MAKALAH KEKUASAAN DALAM ISLAM

Assalamu’alaikum wr wb       
Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah mari kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa memberikan kekuatan lahir batin sehinngga usaha untuk membuat makalah ini dapat terselesaikan. Dengan tersusunnya rangkuman ini, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya. Akhirnya hanya kepada Allah, semoga makalah ini bermanfaat serta menjadi bagian dari amal sholeh dan semoga Allah membalas semua pihak yang telah membantu dengan balasan yang sebaik – baiknya. Fiddunnya wal  akhirat. Amin
Wassalamu’alaikum wr wb


Pontinak, 11 Oktober 2010
Ttd

Penyusun












DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………....................…………………………………… ii
DAFTAR ISI …………………………......……………............………………………………. iii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………….................……………………… 1
BAB II MUSYAWARAH DALAM ISLAM
2.1 Tatacara pemilihan pemimpin………....................................................................................... 2
2.2  Metode Pemilihan Keputusan, Musyawarah .....................................................…………………... 4
2.3 Kriteria keputusan, adil ……….....................................……………............................………………… 6
BAB III KESIMPULAN ………………….........................................................………………………………………… 8
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………….........................................................………………….… 9
LAMPIRAN ............................................................................................................................... 10











Bab 1
Pendahuluan

1.1  Alasan Pemilihan Masalah

·         Kurangnya pengetahuan akan politik yang tidak bertentangan dengan Islam.
·         Kurangnya alternatif perpolitikan yang dapat memberikan keadilan bagi rakyat.
·         Sikap masyarakat yang pada umumnya kurang menyukai politik.

1.2  Rumusan dan Pembatasan Masalah

·         Adakah dalil tentang politik?
·         Bagaimana sistem perpolitikan yang baik dalam Islam?
·         Cara menciptakan keadilan bagi para pemimpin yang cinta kedamaian?











Bab 2
Ruang Lingkup Pembatasan
2.1 Tatacara pemilihan pemimpin

Cara Sahabat Umar Memilih Khalifah Penggantinya. Yang pasti bukan dengan demokrasi (demos= rakyat, kratos=kekuasaan). Karena prinsip demokrasi tidaklah sesuai dengan prinsip Islam, dalam Islam tidak mengenal istilah "vox populi vox dei", suara rakyat adalah suara Tuhan. Berkenaan dengan tata cara pemilihan kepala pemerintahan, berikut ini adalah kisah bagaimana sahabat Umar ketika mengakhiri jabatannya melakukan pemilihan khalifah pengganti dirinya.
Ketika khalifah Umar sedang kritis setelah ditikam oleh Abu Lu’lu, seorang Majusi, budak dari Mughirah bin Syu’bah, ketika sedang memimpin sholat Subuh, maka beliau ditanya oleh sebagian orang Sahabat.
Mereka berkata: Berwasiatlah, wahai Amirul Mukminin, carilah pengganti.
Ia menjawab: Saya tidak mendapatkan orang yang lebih berhak dengan urusan ini daripada sekumpulan orang yang ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam meninggal dunia beliau meridhai mereka. Kemudian Umar menyebut nama Ali, Utsman, Zubair, Thalhah, Sa’d, dan Abdurrahman. [HR Bukhari]
Beliau kemudian menunjuk Ibnu Umar sebagai saksi dan tidak diperbolehkan melakukan campur tangan dalam urusan ini (yakni ikut sebagai calon pengganti Umar, Subhanallah, demikian wara’nya Umar sehingga melarang anaknya sendiri untuk ikut dalam pemilihan kekhalifahan).
Keenam sahabat tersebut, adalah para pembesar sahabat, dan mereka adalah orang-orang yang ’alim terhadap ilmu agama dan pemerintahan. Belakangan inilah yang kemudian dikenal dengan majelis Syura, yakni majelis yang beranggotakan para ahli ilmu untuk masalah pemerintahan.
Bagaimana jalannya pemilihan khalifah selanjutnya?
Masih dalam hadits riwayat Imam Bukhari dalam bab keutamaan sahabat Utsman, diceritakan proses pemilihan tersebut.


