005) dalam kultur pucuk biasanya media mengandung auksin dan sitokinin dengan konsentrasi sitokinin lebih tinggi dari auksin karena sitokinin dapat mengatasi kemunduran daya tumbuh apabila pertumbuhan terganggu.
         Pemgambilan bahan tanaman dapat langsung dari tanaman dewasa yaitu pada bagian pucuk tanaman, daun dan umbi. Cara ini membutuhkan waktu yang cepat, disamping itu bahan eksplan dapat diambil dari tanaman hasil seedling, biji yang akan ditanam adalah biji yang cukup tua dan sebaiknya jangan mengambil yang telah dijual dipasaran, supaya hasil yang diperoleh dijamin kualitasnya. Biji yang digunakan langsung dipetik dari pohon induknya atau yang dijual dibalai benih (berserikat) tempat penanaman menggunakan pot, setelah tumbuh tanaman tersebut dapat dipotong menjadi bahan eksplan.

  2.7 Konsep Pengambilan Ekplan
Gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati, sebagai akibat dari proses infeksi yang terjadi baik secara alami atau buatan pada pohon tersebut, dan pada umumnya terjadi pada pohon A. malaccensis Lamk. Karena nilai jual gaharu yang tinggi, permintaaan pasar akan gaharu terus meningkat. Oleh karena itu upaya pembudidayaaan gaharu perlu dilakukan.
Salah satu upaya pembudidayaan dalam perbanyakan tanaman gaharu adalah dengan teknik kultur jaringan. Pada kultur jaringan bahan tanaman dan zat pengatur tumbuh merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis suatu kultur, dimana untuk tumbuh dan berkembang diperlukan jaringan yang sedang aktif tumbuh, nutrisi dan hormon yang cukup untuk merangsang pembelahan dan diferensiasi sel. Eksplan dapat diambil dari semua bagian tanaman seperti pucuk, daun, cabang, batang, petiol, akar, biji, embrio, tunas, kambium, epikotil, kotiledon, hipokotil, meristem apikal, bunga, serbuk sari, buah termasuk bakal buah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Eksplan yang berasal dari bagian yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda pula terhadap pengerjaan yang dilakukan, karena setiap bagian dari tubuh tumbuhan memiliki sifat, bentuk serta susunan jaringan dan kandungan hormon untuk mendorong pertumbuhan yang berbeda, sehingga dalam penggunaanya akan menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan yang berlainan.
Pada dasarnya setiap jaringan yang sedang mengalami pertumbuhan terhadap zat pengatur tumbuh dalam kadar tertentu yang berbeda untuk masing-masing bagian tanaman. Seringkali penambahan zat pengatur tumbuh dari luar diperlukan dengan konsentrasi tertentu untuk mencukupi kebutuhan zat tumbuh yang tidak terpenuhi secara endogen. Penambahan zat pengatur tumbuh dengan konsentrasi yang sama dapat memberikan pertumbuhan yang berlainan pada tiap bagian tanaman. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan pada media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen tersebut akan menentukan arah perkembangan eksplan.
Keseimbangan kombinasi antara auksin (NAA) dan sitokinin (BAP) juga mempengaruhi perkembangan dari eksplan. Kombinasi sitokinin dan auksin pada setiap tanaman berbeda-beda tergantung pertumbuhannya serta faktor lain yang mempengaruhi eksplan. Pada sebagian besar tanaman pemberian sitokinin dalam konsentrasi yang lebih tinggi dari pada auksin akan mendorong pembentukan tunas, sedangkan pemberian auksin dalam konsentrasi yang lebih tinggi daripada sitokinin akan mendorong pembentukan akar. 
Berdasarkan pemikiran di atas, maka dalam penelitian ini digunakan eksplan yang berasal dari batang dan pucuk serta 5 kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh yaitu NAA dan BAP, sehingga dimungkinkan untuk mengetahui perkembangan jenis (A. malaccensis Lamk) secara kultur jaringan.
















DAFTAR PUSTAKA


Anonym. SNI 01-5009.1-1999: Gaharu. Badan Standar-disasi Nasional (BSN).  1999

Soehartono, Tonny; Gaharu: Kegunaan dan Pemanfaatan.  Disampaikan pada Lokakarya Tanaman Gaharu di Mataram tanggal 4 – 5 September 2001
Santoso, U. dan Nursandy, F..2004. Kultur Jaringan Tanaman. Edisi II. Universitas Muhamadyah Malang Press. Malang.
Standar Nasional Indonesia. 1999. Gaharu. Jakarta. Diakses dari http://www.bpdas musi.net/_userdata/BkGaharu.pdf.
Sumarna, Y. 2005. Budidaya Gaharu. Penebar Swadaya. Edisi ke II. Jakarta. Universitas
Rohadi, Dede dan Suwardi Sumadiwangsa, Prospek dan Tantangan Pengembangan Gaharu di Indonesia: Suatu Tinjauan dari Perspektif Penelitian dan Pengembangan, Disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Tanaman Gaharu di Mataram.