Ketika selesai dikuburkan, berkumpullah sekawanan orang tersebut.
Abdurrahman berkata,”Jadikanlah urusan (pilihanmu)kepada tiga orang dari kamu.”
Zubair menjawab,”Aku menjadikan pilihanku kepada Ali.”
Thalhah berkata,”Sungguh aku menjadikan pilihanku kepada Utsman.”
Sa’d berkata:”Aku menjadikan pilihanku kepada Abdurrahman bin Auf.”
Kemudian Abdurrahman berkata:”Siapapun (dari) kamu yang terlepas dari urusan pilihan ini, maka kami akan menjadikan urusan kepemimpinan kepadanya, semoga Allah dan Islam akan mengawasinya.
Lalu terdiamlah kedua orang tua itu (pent. Ali dan Utsman).
Abdurrahman berkata,”Apakah kalian hendak menjadikan urusan kepemimpinan kepadaku? Semoga Allah mengawasiku agar aku tidak lengah memilih kalian yang paling utama.”
 Mereka berdua menjawab,”Ya.”
Kemudian ia (Abdurrahman) memegang tangan salah satunya, lalu berkata,”Engkau mempunyai ikatan keluarga dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan lebih dahulunya pengetahuanmu dalam (masalah) Islam, semoga Allah mengawasimu. Bila aku menjadikanmu seorang amir tentu kamu akan berlaku adil dan bila aku menjadikan Utsman sebagai amir, tentu kamu akan mendengarkan dan mentaatinya.”
Kemudian ia menyendiri bersama yang lainnya, lalu berkata (seperti yang telah disebutkan). Dan ketika ia mengambil sumpah (janji), maka ia berkata,” Angkatlah tanganmu wahai Utsman.” Lalu ia membai’atnya, lalu Ali dan penduduk kampung masuk lalu membai’atnya. Jadi ketika Umar radhiyallahu anhu memilih enam orang sahabat untuk menentukan siapa pengganti dirinya, maka keenam orang ini kemudian berkumpul untuk menentukan siapa diantara mereka yang akan menjadi pengganti Umar.
 Abdurrahman kemudian mengajukan usul agar 3 (tiga) orang dari 6 (enam) orang ini mundur dari kandidat. Ini adalah siyasah syar’iyah, dimana dengan mundurnya 3 orang akan memperkecil potensi friksi yang akan terjadi diantara mereka. Maka mundurlah Zubair, Thalhah dan Sa’d bin Abi Waqqash, masing-masing memberikan dukungan kepada Ali, Utsman dan Abdurrahman dengan satu suara.
 Kemudian Abdurrahman berkata kepada Ali dan Utsman, siapa diantara mereka yang mau mengindurkan diri dari pencalonan. Ternyata keduanya diam saja. Abdurrahman kemudian bertanya apakah mereka berdua mewakilkan dirinya untuk melakukan pemilihan? Maka sepakat keduanya memberikan kewenangan kepada Abdurrahman bin Auf untuk memilih antara Ali dan Utsman (karena dengan demikian Abdurrahman sekaligus mengundurkan diri dari pemilihan).
Baru kemudian pilihan dijatuhkan kepada Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga dalam sejarah Islam.
Demikianlah prosesi pemilihan khalifah ketiga yang dilakukan oleh Umar dengan memilih enam orang pembesar sahabat untuk menentukan siapa pengganti dirinya.
Kita juga mengenal cara pemilihan langsung oleh khalifah yang diganti dengan menunjuk langsung penggantinya, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Abu Bakar Ash Shiddiq kepada Umar bin Khattab radiyallahu anhuma.
Dan patut dicatat, bahwa sistem pemerintahan dalam kekhalifahan ini berlangsung sesuai dengan umur dari sang khalifah yang artinya tidak diganti melainkan jika si pemimpin ini sudah menemui batas usianya/wafat.

2.2 Metode Pemilihan Keputusan, Musyawarah
Rasulullah adalah orang yang suka bermusyawarah dengan para sahabatnya, bahkan beliau adalah orang yang paling banyak bermusyawarah dengan sahabat. Beliau bermusyawarah dengan mereka di perang badar, bermusyawarah dengan mereka di perang uhud, bermusyawarah dengan mereka di perang khandak, beliau mengalah dan mengambil pendapat para pemuda untuk membiasakan mereka bermusyawarah dan berani menyampaikan pendapat dengan bebas sebagaimana di perang uhud. Beliau bermusyawarah dengan para sahabatnya di perang khandak, beliau pernah berniat hendak melakukan perdamaian dengan suku ghatafan dengan imbalan sepertiga hasil buah madinah agar mereka tidak berkomplot dengan Quraisy. Tatkala utusan anshar menolak, belia menerima penolakan mereka dan mengambil pendapat mereka. Di Hudaibiyah Rasulullah bermusyawarah dengan ummu Salamah ketika para sahabatnya tidak mau bertahallul dari ihram, dimana beliau masuk menemui ummu Salamah, beliau berkata, "manusia telah binasa, aku menyuruh mereka namun mereka tidak ta'at kepadaku, mereka merasa berat untuk segera bertahallul dari umrah yang telah mereka persiapkan sebelumnya," kemudian ummu Salamah mengusulkan agar beliau bertahallul dan keluar kepada mereka, dan beliau pun melaksanakan usulannya. Begitu melihat Rasulullah bertahallul, mereka langsung segera berebut mengikuti beliau.
            Rasulullah telah merumuskan musyawarah dalam masyarakat muslim dengan perkataan dan perbuatan, dan para sahabat dan tabi'in para pendahulu umat ini mengikuti petunjuk beliau, sehingga musyawarah sudah menjadi salah satu ciri khas dalam masyarakat muslim dalam setiap masa dan tempat.
            Dalam masyarakat muslim seorang penguasa dalam melaksanakan tugas kenegaraan harus berkonsultasi dengan para ulama, orang-orang yang berpengalaman, dan bisa juga ia membentuk majlis syura, yang tugasnya mempelajari, meneliti, dan menyampaikan pendapat dalam hal-hal yang dibolehkan berijtihad oleh syari'at. Ini semua dalam rangka mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah, dimana ketika orang-orang bijak yang mewakili rakyat di madinah, ketika mereka berkumpul di sekitar beliau dan mereka semua adalah sahabat, Rasulullah bermusyawarah dengan mereka tentang hal-hal yang tidak ada wahyu dan nash, memberikan kebebasan kepada mereka untuk berbicara dan berbuat dalam urusan keduniaan; karena mereka lebih pengalaman dahal hal ini, dan arti (keduniaan) di sini adalah tidak berkaitan dengan hukum syari'at atau masyarakat, akan tetapi bekaitan dengan pengalaman ilmiah, seperti seni berperang, menggarap tanah, memelihara buah-buahan dan seterusnya, di zaman kita sekarang ini bisa kita namakan, murni urusan keilmuan, dan urusan praktek amaliah, Rasulullah memberikan kebebasan kepada mereka untuk berbuat dalam hal-hal ini dengan mengatakan: "kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian."
            Islam mengakui prinsip musyawarah dan mengharuskan penguasa melaksanakannya, ia melarang sikap otoriter dan diktator, menyerahkan kepada manusia untuk menentukan bagaimana cara melaksanakan musyawarah, untuk memberikan keluwesan dan memperhatikan perubahan situasi dan kondisi, oleh karena itu musyawarah bisa dilakukan dengan berbagai macam bentuk dan berbagai cara sesuai dengan masa, bangsa dan tradisi, yang penting pelaksanaan pemerintahan dimulai dari pemilihan presiden kemudian membuat garis-garis besar haluan negara, dengan menyertakan rakyat dan seluruh umat atau yang mewakili mereka, yaitu yang dinamakan ahlul halli wal aqdi, dimana kekuasaan pemerintah dibatasi oleh dua hal, yaitu syari'at dan musyawarah, yakni dengan hukum Allah dan pendapat umat.

            Ini merupakan fleksibelitas dalam mengaplikasikan musyawarah dalam masyarakat muslim, dan inilah bidang bagi para mujtahid, orang-orang yang punya ilmu dan pengalaman dalam membuat undang-undang Islam, yang menghalangi penyimpangan para penguasa dan keberanian para tiran dalam melanggar hak Allah dalam kedaulatannya, dan hak manusia dalam menghambakan diri padaNya.
            Penjamin utama dalam merealisasikan ini semua adalah kesadaran rakyat terhadap wajibnya melaksanakan hukum Allah, dan hanya menghambakan diri padaNya, dengan menjauhkan diri dari pengagungan atau pengkultusan terhadap golongan atau individu dalam bentuk pemimpin atau raja atau pahlawan, karena ini semua bertentangan dengan akidah tauhid, dan merupakan bahaya yang sangat besar apabila masyarakat sampai kepada pengkultusan ini dimana seseorang merasa hina di hadapan pemimpin yang cerdas, atau penguasa satu-satunya, atau raja yang mulia, atau partai yang berkuasa, dan lain sebagainya dari bentuk-bentuk berhala yang menyerupai syi'ar ibadah, dan menjatuhkan manusia kepada kesyirikan baik mereka meyadari atau tidak, dan ini semua tidak boleh terjadi dalam masyarakat muslim yang disinari oleh petunjuk al-Qur'an dan hadits.
2.3 Kriteria keputusan, adil
Al-Qur’an menggunakan pengertian yang berbeda-beda bagi kata atau istilah yang bersangkut-paut dengan keadilan. Bahkan kata yang digunakan untuk menampilkan sisi atau wawasan keadilan juga tidak selalu berasal dari akar kata ‘adl. Kata-kata sinonim seperti qisth, hukm dan sebagainya digunakan oleh al-Qur’an dalam pengertian keadilan. Sedangkan kata ‘adl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi keadilan itu (ta’dilu, dalam arti mempersekutukan Tuhan dan ‘adl dalam arti tebusan). Kalau dikatagorikan, ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan keadilan dalam al-Qur’an dari akar kata ‘adl itu, yaitu sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan ("Hendaknya kalian menghukumi atau mengambil keputusan atas dasar keadilan"). Secara keseluruhan, pengertian-pengertian di atas terkait langsung dengan sisi keadilan, yaitu sebagai penjabaran bentuk-bentuk keadilan dalam kehidupan. Dari terkaitnya beberapa pengertian kata ‘adl dengan wawasan atau sisi keadilan secara langsung itu saja, sudah tampak dengan jelas betapa porsi "warna keadilan" mendapat tempat dalam al-Qur’an, sehingga dapat dimengerti sikap kelompok Mu’tazilah dan Syi’ah untuk menempatkan keadilan (’adalah) sebagai salah satu dari lima prinsip utama al-Mabdi al-Khamsah.) dalam keyakinan atau akidah mereka. Kesimpulan di atas juga diperkuat dengan pengertian dan dorongan al-Qur’an agar manusia memenuhi janji, tugas dan amanat yang dipikulnya, melindungi yang menderita, lemah dan kekurangan, merasakan solidaritas secara konkrit dengan sesame warga masyarakat, jujur dalam bersikap, dan seterusnya. Hal-hal yang ditentukan sebagai capaian yang harus diraih kaum Muslim itu menunjukkan orientasi yang sangat kuat akar keadilan dalam al-Qur’an. Demikian pula, wawasan keadilan itu tidak hanya dibatasi hanya pada lingkup mikro dari kehidupan warga masyarakat secara perorangan, melainkan juga lingkup makro kehidupan masyarakat itu sendiri. Sikap adil tidak hanya dituntut bagi kaum Muslim saja tetapi juga mereka yang beragama lain. Itupun tidak hanya dibatasi sikap adil dalam urusan-urusan mereka belaka, melainkan juga dalam kebebasan mereka untuk mempertahankan keyakinan dan melaksanakan ajaran agama masing-masing. Yang cukup menarik adalah dituangkannya kaitan langsung antara wawasan atau sisi keadilan oleh al-Qur’an dengan upaya peningkatan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup warga masyarakat, terutama mereka yang menderita dan lemah posisinya dalam percaturan masyarakat, seperti yatim-piatu, kaum muskin, janda, wanita hamil atau yang baru saja mengalami perceraian. Juga sanak keluarga (dzawil qurba) yang memerlukan pertolongan sebagai pengejawantahan keadilan. Orientasi sekian banyak "wajah keadilan" dalam wujud konkrit itu ada yang berwatak karikatif maupun yang mengacu kepada transformasi sosial, dan dengan demikian sedikit banyak berwatak straktural. Fase terpenting dari wawasan keadilan yang dibawakan al-Qur’an itu adalah sifatnya sebagai perintah agama, bukan sekedar sebagai acuan etis atau dorongan moral belaka. Pelaksanaannya merupakan pemenuhan kewajiban agama, dan dengan demikian akan diperhitungkan dalam amal perbuatan seorang Muslim di hari perhitungan (yaum al-hisab) kelak. Dengan demikian, wawasan keadilan dalam al-Qur’an mudah sekali diterima sebagai sesuatu yang ideologis, sebagaimana terbukti dari revolusi yang dibawakan Ayatullah Khomeini di Iran. Sudah tentu dengan segenap bahaya-bahaya yang ditimbulkannya, karena ternyata dalam sejarah, keadilan ideologis cenderung membuahkan tirani yang mengingkari keadilan itu Sebab kenyataan penting juga harus dikemukakan dalam hal ini, bahwa sifat dasar wawasan keadilan yang dikembangkan al-Qur’an ternyata bercorak mekanistik, kurang bercorak reflektif. Ini mungkin karena "warna" dari bentuk konkrit wawasan keadilan itu adalah "warna" hukum agama, sesuatu yang katakanlah legal-formalistik.
Tidak dapat dipungkiri, al-Qur’an meningkatkan sisi keadilan dalam kehidupan manusia, baik secara kolektif maupun individual. Karenanya, dengan mudah kita lalu dihinggapi semacam rasa cepat puas diri sebagai pribadi-pribadi Muslim dengan temuan yang mudah diperoleh secara gamblang itu. Sebagai hasil lanjutan dari rasa puas diri itu, lalu muncul idealisme atas al-Qur’an sebagai sumber pemikiran paling baik tentang keadilan.
\















Bab 3
Penutup
3.1Kesimpulan
Kebetulan persepsi semacam itu sejalan dengan doktrin keimanan Islam sendiri tentang Allah sebagai Tuhan Yang Maha Adil. Bukankah kalau Allah sebagai sumber keadilan itu sendiri, lalu sudah sepantasnya al-Qur’an yang menjadi firmanNya (kalamu ‘l-Lah) juga menjadi sumber pemikiran tentang keadilan? Cara berfikir induktif seperti itu memang memuaskan bagi mereka yang biasa berpikir sederhana tentang kehidupan, dan cenderung menilai refleksi filosofis yang sangat kompleks dan rumit. Mengapakah kita harus sulit-sulit mencari pemikiran dengan kompleksitas sangat tinggi tentang keadilan? Bukankah lebih baik apa yang ada itu saja segera diwujudkan dalam kenyataan hidup kaum Muslimin secara tuntas? Bukankah refleksi yang lebih jauh hanya akan menimbulkan kesulitan belaka? "Kecenderungan praktis" tersebut, memang sudah kuat terasa dalam wawasan teologis kaum skolastik (mutakallimin) Muslim sejak delapan abad terakhir ini. Argumentasi seperti itu memang tampak menarik sepintas lalu. Dalam kecenderungan segera melihat hasil penerapan wawasan Islam tentang keadilan dalam hidup nyata. Apalagi dewasa ini justru bangsa-bangsa Muslim sedang dilanda masalah ketidakadilan dalam ukuran sangat massif. Demikian juga, persaingan ketat antara Islam sebagai sebuah paham tentang kehidupan, terlepas dari hakikatnya sebagai ideologi atau bukan, dan paham-paham besar lain di dunia ini, terutama ideologi-ideologi besar seperti Sosialisme, Komunisme, Nasionalisme dan Liberalisme.
3.2 Saran
·         Ada baiknya pemimpin kita mengambil keputusan musyawarah terlebih dahulu sehingga pihak yang dirugikan dapat diminimalisir
·         Penggunaan kekuasaan harus mengutamakan amanah di atas segala – galanya, tak terpaku dan berniat melakukan praktik KKN dalam mencapainya
\

Daftar Pustaka
Abd Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur`an, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994.
Al-Raghib al-Ashfahani, Mufradat Alfadz al-Qur`an, Damsyiq : Dar al-Qalam, 1992.
E.I.J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam, London : Cambridge University Press, 1962.
Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta : Yayasan Obor, 1985.
http://Abatasya.net. 2007. ”Wali Songo 1”. Diakses Tanggal 16 Desmber 2007.
www. Salafy.or.id.2007. ”Definisi karomah”. Diakses Tanggal 21 Desember
2007.
www.CyberMQ.com. 2007. ”Walisongo dan Siti Jenar” Khutbah oleh Abd.
Maqgsith Ghazali. Diakses Tanggal 16 Desember 2007.
www.CyberMQ.com. 2007. ”Indahnya Keislaman versi Nahdhatul Ulama”.
Diakses Tanggal 16 Desember 2007
http://www.brawijaya.ac.id. 2007. ”Walisanga”. Diakses Tanggal 16 Desember
2007.
http://diosdias.wordpress.com. 2007. ”Ritus-mitos-simbol”. Diakses Tanggal 25
Agustus 2007.
http://diosdias.wordpress.com. 2007. ”Pengertian bid’ah dan jenisnya”. Diakses
Tanggal 19 Desember 2007.
http://myquran.org. 2007. ”Esensi Haul bagi NU”. Diakses Tanggal 19 Desember
2007.
http://muslim.or.id. 2007. Syarah Hadits Wali. Diakses Tanggal 21 Desember
2007.
http://en. Wikipedia.org/wiki/hagiografi. 2007. Diakses Tanggal 16 Desember
2007.
.
Lampiran
Kekuasaan Pemimpin

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Katakanlah: ”Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al-'Imran (3):26)


Ketaatan Kepada Pemimpin

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS.An-Nisa (4):59)

وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ

Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah, (QS. Al-Anbiya (21):73)

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar . Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. (QS. As-Sajdah (32) :24)


Pemimpin yang Beriman dan Bertakwa

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ بِطَانَةً مِّن دُونِكُمْ لاَ يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً وَدُّواْ مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاء مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِن كُنتُمْ تَعْقِلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (QS. Al-'Imran (3) :118).

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) . Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya , maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya . Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. An-Nisaa’: 34)


Setiap Muslim Adalah Pemimpin

حديث عبدالله بن عمر رضى الله عنه، أنّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم، قال: كلّكم راع فمسؤل عن رعيّته، فالأمير الّذى على النّاس راع وهو مسؤول عنهم، والرّجل راع على أهل بيته وهومسؤل عنهم، والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهى مسؤلة عنهم، والعبد راع على مال سيّده وهو مسؤل عنه، ألا فكلّكم راع وكلّكم مسؤل عن رعيّته.
أخرجه البخارى فى ٤٩ كتاب العتق: ١٧ باب كراهية التطاول على الرقيق
(LM:1199).

Hadits dari Abdullah bin Umar r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang imam (amir) pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang isteri pemimpin dan bertanggung jawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pelayan (karyawan) bertanggung jawab atas harta majikannya. Seorang anak bertanggung jawab atas penggunaan harta ayahnya. (HR. Bukhari)


Pemimpin Adalah Pelayan Masyarakat

حديث معقل بن يسار عن الحسن، أنّ عبيد الله بن زياد عاد معقل بن يسار فى مرضه الّذى مات فيه، فقال له معقل: إنّى محدّثك حديثا سمعته من رسول الله صلّى الله عليه وسلّم، سمعت النّيىّ صلّى الله عليه وسلّم يقول: ما من عبد استرعاه الله رعيّة فلم يحطها بنصيحة إلاّ لم يجد رائحة الجنّة.أخرجه البخارى فى ٩٣ كتاب الأحكام:٨ باب من استرعى رعية فلم ينصح.

(LM:1200).
Tidak ada dari seorang hamba yang tidak tulus terhadap pemerintahan yang sah kecuali ia tak akan mencium aroma syurga.







Larangan Berambisi Menduduki Suatu Jabatan

حديث عبدالرّحمن بن سمرة، قال: قال النّبىّ صلّى الله عليه وسلّم: يا عبدالرّحمن إبن سمرة! لاتسأل الإمارة، إن أوتيتها عن مسئلة وكلت أليها، وإن أوتيتها من غير مسئلة أعنت عليها.
أخرجه البخارى فى: ٨٣ كتاب الأيمان والنذور: ١ باب قول الله تعالى - لا يؤاخذكم الله باللغو فى أيمانكم

(LM:1197)
Hadits diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Samurah, ia berkata: Telah bersabda Nabi SAW: “Wahai Abdurrahman janganlah engkau mengharapkan suatu jabatan. Sesungguhnya jika jabatan itu diberi karena ambisimu maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Namun bila engkau ditugaskan tanpa ambisimu, maka kamu akan ditolong oleh Allah SWT untuk mengatasinya (HR. Imam Bukhari r.a)



Batas Ketaatan kepada Pemimpin

حديث عبد الله بن عمر رضى الله عنه، عن النّبىّ صلّى الله عليه وسلّم، قال: السّمع والطّاعة على المرء المسلم فيما أحبّ وكره، مالم يؤمر بمعصية؛ فإذا أمر مبعصية فلا سمع ولا طاعة.
أخرجه البخارى فى ٩٣: كتاب الأحكام: ٤ باب السمع والطاعة للأمام ما لم تكن معصية
LM:1205


Kaum Hawa Menjadi Kepala Negara (BM:1422)

لن يفلح قوم ولّواامرهم امرأة. (البخارى(

Tidak akan sukses suatu masyarakat yang mengangkat seorang wanita sebagai pemimpinnya (HR. Imam Bukhari r.a)


Asbabul Wurud hadits ini adalah ketika Rasulullah SAW mendengar bahwa putri Kaisar Persia diangkat menjadi Kaisar di negeri itu, maka beliau menyatakan sebagai berikut: Ketika sampai kepada Rasulullah SAW bahwa bangsa Persia telah mengangkat puteri Kaisar menjadi Kaisar mereka, maka beliau bersabda: tidaklah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan negaranya di bawah (Kaisar) perempuan. (Hadits riwayat Bukhary, Bab Kitab al-Nabi ila Kisra wa Qaishar).

0 komentar: