PENDAHULUAN :
Segala puji hanyalah bagi Allah SWT, Tuhan seru sekalian Alam. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah pada Rasulullah SAW, para keluarga, sahabat dan penerus risalahnya hingga hari akhir nanti.
Kepemimpinan dalam Islam mempunyai urgensi dan fungsi yang begitu mulia. Bahkan dalam jumlah yang sedikit pun, sekelompok orang haruslah memilih seorang di antara mereka untuk menjadi pemimpinnya. Rasulullah SAW bersabda:
إذا كنتم ثلاثة فأمروا أحدكم
"Jika engkau bertiga, maka hendaklah seorang menjadi pemimpinnya" (HR Thobroni dari Ibnu Mas'ud dengan sanad hasan)
Bukan hanya menegaskan tentang urgensinya, Syariah Islam pun mempunyai sejumlah aturan dan syarat-syarat tertentu dalam menentukan seorang pemimpin. Dalam bahasan fiqh, hal tersebut biasa dimasukkan dalam bab "al-imamah" dan " al-wilayah". Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa ulama secara khusus menuliskan tentang kepemimpinan dan pemerintahan dalam Islam. Seperti Ibnu Taimiyah dalam Siyasah Syariyah dan Al-Mawardi dalam Ahkam Sulthoniyah. Banyak permasalahan ijtihad fikih dalam masalah politik dan pemerintahan yang dibahas dalam buku tersebut. Tentu saja ini menunjukkan keluasan dan keluwesan syanat Islam dalam menghadapi perkembangan zaman. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam Kitabnya I'laamul Muwaqqin, dimana beliau menulis begitu gamblang dalam sebuah bab khusus berjudul :
تغير الفتوى و اختلافها بحسب تغير الأزمنة و الأمكنة و الأحوال و النيات و العوائد
"Perubahan Fatwa dan Perbedaannya sesuai dengan Perubahan Zaman, Tempat, Kondisi, Niat dan Adat kebiasaaan".
Di dalam bahasan tersebut, Ibnul Qoyyim banyak memberikan contoh hal-hal yang begitu luwes berubah dalam fatwa, sebagaimana beliau juga menekankan tentang prinsip-prinsip pokok dalam masalah ijtihad dan fatwa. Hal ini tentu sesuai dengan yang disabdakan Rasulullah SAW dalam haditsnya :
بعثت بالحنيفية السمحة
"Aku diutus dengan (agama) yang lurus dan moderat" (HR Ahmad dari Abu Umamah)
Pada perkembangan kontemporer, kepemimpinan dalam masyarakat kita menjadi begitu beragam baik dari segi tingkataan maupun bidangnya. Bentuk kepemimpinan yang paling tinggi yaitu Imamatul Udzhma telah hilang paska runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani pada tahun 1942. Selanjutnya umat Islam terkotak-kotak dalam bentuk negara yang berdiri sendiri. Dalam sebuah negarapun terdapat kepemimpinan-kepemimpinan cabang dengan karakteristik dan tugasnya masing-masing. Di Indonesia misalnya, kita mengenal adanya Presiden, Mentri, Gubernur dan Bupati. Semua jenis kepemimpinan tersebut tentu mempunyai karakteristik tersendiri, dan dengan sendirinya membutuhkan pengkajian lebih khusus tentang posisi kepemimpinan tersebut dalam aturan syariat kita, khususnya berkaitan dengan siapa saja yang berhak dan boleh menjabatnya.
Diantara yang paling banyak disorot dalam masyarakat kita, khususnya terkait dengan pemilihan pemimpin baik Pilpres, Pileg maupun Pilkada, adalah keberadaan calon-calon non muslim di dalamnya. Tentu saja ini adalah sebuah bentuk realitas dalam masyarakat kita, dimana tidak semua tempat dan kondisi umat Islam di sebuah daerah bisa menghadirkan pemimpin ideal dari golongan muslim yang komitmen. Inilah kemudian yang menjadi ganjalan sekaligus pertanyaan dari umat, tentang sejauh mana syarat dan kriteria dalam menentukan pemimpin, khususnya dalam konteks kedaerahan? Bagaimana sebenarnya status dan hukum pengangkatan non muslim dalam sebuah pemerintahan? Sementara kenyataan di lapangan begitu banyak dan berserak calon-calon non muslim yang siap maju menjadi pemimpin?
Atas dasar itulah, Partai Keadilan Sejahtera sebagai Partai Dakwah sekaligus bagian dari umat Islam merasa perlu untuk ikut mengkaji lebih jauh tentang bahasan pemilihan pemimpin dalam Islam dan secara khusus seputar pengangkatan non muslim dalam pemerintahan. Kajian tersebut kami tuangkan dalam Tulisan Rukyah Syamilah ini, yang tidak lain dan tidak bukan adalah kepanjangan tangan dan apa yang telah dibahas oleh para ulama dan mufassirin dalam kitab-kitab mereka terdahulu.!!!!!!!!
Tulisan ini kami bagi menjadi lima bagian utama, masing-masing adalah :
1- Masalah Pengangkatan Non Muslim (Tauliyati Ahli Dzimmah)
2- Masalah Kerja sama & Minta Bantuan kepada Non Muslim (Isti'anah bil Kufri)
3- Realitas Dunia Islam & Ijtihad Kontemporer
4- Masalah Ihsan dalam Musyarokah Siyasiyah
5- Menimbang antara Maslahat dan Madhorot
Hal-hal yang kami tuangkan dalam tulisan ini, adalah sebuah upaya sekaligus harapan untuk memberikan penjelasan sekaligus solusi bagi umat agar bisa keluar dari keraguan dan kegelisahan, seputar memilih dan mendukung pemimpin mereka. Semoga Allah SWT memberi taufiq, hidayah dan keberkahan atas niatan dan amal kami.
PERTAMA : TENTANG PENGANGKATAN NON MUSLIM
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 51:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
"Wahai orang-orang beriman, janganlah engkau menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali-wali, sesungguhnya sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.... " (QS Al Maidah 51)
Ayat di atas secara dhohir berbicara tentang keumuman pelarangan mengangkat pemimpin dari golongan non muslim. Selanjutnya dalam bahasan fiqh -sebagaimana disebutkan oleh Dr. Ibrahim Abdus Shodiq dalam Fiqh Sholahiyah lil Wilayah- hal tersebut masuk dalam bab tauliyatul ahlu dzimmah ( pengangkatan ahlu dzimmah / non muslim), dimana terkait dengan kepemimpinan dan hak non muslim di dalamnya, dibagi menjadi tiga tingkatan, masing-masing adalah :
1. Pengangkatan dalam Kepemimpinan Umum (Wilayatul 'Aamah) & Posisi yang mempunyai Nilai Keagamaan Strategis
2. Pengangkatan dalam Posisi Kepemimpinan Strategis Lainnya (Wazho'if Qiyadiyah)
3. Pengangkatan dalam Kepemimpinan Teknis dan Skill Umum tertentu (Wilayat Madaniyah)
Di dalam setiap tingkatan di atas, ada bahasan tersendiri seputar status pengangkatan non muslim di dalamnya.
Pertama : Pengangkatan dalam Wilayatul 'Aman & Posisi yang mempunyai nilai keagamaan Strategis
Yang dimaksud dengan wilayatul 'aamah adalah kepeminan umum yang bersifat mutlak, yang dalam syariat islam sering disebut dengan khilafah atau imamatul udzma. Pada masa ini, banyak ulama yang mengqiyaskannya dengan ria'satu daulah atau kepala negara / pemerintahan. Sementara itu, yang setara dengan hal tersebut ada juga yang disebut dengan wilayat dzu shibgoh diiniyah yaitu kepemimpinan atau jabatan yang mempunyai nilai keagamaan strategis, misalnya : panglima perang karena berkaitan dengan jihad, urusan haji, zakat, pernikahan dan yang semacamnya.
Dalam tingkatan kepemimpinan di atas, para ulama bersepakat tentang pengharaman non muslim menjadi pemimpin dalam posisi-posisi strategis sebagaimana disebutkan di atas. Beberapa ulama menyebutkan ijmak ini dalam kitab-kitabnya, diantaranya adalah :
Ibnu Mundzir yang menyatakan :
قال ابن المنذر: "أجمع كل من يحفظ عنه من أهل العلم أن الكافر لا ولاية له على مسلم بحال"
Telah bersepakat setiap yang dianggap sebagai ahlu ilmi bahwa seorang kafir tidak mempunyai hak wilayah (penguasaan) atas seorang muslim.[i]
Qadhi fudhail bin Iyad juga menyatakan ijmak yang sama :
و قال القاضي عياش: "أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر، و على أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل
Para ulama bersepakat bahwa imamah tidak sah pada non muslim, dan jika dalam kondisi tertentu seorang kafir bisa mendapatkannya, harus dilengserkan"
Dr. Ibrahim Abdu Shodiq - Pakar Siyasah Syar'iyah dari Universitas Um Durman Sudan, juga menyebutkan :
علماء الشرعية مجمعون على عدم جواز ولاية غير المسلمين الوظائف ذات الصبغة الدينية مثل (رئاسة الدولة، القضاء بين المسلمين، وزارة التفويض، الجهاد، إمارة الحج، الحسبة...الخ
Ulama Syariah bersepakat atas tidak bolehnya mengangkat non muslim pada jabatan-jabatan yang mempunyai nilai strategis keagamaan ( misal: kepala negara, hakim, panglima perang, haji, zakat)
Dengan demikian, wilayah atau tingkatan pertama dalam kepemimpinan ini secara ijmak tidak dibenarkan untuk dijabat oleh orang non muslim. Mengingat posisi dan kekuasaannya yang begitu strategis dan bersentuhan langsung dengan maslahat kaum muslimin. Hal ini sesuai dengan isyarat Al-Quran yang mengingatkan kita dengan begitu jelas :
وَلَن يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
Artinya : dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk merugikan orang-orang yang beriman (An-Nisa': 141)
TAHQIQ wa TAHLIL MAS'ALAH (Analisa Permasalahan )
Perlu diperhatikan bahwa pengharaman di atas berkutat pada kepemimpinan atau penguasaan yang mutlak, bahkan dalam bahasa Qadhi Iyadh adalah imamah (kekhalifahan). Jika kita hubungkan dengan realita kontemporer saat ini, maka pengharaman di atas terjadi pada wilayah-wilayah tertentu seperti Presiden, Panglima Perang, Hakim, serta Kementrian yang mengurusi masalah strategis keagamaan.
Ini artinya, banyak wilayah kepemimpinan selain yang disebutkan di atas tidak bisa diberlakukan hukum ijmak di atas. Hal ini meliputi posisi menteri secara umum, gubernur, kepala daerah dan yang semacamnya. Karena secara struktur, tugas dan wewenang berbeda dengan jabatan-jabatan yang diharamkan dalam wilayah ijmak di atas. Seorang kepala daerah misalnya, ia tidak memiliki wewenang strategis dalam masalah militer, kehakiman. Begitu pula ia terikat dengan struktur birokrasi di atasnya yang kuat mengatur dan mengikat, belum lagi dengan sistem dan aturan perundangan yang ada. Sehingga, secara umum terbuka peluang untuk non muslim menjabat posisi selain yang disebutkan di atas. Hal ini akan dibahas lebih jauh dalam bahasan berikutnya.
KEDUA : PENGANGKATAN DALAM POSISI KEPEMIMPINAN STRATEGIS LAINNYA (WAZHOIF QIYADIYAH)
Yang dimaksud dengan wadhzoif qiyadiah disini adalah kepemimpinan strategis lainnya, di luar kepemimpinan yang disebutkan dalam tingkatan pertama. Seperti jabatan : menteri secara umum, gubernur, kepala daerah dan kepala instansi tertentu misalnya.
Pada bahasan ini, terdapat perbedaan yang cukup tajam di antara Ulama. Disebutkan dalam Fiqh Sholahiyah Lil Imamah ungkapan :
و هكذا يشتد الخلاف في ولاية أهل الذمة لمنصب وزارة التنفيذ، وأضرابها من الوظائف القيادية في الدولة الإسلامية، أما الولايات العلا و ذات الصفة الدينية فلا خلاف بينهم في عدم جواز ولايتها لغير المسلمين
"Terjadi perbedaan yang tajam dalam kepemimpinan ahlu dzimmah untuk posisi wizarotu tanfidz (kementrian pelaksana), dan juga jabatan kepemimpinan yang setara lainnya ( wadzhoif wiyadiyah) dalam sebuah daulah islamiyah. Sementara untuk kepemimpinan yang tertinggi (imamatul udzma) dan kepemimpinan yang mempunyai nilai strategis keagamaan, maka tidak ada khilaf di antara mereka tentang ketidakbolehannya di jabat oleh non muslim"
Diantara ulama yang membolehkan pengangkatan non muslim dalam tingkatan ini adalah Imam Al-Mawardi, sementara yang mengharamkan diantaranya adalah Imam Haromain Al-Juwaeni.
Pendapat yang Mengharamkan
Mereka yang mengharamkan melandaskan dengan keumuman ayat di atas dan beberapa ayat lainnya yang senada, juga dengan kisah Umar bin Khottob yang memerintahkan dua gubernurnya (Abu Musa al-Asy'ari dan Kholid bin Walid) untuk memecat asistennya di bidang administrasi dan keuangan yang berasal dari non muslim. Riwayat lengkap tentang kisah tersebut dinukil oleh Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad. Teksnya lengkapnya sebagai berikut:
عن أبي موسى رضي الله عنه قال: (قلت لعمر رضي الله عنه: إن لي كاتبا نصرانيا، قال: ما لك قاتلك الله، أما سمعت الله يقول: (يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا اليهود و النصارى أولياء بعضهم أولياء بعض)- ألا اتخذت حنيفا؟ قال: قلت يا أمير المؤمنين: لي كتابته و له دينه. قال: لا أكرمهم إذ أهانهم الله، ولا أعزهم إذ أذلهم الله، و لا أدنيهم إذ أقصاهم الله.
Dari Abu Musa ra, ia berkata : Saya katakan pada Umar bahwa saya mempunyai seorang sekretaris nashrani, maka Umar mengatakan : Ada apa denganmu, semoga Allah SWT membunuhmu, apakah engkau tidak dengar Allah SWT berfirman : "wahai orang-orang yang beriman janganlah menjadikan orang yahudi dan nashroni sebagai pemimpin/kesayangan "?. Saya katakan pada Umar: bagiku adalah tulisannya, dan bagi dia adalah agamanya ". Umar mengatakan : " Tidak akan aku muliakan mereka ketika Allah telah menghinakan mereka " ... dst
فقد كتب خالد بن الوليد رضي الله عنه إلى عمر بن الخطاب رضي الله عنه يقول: "إن بالشام كاتبا نصرانيا لا يقوم خراج الشام إلا به" فكتب إليه: "لا تستعمله." فكتب: "إنه لا غنى بنا" عنه، فكتب إليه عمر: "لا تيتعمله." فكتب إليه: "إذا لم نوله ضاع المال." فكتب إليه عمر رضي الله عنه: "مات النصراني و السلام"
Artinya : Kholid bin walid menulis kepada Umar bin Khottob : di Syam (kami punya) juru tulis, yang penghitungan keuangan (khoroj) tidak akan lancar tanpanya. Maka Umar menjawab : " jangan gunakan dia ". Kholid menjawab kembali : " Kami sangat membutuhkannya". Umar menulis kembali : "Jangan gunakan dia !". Kholid menulis kembali:" Kalau kami tidak menggunakannya, akan hilang uang kami". Umar mengakhiri dengan mengatakan :" Semoga Nashrani itu mati. wassalam"
Munaqosyah Adillah:
Pendapat dengan sandaran dalil di atas bisa dibaca dan dua sisi:
1. Pertama : Umar bin Khotob melihat posisi juru tulis dan keuangan sebuah pemerintahan gubernur adalah jabatan strategis dan prestise, apalagi disebutkan pula oleh Kholid bin Walid tentang wewenang dan tugasnya yang begitu penting. Karenanya Umar tidak ragu lagi untuk memerintahkan pemecatannya, karena melihat itu sesuatu yang strategis dan membahayakan jika dijabat kaum non muslim. Ini sangat bisa dipahami mengingat keterbatasan pada saat itu, posisi juru tulis sangat menentukan.
2. Kedua : Secara fiqh perdebatan di atas menunjukkan ada perbedaan pendapat di kalangan sahabat. Hanya saja karena posisi Umar sebagai khalifah, maka ia berhak memutuskan sikap akhirnya. Secara ushul Fiqh, ini tidak termasuk dalam bagian ijmak sahabat, tetapi qaul atau pendapat dan ijtihad sahabat, yang ternyata berbeda antara Umar dan kedua gubernurnya.
Pendapat dan Dalil yang Membolehkan
Diantara dalil dan ungkapan yang mengisyaratkan kebolehan hal di atas antara lain :
Pertama : Sayyid Tantowi dalam Tafsir Al-Wasith, ketika menafsirkan ayat Muwalah di atas, beliau menyebutkan: Al-Muwalah yang dilarang adalah yang mengakibatkan kerugian kaum muslimin dan agama, bukan muwalah atau kerja sama secara umum. Teks arabnya sebagai berikut:
و الموالاوة الممنوعة هي التي يكون فيها خذلان للدين أو إيذاء لأهله أو إضاعة لمصالحهم
Artinya :" Muwalaah (dukungan dan pengangkatan atas non muslim) yang dilarang adalah : yang di dalamnya ada unsur tipuan dan penistaan agama, atau mengganggu dan merugikan kaum muslimin, dan mengapus kemaslahatan mereka " (Tafsir Al-Wasith)
Sehingga, muwalah atau dukungan dengan syarat bermanfaat bagi umat dan agama, tidak termasuk muwalah yang disebutkan dalam ayat di atas.
Kedua : Imam Fakhruddin - Arrozi dalam Tafsir Mafatihul Ghoib, ketika menafsirkan ayat di atas mengungkapkan bahwa : Yang dilarang adalah menjadikan Non Muslim pemimpin mutlak (sendiri) tanpa ada orang beriman di sana. Beliau menyatakan :
لم لا يجوز أن يكون المراد من الآية النهي عن اتخاذ الكافرين أولياء بمعنى أن يتولوهم دون المؤمنين، فأما إذا تولوهم و تولوا المؤمنين معهم فذلك ليس بمنهي عنه
Mengapa tidak boleh jika yang dimaksudkan (pelarangan) dalam ayat adalah menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, artinya : mengangkat mereka tanpa mengangkat orang mungkin. Jika mengangkat non muslim dan pada saat yang sama juga mengangkat orang mukmin bersamanta, maka hal tersebut tidaklah dilarang.
Ungkapan di atas menunjukkan, sekiranya seorang muslim mengangkat non muslim untuk jabatan tertentu tetapi mereka juga mengangkat orang muslim bersamanya, maka hal itu tidak termasuk yang dilarang dalam ayat.
Ketiga, Imam Al-Mawardy dalam Ahkam Sultoniyah[ii] menyebutkan :
و يجوز أن يكون هذا الوزير من أهل الذمة و إن لم يجز أن يكون وزير التفويض منهم
" dan boleh jika kementrian ini (tanfidz) dipegang oleh ahlu dzimmah (non muslim), meskipun tidak boleh bagi mereka menduduki kementrian tafwiidh."
Di dalam ahkam sulthoniyah bab wizaroh (kementrian), Imam Mawardi membagi pos kementrian menjadi dua bagian utama, yaitu wizarotu tanfidz (kementrian pelaksana) dan wizarotu tafwidh (kementrian pendelegasi). Dimana diantara keduanya terdapat sejumlah persamaan dan perbedaan. Secara ringkas, kementrian tafwidh mempunyai wewenang lebih besar khususnya dalam hal-hal yang sangat strategis seperti pengadilan, peperangan dan baitul mal.
Keempat: Dr. Yusuf Qardhawi dalam dua bukunya[iii] menyebutkan secara spesifik persoalan ini. Dalam kitab Ghoiril muslimin fi mujtamak muslim, beliau mengatakan :
"و لأهل الذمة الحق في تولى وظائف الدولة كالمسلمين، إلا ما غلب عليه الصبغة الدينية كالإمامة و رئاسة الدولة و القيادة في الجيش، و القضاء بين المسلمين، و الولاية على الصدقات، و نحو ذلك.
"dan bagi ahli dzimmah (ada) hak dalam menjabat posisi-posisi dalam negara sebagaimana halnya kaum muslimin, kecuali pada jabatan-jabatan yang lebih dominan unsur keagamannya, seperti: imamah (khilafah), kepala negara, panglima militer, hakim, dan yang mengurusi sedekah, dan yang semacamnya"
Beliau melanjutkan :
و ما عدا ذلك من وظائف الدولة فيجوز إسناده إلى أهل الذمة، إذا تحققت فيهم الشروط التي لا بد منها، من الكفاية و الأمانة و الإخلاص للدولة.
"dan jabatan selain itu (yang disebutkan tadi) yang termasuk jabatan-jabatan dalam sebuah negara, maka boleh disandarkan pada ahlu dzimmah, jika terpenuhi syarat-syaratnya pada diri mereka, seperti: kemampuan, amanah, dan loyal pada negara"
Dalam tulisan yang lain, [iv] Dr. Qaradhawi menyebutkan :
و لا مانع من أن يكون أحد نائبي الرئيس، أو نوابه من غير المسلمين، و خصوصا إذا كانت الأقلية غير المسلمة كبيرة، كما هو حاصل في السودان اليوم/
"Tidak ada larangan jika salah satu dari dua wakil presiden atau dari beberapa wakilnya adalah berasal dari non muslim, khususnya jika jumlah minoritas non muslimnya cukup besar. Sebagaimana pula terjadi di Sudan.”
Kelima, Imam Syahid Hasan Al-Banna juga telah memprediksikan kemungkinan pengangkatan non muslim dengan syarat-syarat tertentu. Dalam Majmuatur Rosail, bab Risalatu Ta'alim[v], setelah berbicara tentang syarat-syarat pemerintahan islam (hukumah islamiyah) yang terdiri dari kaum muslimin yang komitmen dengan kewajiban agama, beliau menyatakan :
و لا بأس أن نستعين بغير المسلمين عند الضرورة، في غير مناصب الولاية العامة،
“Dan tidak mengapa meminta bantuan kepada non muslim dalam kondisi darurat, dalam jabatan-jabatan yang bukan kepemimpinan umum.”
Munaqosyah Adillah:
1- Para Ulama yang membolehkan pengangkatan non muslim pada posisi tertentu senantiasa memberikan batasan dan syarat tertentu, sebagaimana Imam Mawardi mengistilahkan ada wizarotu tanfidz yang berbeda kewenangan dengan wizarotu tafwidh. Begitula pula Qardhawi yang mensyaratkan tidak pada posisi-posisi strategis yang berhubungan dengan keagaaman secara dekat, seperti: imamah sholat, hakim, militer dan baitul maal. Maka jika kita lihat dengan lebih objektif, sesungguhnya posisi kepala daerah, dengan sendirinya mempunyai keterbatasan dan keterikatan tertentu.
2- Dengan logika yang sederhana, sesungguhnya para ulama yang membolehkan pengangkatan non muslim menduduki jabatan tertentu yang cukup strategis, mereka berbicara dalam konteks menjalankan negara islam, pemerintahan islam, bahkan khilafah islamiyah. Ini artinya, dalam kondisi 'berkuasa penuh' pun, masih begitu fleksibel dengan membuka kesempatan dalam keterlibatan non muslim. Jika dilihat dalam konteks kekinian, dimana pemerintahan islam belumlah terbentuk, dimana bargaining kekuatan politik islam masih sangat rendah, maka tentu opsi bekerja sama dan pengangkatan non muslim dalam jabatan tertentu seharusnya lebih terbuka dan fleksibel.
Kesimpulan : Pengangkatan non muslim dalam kepemimpinan strategis sebagaimana disebutkan dalam tingkatan kedua adalah boleh, dengan melihat secara jelas maslahat yang akan di dapat oleh kaum muslimin, serta terpenuhi syarat -syarat secara khusus. Begitu pula, kebolehan tersebut semakin terbuka jika yang diangkat bukan non muslim seorang, tetapi bersamanya atau didampingin dengan seorang muslim, sebagaimana disebutkan oleh imam Fahrudin Ar-Rozi dalam tafsirnya.
KEDUA : TENTANG KERJA SAMA dan MEMINTA BANTUAN dengan NON MUSLIM
Lebih mengerucut dalam konteks Pilkada Solo, untuk memahami hakekat posisi kepala daerah dan wakilnya, bisa kita lihat dalam cuplikan berita sebagai berikut:
Sambas - Para Wakil Kepala Daerah (Wakada) menggugat mereka tidak mau lagi hanya menjadi ban serep ketika kepala daerah berhalangan. Gugatan itu mengemuka pada acara Lokakarya dan Pertemuan Nasional (LPN) pra wakil kepala daerah se-Indonesia di Bengkulu yang digelar selama tiga hari, 15-17 Juni 2007, yang menghasilkan rekomendasi agar pemerintah segera melakukan amandemen terhadap UU 32/2003 tentang Pemerintahan Daerah. (HARIAN PELITA)
Begitu pula, jika dicermati lebih jauh sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku, maka akan kita dapati bahwa TUGAS dan WEWENANG WAKIL WALIKOTA itu diatur dalam sebuah PERATURAN WALIKOTA yang ditandatangani oleh walikota. Ini artinya, dalam bahasa sederhana sesungguhnya yang terjadi adalah Walikota sedang bekerja sama dengan WAKIL WALIKOTA atau meminta bantuan kepada WAKIL WALIKOTA dalam menjalankan tugasnya.
Sehingga akan sangat berbeda secara efek ideologis dan syar'i, mendukung non muslim menjadi pemimpin (walikota), dengan mendukung WALIKOTA MUSLIM yang bekerja sama atau meminta bantuan kepada non muslim.
Dalam bahasan fiqh seputar istianah bil kufar (meminta bantuan pada orang kafir) jumhur ulama selain Malikiyah mengatakan KEBOLEHANNYA, sekalipun dalam kondisi berperang dengan dua syarat: kondisi yang membutuhkan dan bisa dipercaya.
مذهب الجمهور (الشافعية و الحنابلة و الأحناف) : قالوا يجوز الاستعانة بالكفر في الحرب بشرطين: أولا: الحاجة إليهم، و ثانيا: الوثوق من جهتهم.
Dalam bahasan siroh, akan kita temukan banyak lagi bentuk fiil Rasulullah SAW dalam beristi'anah dengan non muslim, misalnya :
• Peristiwa Hijrah, dengan Abdullah bin Uraiqith dan Suroqoh
• Bekerja sama dengan Yahudi bani Qainuqo di awal pemerintahan Madinah
• Bekerja sama dengan Sofwan dalam sebuah peperangan besar
KETIGA : REALITAS KEKINIAN DUNIA ISLAM. PENGANGKATAN NON MUSLIM ADALAH SEBUAH HAL YANG SUDAH TERJADI DENGAN IJTIHAD-IJTIHAD KONTEMPORER
Ketika kita masih berbicara pengangkatan non muslim untuk jabatan Walikota dan wakil walikota, sesungguhnya di luar sana hal ini sudah merupakan realitas kekinian yang dihadapi dunia Islam bahkan juga harakah Islam. Bukan hanya dalam konteks pemimpin lokal tetapi dalam konteks negara Islam dan mayoritas muslim. Dua diantaranya layak mendapatkan perhatian :
1. Negara Sudan, yang sejak dua dasawarsa memberlakukan syariat Islam dalam seluruh perundang-undangannya. Jelas-jelas memiliki wakil presiden non Muslim berasal dari minoritas kristen di daerah Selatan.
2. Negara Suriah, pernah mempunyai seorang PM yang berasal dari minoritas Kristen, bernama Faris Al-Khuury. Uniknya -sebagaimana dikatakan Qardhawi- termasuk PM yang paling sukses, berhasil bekerja saja dengan mentri-mentri dari kaum muslimin, bahkan sebagian besar kaum muslimin Suriah puas dengannya. Dan ia dikenal sebagai PM kristen yang paling yakin dengan syariat Islam sebagai solusi.
Jika kita pandang dari sudut syariah, ini membuktikan adanya ijtihad-ijtihad kontemporer dalam masalah ini, dimana tidak setiap dukungan dan pengangkatan non muslim selalu dihubungkan dengan pelanggaran syar'i dan doktrin ideologi.
KEEMPAT : MENDUKUNG YANG BERPOTENSI UNGGUL ADALAH BENTUK IHSAN DALAM MEMENANGKAN AGENDA UMAT
Salah satu ajaran utama Islam adalah berlaku ihsan / optimal dalam segala sesuatunya.
Allah berfirman dalam surat Al-Mulk:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
"Yang menciptakan hidup dan mati untuk mengujimu yang mana diantara kalian yang paling ihsan amalnya"(QS Al-Mulk 2)
Begitupula Hadits Rasulullah SAW, beliau bersabda :
إن الله كتب الإحسان على كل شيئ
"Sesungguhnya Allah SWT mewajibkan berlaku ihsan dalam segala sesuatunya” (HR Muslim, Tirmidzi)
Dalam perspektif syar'i, salah satu tujuan musyarokah (partisipasi politik) adalah amar makruf nahi munkar, atau sebagaimana disebutkan oleh Imam Hasan Al-Banna , yaitu sebagai upaya sebagai islahul hukumah. Tentu saja ini sejalan dengan hadits Rasul SAW yang menyatakan agama adalah nasihat, dimana disebutkan salah satunya adalah nasihat bagi pemimpin kaum muslimin.
Untuk membuka peluang yang efektif dalam amar makruf nahi munkar dan menasehati pemimpin, atau mencegah kezaliman yang telah dan akan dilakukan (unsur akhoka dzholiman au madzluman) maka secara realitas politik itu dapat dipenuhi jika sejak awal kita mendukung pasangan yang berpotensi menang. Tanpa adanya dukungan sejak awal, maka kemungkinan nasehat dan amar makruf tetap ada, tetapi sangat kecil atau bahkan tertutup. Sehingga pada titik ini, sesungguhnya melakukan kalkulasi kekuatan, survei lapangan, dan pada akhirnya mendukung yang paling berpotensi unggul, adalah bagian dari berbuat ihsan dalam memenangkan agenda islahul hukumah. Wallahu a'lam
KELIMA : TENTANG KAIDAH MASLAHAT DAN MADHOROT
Dalam menentukan pilihan politik, senantiasa harus berlandaskan pertimbangan yang jelas tentang kemanfaatan untuk umat yang bisa diperoleh karenanya. Imam Qurthubi dalam penafsiran ayat 'muwalah', beliau menyebutkan larangan memilih non muslim bersifat umum, lalu beliau melanjurkan :
و أقول: إن كانت في ذلك فائدة محققة فلا بأس به.
"Seandainya di dalamnya ada manfaat yang jelas terealisasi, maka tidak mengapa dengan itu (mengangkat non muslim) " (Al-jami li ahkamil quran)
Karenanya, sebagai implementasi dari maqoshid syariah, dalam menimbang segala sesuatunya tentu harus mempertimbangkan aspek maslahat dan madhorot. Dalam syarat menentukan maslahat disebutkan oleh ulama Ushul fiqh salah satunya adalah :
أن تكون مصلحة حقيقة و ليست مصلحة وهمية
"Hendaknya maslahat benar-benar bisa diperhitungkan terjadi bukan hanya menduga-duga "
Begitu pula dalam madhorot, tidak bisa hanya diperkirakan dengan asumsi-asumsi tanpa perhitungan yang jelas. Maka mungkin saja dalam konteks PILKADA banyak asumsi dan perkiraan dimunculkan seputar maslahat dan madhorot ketika mendukung salah seorang pasangan. Dalam hal ini semua pihak bisa memakai kaidah yang sama seputar maslahat dan madhorot, semua bisa mengasumsikan dan mengklaim ini adalah madhorot dan ini adalah maslahat.
Karenanya, kembali pada syarat di atas MASLAHAT haruslah jelas dan diperhitungkan terjadi. Untuk itulah dalam proses musyarokah dan dukungan PILKADA, haruslah diupayakan adanya KONTRAK POLITIK yang bisa menjadi sarana untuk mendekatkan pada MASLAHAT yang diperhitungkan, serta pada saat yang sama menjauhkan dan mencegah dari MADHOROT. Tanpa adanya kontrak politik yang jelas, pertimbangan maslahat dan madhorot menjadi sangat debatable, atau dalam bahasa ushul fiqh :" wahmiyath" . Wallahu Alam
Segala puji hanyalah bagi Allah SWT, Tuhan seru sekalian Alam. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah pada Rasulullah SAW, para keluarga, sahabat dan penerus risalahnya hingga hari akhir nanti.
Kepemimpinan dalam Islam mempunyai urgensi dan fungsi yang begitu mulia. Bahkan dalam jumlah yang sedikit pun, sekelompok orang haruslah memilih seorang di antara mereka untuk menjadi pemimpinnya. Rasulullah SAW bersabda:
إذا كنتم ثلاثة فأمروا أحدكم
"Jika engkau bertiga, maka hendaklah seorang menjadi pemimpinnya" (HR Thobroni dari Ibnu Mas'ud dengan sanad hasan)
Bukan hanya menegaskan tentang urgensinya, Syariah Islam pun mempunyai sejumlah aturan dan syarat-syarat tertentu dalam menentukan seorang pemimpin. Dalam bahasan fiqh, hal tersebut biasa dimasukkan dalam bab "al-imamah" dan " al-wilayah". Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa ulama secara khusus menuliskan tentang kepemimpinan dan pemerintahan dalam Islam. Seperti Ibnu Taimiyah dalam Siyasah Syariyah dan Al-Mawardi dalam Ahkam Sulthoniyah. Banyak permasalahan ijtihad fikih dalam masalah politik dan pemerintahan yang dibahas dalam buku tersebut. Tentu saja ini menunjukkan keluasan dan keluwesan syanat Islam dalam menghadapi perkembangan zaman. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam Kitabnya I'laamul Muwaqqin, dimana beliau menulis begitu gamblang dalam sebuah bab khusus berjudul :
تغير الفتوى و اختلافها بحسب تغير الأزمنة و الأمكنة و الأحوال و النيات و العوائد
"Perubahan Fatwa dan Perbedaannya sesuai dengan Perubahan Zaman, Tempat, Kondisi, Niat dan Adat kebiasaaan".
Di dalam bahasan tersebut, Ibnul Qoyyim banyak memberikan contoh hal-hal yang begitu luwes berubah dalam fatwa, sebagaimana beliau juga menekankan tentang prinsip-prinsip pokok dalam masalah ijtihad dan fatwa. Hal ini tentu sesuai dengan yang disabdakan Rasulullah SAW dalam haditsnya :
بعثت بالحنيفية السمحة
"Aku diutus dengan (agama) yang lurus dan moderat" (HR Ahmad dari Abu Umamah)
Pada perkembangan kontemporer, kepemimpinan dalam masyarakat kita menjadi begitu beragam baik dari segi tingkataan maupun bidangnya. Bentuk kepemimpinan yang paling tinggi yaitu Imamatul Udzhma telah hilang paska runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani pada tahun 1942. Selanjutnya umat Islam terkotak-kotak dalam bentuk negara yang berdiri sendiri. Dalam sebuah negarapun terdapat kepemimpinan-kepemimpinan cabang dengan karakteristik dan tugasnya masing-masing. Di Indonesia misalnya, kita mengenal adanya Presiden, Mentri, Gubernur dan Bupati. Semua jenis kepemimpinan tersebut tentu mempunyai karakteristik tersendiri, dan dengan sendirinya membutuhkan pengkajian lebih khusus tentang posisi kepemimpinan tersebut dalam aturan syariat kita, khususnya berkaitan dengan siapa saja yang berhak dan boleh menjabatnya.
Diantara yang paling banyak disorot dalam masyarakat kita, khususnya terkait dengan pemilihan pemimpin baik Pilpres, Pileg maupun Pilkada, adalah keberadaan calon-calon non muslim di dalamnya. Tentu saja ini adalah sebuah bentuk realitas dalam masyarakat kita, dimana tidak semua tempat dan kondisi umat Islam di sebuah daerah bisa menghadirkan pemimpin ideal dari golongan muslim yang komitmen. Inilah kemudian yang menjadi ganjalan sekaligus pertanyaan dari umat, tentang sejauh mana syarat dan kriteria dalam menentukan pemimpin, khususnya dalam konteks kedaerahan? Bagaimana sebenarnya status dan hukum pengangkatan non muslim dalam sebuah pemerintahan? Sementara kenyataan di lapangan begitu banyak dan berserak calon-calon non muslim yang siap maju menjadi pemimpin?
Atas dasar itulah, Partai Keadilan Sejahtera sebagai Partai Dakwah sekaligus bagian dari umat Islam merasa perlu untuk ikut mengkaji lebih jauh tentang bahasan pemilihan pemimpin dalam Islam dan secara khusus seputar pengangkatan non muslim dalam pemerintahan. Kajian tersebut kami tuangkan dalam Tulisan Rukyah Syamilah ini, yang tidak lain dan tidak bukan adalah kepanjangan tangan dan apa yang telah dibahas oleh para ulama dan mufassirin dalam kitab-kitab mereka terdahulu.!!!!!!!!
Tulisan ini kami bagi menjadi lima bagian utama, masing-masing adalah :
1- Masalah Pengangkatan Non Muslim (Tauliyati Ahli Dzimmah)
2- Masalah Kerja sama & Minta Bantuan kepada Non Muslim (Isti'anah bil Kufri)
3- Realitas Dunia Islam & Ijtihad Kontemporer
4- Masalah Ihsan dalam Musyarokah Siyasiyah
5- Menimbang antara Maslahat dan Madhorot
Hal-hal yang kami tuangkan dalam tulisan ini, adalah sebuah upaya sekaligus harapan untuk memberikan penjelasan sekaligus solusi bagi umat agar bisa keluar dari keraguan dan kegelisahan, seputar memilih dan mendukung pemimpin mereka. Semoga Allah SWT memberi taufiq, hidayah dan keberkahan atas niatan dan amal kami.
PERTAMA : TENTANG PENGANGKATAN NON MUSLIM
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 51:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
"Wahai orang-orang beriman, janganlah engkau menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali-wali, sesungguhnya sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.... " (QS Al Maidah 51)
Ayat di atas secara dhohir berbicara tentang keumuman pelarangan mengangkat pemimpin dari golongan non muslim. Selanjutnya dalam bahasan fiqh -sebagaimana disebutkan oleh Dr. Ibrahim Abdus Shodiq dalam Fiqh Sholahiyah lil Wilayah- hal tersebut masuk dalam bab tauliyatul ahlu dzimmah ( pengangkatan ahlu dzimmah / non muslim), dimana terkait dengan kepemimpinan dan hak non muslim di dalamnya, dibagi menjadi tiga tingkatan, masing-masing adalah :
1. Pengangkatan dalam Kepemimpinan Umum (Wilayatul 'Aamah) & Posisi yang mempunyai Nilai Keagamaan Strategis
2. Pengangkatan dalam Posisi Kepemimpinan Strategis Lainnya (Wazho'if Qiyadiyah)
3. Pengangkatan dalam Kepemimpinan Teknis dan Skill Umum tertentu (Wilayat Madaniyah)
Di dalam setiap tingkatan di atas, ada bahasan tersendiri seputar status pengangkatan non muslim di dalamnya.
Pertama : Pengangkatan dalam Wilayatul 'Aman & Posisi yang mempunyai nilai keagamaan Strategis
Yang dimaksud dengan wilayatul 'aamah adalah kepeminan umum yang bersifat mutlak, yang dalam syariat islam sering disebut dengan khilafah atau imamatul udzma. Pada masa ini, banyak ulama yang mengqiyaskannya dengan ria'satu daulah atau kepala negara / pemerintahan. Sementara itu, yang setara dengan hal tersebut ada juga yang disebut dengan wilayat dzu shibgoh diiniyah yaitu kepemimpinan atau jabatan yang mempunyai nilai keagamaan strategis, misalnya : panglima perang karena berkaitan dengan jihad, urusan haji, zakat, pernikahan dan yang semacamnya.
Dalam tingkatan kepemimpinan di atas, para ulama bersepakat tentang pengharaman non muslim menjadi pemimpin dalam posisi-posisi strategis sebagaimana disebutkan di atas. Beberapa ulama menyebutkan ijmak ini dalam kitab-kitabnya, diantaranya adalah :
Ibnu Mundzir yang menyatakan :
قال ابن المنذر: "أجمع كل من يحفظ عنه من أهل العلم أن الكافر لا ولاية له على مسلم بحال"
Telah bersepakat setiap yang dianggap sebagai ahlu ilmi bahwa seorang kafir tidak mempunyai hak wilayah (penguasaan) atas seorang muslim.[i]
Qadhi fudhail bin Iyad juga menyatakan ijmak yang sama :
و قال القاضي عياش: "أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر، و على أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل
Para ulama bersepakat bahwa imamah tidak sah pada non muslim, dan jika dalam kondisi tertentu seorang kafir bisa mendapatkannya, harus dilengserkan"
Dr. Ibrahim Abdu Shodiq - Pakar Siyasah Syar'iyah dari Universitas Um Durman Sudan, juga menyebutkan :
علماء الشرعية مجمعون على عدم جواز ولاية غير المسلمين الوظائف ذات الصبغة الدينية مثل (رئاسة الدولة، القضاء بين المسلمين، وزارة التفويض، الجهاد، إمارة الحج، الحسبة...الخ
Ulama Syariah bersepakat atas tidak bolehnya mengangkat non muslim pada jabatan-jabatan yang mempunyai nilai strategis keagamaan ( misal: kepala negara, hakim, panglima perang, haji, zakat)
Dengan demikian, wilayah atau tingkatan pertama dalam kepemimpinan ini secara ijmak tidak dibenarkan untuk dijabat oleh orang non muslim. Mengingat posisi dan kekuasaannya yang begitu strategis dan bersentuhan langsung dengan maslahat kaum muslimin. Hal ini sesuai dengan isyarat Al-Quran yang mengingatkan kita dengan begitu jelas :
وَلَن يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
Artinya : dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk merugikan orang-orang yang beriman (An-Nisa': 141)
TAHQIQ wa TAHLIL MAS'ALAH (Analisa Permasalahan )
Perlu diperhatikan bahwa pengharaman di atas berkutat pada kepemimpinan atau penguasaan yang mutlak, bahkan dalam bahasa Qadhi Iyadh adalah imamah (kekhalifahan). Jika kita hubungkan dengan realita kontemporer saat ini, maka pengharaman di atas terjadi pada wilayah-wilayah tertentu seperti Presiden, Panglima Perang, Hakim, serta Kementrian yang mengurusi masalah strategis keagamaan.
Ini artinya, banyak wilayah kepemimpinan selain yang disebutkan di atas tidak bisa diberlakukan hukum ijmak di atas. Hal ini meliputi posisi menteri secara umum, gubernur, kepala daerah dan yang semacamnya. Karena secara struktur, tugas dan wewenang berbeda dengan jabatan-jabatan yang diharamkan dalam wilayah ijmak di atas. Seorang kepala daerah misalnya, ia tidak memiliki wewenang strategis dalam masalah militer, kehakiman. Begitu pula ia terikat dengan struktur birokrasi di atasnya yang kuat mengatur dan mengikat, belum lagi dengan sistem dan aturan perundangan yang ada. Sehingga, secara umum terbuka peluang untuk non muslim menjabat posisi selain yang disebutkan di atas. Hal ini akan dibahas lebih jauh dalam bahasan berikutnya.
KEDUA : PENGANGKATAN DALAM POSISI KEPEMIMPINAN STRATEGIS LAINNYA (WAZHOIF QIYADIYAH)
Yang dimaksud dengan wadhzoif qiyadiah disini adalah kepemimpinan strategis lainnya, di luar kepemimpinan yang disebutkan dalam tingkatan pertama. Seperti jabatan : menteri secara umum, gubernur, kepala daerah dan kepala instansi tertentu misalnya.
Pada bahasan ini, terdapat perbedaan yang cukup tajam di antara Ulama. Disebutkan dalam Fiqh Sholahiyah Lil Imamah ungkapan :
و هكذا يشتد الخلاف في ولاية أهل الذمة لمنصب وزارة التنفيذ، وأضرابها من الوظائف القيادية في الدولة الإسلامية، أما الولايات العلا و ذات الصفة الدينية فلا خلاف بينهم في عدم جواز ولايتها لغير المسلمين
"Terjadi perbedaan yang tajam dalam kepemimpinan ahlu dzimmah untuk posisi wizarotu tanfidz (kementrian pelaksana), dan juga jabatan kepemimpinan yang setara lainnya ( wadzhoif wiyadiyah) dalam sebuah daulah islamiyah. Sementara untuk kepemimpinan yang tertinggi (imamatul udzma) dan kepemimpinan yang mempunyai nilai strategis keagamaan, maka tidak ada khilaf di antara mereka tentang ketidakbolehannya di jabat oleh non muslim"
Diantara ulama yang membolehkan pengangkatan non muslim dalam tingkatan ini adalah Imam Al-Mawardi, sementara yang mengharamkan diantaranya adalah Imam Haromain Al-Juwaeni.
Pendapat yang Mengharamkan
Mereka yang mengharamkan melandaskan dengan keumuman ayat di atas dan beberapa ayat lainnya yang senada, juga dengan kisah Umar bin Khottob yang memerintahkan dua gubernurnya (Abu Musa al-Asy'ari dan Kholid bin Walid) untuk memecat asistennya di bidang administrasi dan keuangan yang berasal dari non muslim. Riwayat lengkap tentang kisah tersebut dinukil oleh Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad. Teksnya lengkapnya sebagai berikut:
عن أبي موسى رضي الله عنه قال: (قلت لعمر رضي الله عنه: إن لي كاتبا نصرانيا، قال: ما لك قاتلك الله، أما سمعت الله يقول: (يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا اليهود و النصارى أولياء بعضهم أولياء بعض)- ألا اتخذت حنيفا؟ قال: قلت يا أمير المؤمنين: لي كتابته و له دينه. قال: لا أكرمهم إذ أهانهم الله، ولا أعزهم إذ أذلهم الله، و لا أدنيهم إذ أقصاهم الله.
Dari Abu Musa ra, ia berkata : Saya katakan pada Umar bahwa saya mempunyai seorang sekretaris nashrani, maka Umar mengatakan : Ada apa denganmu, semoga Allah SWT membunuhmu, apakah engkau tidak dengar Allah SWT berfirman : "wahai orang-orang yang beriman janganlah menjadikan orang yahudi dan nashroni sebagai pemimpin/kesayangan "?. Saya katakan pada Umar: bagiku adalah tulisannya, dan bagi dia adalah agamanya ". Umar mengatakan : " Tidak akan aku muliakan mereka ketika Allah telah menghinakan mereka " ... dst
فقد كتب خالد بن الوليد رضي الله عنه إلى عمر بن الخطاب رضي الله عنه يقول: "إن بالشام كاتبا نصرانيا لا يقوم خراج الشام إلا به" فكتب إليه: "لا تستعمله." فكتب: "إنه لا غنى بنا" عنه، فكتب إليه عمر: "لا تيتعمله." فكتب إليه: "إذا لم نوله ضاع المال." فكتب إليه عمر رضي الله عنه: "مات النصراني و السلام"
Artinya : Kholid bin walid menulis kepada Umar bin Khottob : di Syam (kami punya) juru tulis, yang penghitungan keuangan (khoroj) tidak akan lancar tanpanya. Maka Umar menjawab : " jangan gunakan dia ". Kholid menjawab kembali : " Kami sangat membutuhkannya". Umar menulis kembali : "Jangan gunakan dia !". Kholid menulis kembali:" Kalau kami tidak menggunakannya, akan hilang uang kami". Umar mengakhiri dengan mengatakan :" Semoga Nashrani itu mati. wassalam"
Munaqosyah Adillah:
Pendapat dengan sandaran dalil di atas bisa dibaca dan dua sisi:
1. Pertama : Umar bin Khotob melihat posisi juru tulis dan keuangan sebuah pemerintahan gubernur adalah jabatan strategis dan prestise, apalagi disebutkan pula oleh Kholid bin Walid tentang wewenang dan tugasnya yang begitu penting. Karenanya Umar tidak ragu lagi untuk memerintahkan pemecatannya, karena melihat itu sesuatu yang strategis dan membahayakan jika dijabat kaum non muslim. Ini sangat bisa dipahami mengingat keterbatasan pada saat itu, posisi juru tulis sangat menentukan.
2. Kedua : Secara fiqh perdebatan di atas menunjukkan ada perbedaan pendapat di kalangan sahabat. Hanya saja karena posisi Umar sebagai khalifah, maka ia berhak memutuskan sikap akhirnya. Secara ushul Fiqh, ini tidak termasuk dalam bagian ijmak sahabat, tetapi qaul atau pendapat dan ijtihad sahabat, yang ternyata berbeda antara Umar dan kedua gubernurnya.
Pendapat dan Dalil yang Membolehkan
Diantara dalil dan ungkapan yang mengisyaratkan kebolehan hal di atas antara lain :
Pertama : Sayyid Tantowi dalam Tafsir Al-Wasith, ketika menafsirkan ayat Muwalah di atas, beliau menyebutkan: Al-Muwalah yang dilarang adalah yang mengakibatkan kerugian kaum muslimin dan agama, bukan muwalah atau kerja sama secara umum. Teks arabnya sebagai berikut:
و الموالاوة الممنوعة هي التي يكون فيها خذلان للدين أو إيذاء لأهله أو إضاعة لمصالحهم
Artinya :" Muwalaah (dukungan dan pengangkatan atas non muslim) yang dilarang adalah : yang di dalamnya ada unsur tipuan dan penistaan agama, atau mengganggu dan merugikan kaum muslimin, dan mengapus kemaslahatan mereka " (Tafsir Al-Wasith)
Sehingga, muwalah atau dukungan dengan syarat bermanfaat bagi umat dan agama, tidak termasuk muwalah yang disebutkan dalam ayat di atas.
Kedua : Imam Fakhruddin - Arrozi dalam Tafsir Mafatihul Ghoib, ketika menafsirkan ayat di atas mengungkapkan bahwa : Yang dilarang adalah menjadikan Non Muslim pemimpin mutlak (sendiri) tanpa ada orang beriman di sana. Beliau menyatakan :
لم لا يجوز أن يكون المراد من الآية النهي عن اتخاذ الكافرين أولياء بمعنى أن يتولوهم دون المؤمنين، فأما إذا تولوهم و تولوا المؤمنين معهم فذلك ليس بمنهي عنه
Mengapa tidak boleh jika yang dimaksudkan (pelarangan) dalam ayat adalah menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, artinya : mengangkat mereka tanpa mengangkat orang mungkin. Jika mengangkat non muslim dan pada saat yang sama juga mengangkat orang mukmin bersamanta, maka hal tersebut tidaklah dilarang.
Ungkapan di atas menunjukkan, sekiranya seorang muslim mengangkat non muslim untuk jabatan tertentu tetapi mereka juga mengangkat orang muslim bersamanya, maka hal itu tidak termasuk yang dilarang dalam ayat.
Ketiga, Imam Al-Mawardy dalam Ahkam Sultoniyah[ii] menyebutkan :
و يجوز أن يكون هذا الوزير من أهل الذمة و إن لم يجز أن يكون وزير التفويض منهم
" dan boleh jika kementrian ini (tanfidz) dipegang oleh ahlu dzimmah (non muslim), meskipun tidak boleh bagi mereka menduduki kementrian tafwiidh."
Di dalam ahkam sulthoniyah bab wizaroh (kementrian), Imam Mawardi membagi pos kementrian menjadi dua bagian utama, yaitu wizarotu tanfidz (kementrian pelaksana) dan wizarotu tafwidh (kementrian pendelegasi). Dimana diantara keduanya terdapat sejumlah persamaan dan perbedaan. Secara ringkas, kementrian tafwidh mempunyai wewenang lebih besar khususnya dalam hal-hal yang sangat strategis seperti pengadilan, peperangan dan baitul mal.
Keempat: Dr. Yusuf Qardhawi dalam dua bukunya[iii] menyebutkan secara spesifik persoalan ini. Dalam kitab Ghoiril muslimin fi mujtamak muslim, beliau mengatakan :
"و لأهل الذمة الحق في تولى وظائف الدولة كالمسلمين، إلا ما غلب عليه الصبغة الدينية كالإمامة و رئاسة الدولة و القيادة في الجيش، و القضاء بين المسلمين، و الولاية على الصدقات، و نحو ذلك.
"dan bagi ahli dzimmah (ada) hak dalam menjabat posisi-posisi dalam negara sebagaimana halnya kaum muslimin, kecuali pada jabatan-jabatan yang lebih dominan unsur keagamannya, seperti: imamah (khilafah), kepala negara, panglima militer, hakim, dan yang mengurusi sedekah, dan yang semacamnya"
Beliau melanjutkan :
و ما عدا ذلك من وظائف الدولة فيجوز إسناده إلى أهل الذمة، إذا تحققت فيهم الشروط التي لا بد منها، من الكفاية و الأمانة و الإخلاص للدولة.
"dan jabatan selain itu (yang disebutkan tadi) yang termasuk jabatan-jabatan dalam sebuah negara, maka boleh disandarkan pada ahlu dzimmah, jika terpenuhi syarat-syaratnya pada diri mereka, seperti: kemampuan, amanah, dan loyal pada negara"
Dalam tulisan yang lain, [iv] Dr. Qaradhawi menyebutkan :
و لا مانع من أن يكون أحد نائبي الرئيس، أو نوابه من غير المسلمين، و خصوصا إذا كانت الأقلية غير المسلمة كبيرة، كما هو حاصل في السودان اليوم/
"Tidak ada larangan jika salah satu dari dua wakil presiden atau dari beberapa wakilnya adalah berasal dari non muslim, khususnya jika jumlah minoritas non muslimnya cukup besar. Sebagaimana pula terjadi di Sudan.”
Kelima, Imam Syahid Hasan Al-Banna juga telah memprediksikan kemungkinan pengangkatan non muslim dengan syarat-syarat tertentu. Dalam Majmuatur Rosail, bab Risalatu Ta'alim[v], setelah berbicara tentang syarat-syarat pemerintahan islam (hukumah islamiyah) yang terdiri dari kaum muslimin yang komitmen dengan kewajiban agama, beliau menyatakan :
و لا بأس أن نستعين بغير المسلمين عند الضرورة، في غير مناصب الولاية العامة،
“Dan tidak mengapa meminta bantuan kepada non muslim dalam kondisi darurat, dalam jabatan-jabatan yang bukan kepemimpinan umum.”
Munaqosyah Adillah:
1- Para Ulama yang membolehkan pengangkatan non muslim pada posisi tertentu senantiasa memberikan batasan dan syarat tertentu, sebagaimana Imam Mawardi mengistilahkan ada wizarotu tanfidz yang berbeda kewenangan dengan wizarotu tafwidh. Begitula pula Qardhawi yang mensyaratkan tidak pada posisi-posisi strategis yang berhubungan dengan keagaaman secara dekat, seperti: imamah sholat, hakim, militer dan baitul maal. Maka jika kita lihat dengan lebih objektif, sesungguhnya posisi kepala daerah, dengan sendirinya mempunyai keterbatasan dan keterikatan tertentu.
2- Dengan logika yang sederhana, sesungguhnya para ulama yang membolehkan pengangkatan non muslim menduduki jabatan tertentu yang cukup strategis, mereka berbicara dalam konteks menjalankan negara islam, pemerintahan islam, bahkan khilafah islamiyah. Ini artinya, dalam kondisi 'berkuasa penuh' pun, masih begitu fleksibel dengan membuka kesempatan dalam keterlibatan non muslim. Jika dilihat dalam konteks kekinian, dimana pemerintahan islam belumlah terbentuk, dimana bargaining kekuatan politik islam masih sangat rendah, maka tentu opsi bekerja sama dan pengangkatan non muslim dalam jabatan tertentu seharusnya lebih terbuka dan fleksibel.
Kesimpulan : Pengangkatan non muslim dalam kepemimpinan strategis sebagaimana disebutkan dalam tingkatan kedua adalah boleh, dengan melihat secara jelas maslahat yang akan di dapat oleh kaum muslimin, serta terpenuhi syarat -syarat secara khusus. Begitu pula, kebolehan tersebut semakin terbuka jika yang diangkat bukan non muslim seorang, tetapi bersamanya atau didampingin dengan seorang muslim, sebagaimana disebutkan oleh imam Fahrudin Ar-Rozi dalam tafsirnya.
KEDUA : TENTANG KERJA SAMA dan MEMINTA BANTUAN dengan NON MUSLIM
Lebih mengerucut dalam konteks Pilkada Solo, untuk memahami hakekat posisi kepala daerah dan wakilnya, bisa kita lihat dalam cuplikan berita sebagai berikut:
Sambas - Para Wakil Kepala Daerah (Wakada) menggugat mereka tidak mau lagi hanya menjadi ban serep ketika kepala daerah berhalangan. Gugatan itu mengemuka pada acara Lokakarya dan Pertemuan Nasional (LPN) pra wakil kepala daerah se-Indonesia di Bengkulu yang digelar selama tiga hari, 15-17 Juni 2007, yang menghasilkan rekomendasi agar pemerintah segera melakukan amandemen terhadap UU 32/2003 tentang Pemerintahan Daerah. (HARIAN PELITA)
Begitu pula, jika dicermati lebih jauh sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku, maka akan kita dapati bahwa TUGAS dan WEWENANG WAKIL WALIKOTA itu diatur dalam sebuah PERATURAN WALIKOTA yang ditandatangani oleh walikota. Ini artinya, dalam bahasa sederhana sesungguhnya yang terjadi adalah Walikota sedang bekerja sama dengan WAKIL WALIKOTA atau meminta bantuan kepada WAKIL WALIKOTA dalam menjalankan tugasnya.
Sehingga akan sangat berbeda secara efek ideologis dan syar'i, mendukung non muslim menjadi pemimpin (walikota), dengan mendukung WALIKOTA MUSLIM yang bekerja sama atau meminta bantuan kepada non muslim.
Dalam bahasan fiqh seputar istianah bil kufar (meminta bantuan pada orang kafir) jumhur ulama selain Malikiyah mengatakan KEBOLEHANNYA, sekalipun dalam kondisi berperang dengan dua syarat: kondisi yang membutuhkan dan bisa dipercaya.
مذهب الجمهور (الشافعية و الحنابلة و الأحناف) : قالوا يجوز الاستعانة بالكفر في الحرب بشرطين: أولا: الحاجة إليهم، و ثانيا: الوثوق من جهتهم.
Dalam bahasan siroh, akan kita temukan banyak lagi bentuk fiil Rasulullah SAW dalam beristi'anah dengan non muslim, misalnya :
• Peristiwa Hijrah, dengan Abdullah bin Uraiqith dan Suroqoh
• Bekerja sama dengan Yahudi bani Qainuqo di awal pemerintahan Madinah
• Bekerja sama dengan Sofwan dalam sebuah peperangan besar
KETIGA : REALITAS KEKINIAN DUNIA ISLAM. PENGANGKATAN NON MUSLIM ADALAH SEBUAH HAL YANG SUDAH TERJADI DENGAN IJTIHAD-IJTIHAD KONTEMPORER
Ketika kita masih berbicara pengangkatan non muslim untuk jabatan Walikota dan wakil walikota, sesungguhnya di luar sana hal ini sudah merupakan realitas kekinian yang dihadapi dunia Islam bahkan juga harakah Islam. Bukan hanya dalam konteks pemimpin lokal tetapi dalam konteks negara Islam dan mayoritas muslim. Dua diantaranya layak mendapatkan perhatian :
1. Negara Sudan, yang sejak dua dasawarsa memberlakukan syariat Islam dalam seluruh perundang-undangannya. Jelas-jelas memiliki wakil presiden non Muslim berasal dari minoritas kristen di daerah Selatan.
2. Negara Suriah, pernah mempunyai seorang PM yang berasal dari minoritas Kristen, bernama Faris Al-Khuury. Uniknya -sebagaimana dikatakan Qardhawi- termasuk PM yang paling sukses, berhasil bekerja saja dengan mentri-mentri dari kaum muslimin, bahkan sebagian besar kaum muslimin Suriah puas dengannya. Dan ia dikenal sebagai PM kristen yang paling yakin dengan syariat Islam sebagai solusi.
Jika kita pandang dari sudut syariah, ini membuktikan adanya ijtihad-ijtihad kontemporer dalam masalah ini, dimana tidak setiap dukungan dan pengangkatan non muslim selalu dihubungkan dengan pelanggaran syar'i dan doktrin ideologi.
KEEMPAT : MENDUKUNG YANG BERPOTENSI UNGGUL ADALAH BENTUK IHSAN DALAM MEMENANGKAN AGENDA UMAT
Salah satu ajaran utama Islam adalah berlaku ihsan / optimal dalam segala sesuatunya.
Allah berfirman dalam surat Al-Mulk:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
"Yang menciptakan hidup dan mati untuk mengujimu yang mana diantara kalian yang paling ihsan amalnya"(QS Al-Mulk 2)
Begitupula Hadits Rasulullah SAW, beliau bersabda :
إن الله كتب الإحسان على كل شيئ
"Sesungguhnya Allah SWT mewajibkan berlaku ihsan dalam segala sesuatunya” (HR Muslim, Tirmidzi)
Dalam perspektif syar'i, salah satu tujuan musyarokah (partisipasi politik) adalah amar makruf nahi munkar, atau sebagaimana disebutkan oleh Imam Hasan Al-Banna , yaitu sebagai upaya sebagai islahul hukumah. Tentu saja ini sejalan dengan hadits Rasul SAW yang menyatakan agama adalah nasihat, dimana disebutkan salah satunya adalah nasihat bagi pemimpin kaum muslimin.
Untuk membuka peluang yang efektif dalam amar makruf nahi munkar dan menasehati pemimpin, atau mencegah kezaliman yang telah dan akan dilakukan (unsur akhoka dzholiman au madzluman) maka secara realitas politik itu dapat dipenuhi jika sejak awal kita mendukung pasangan yang berpotensi menang. Tanpa adanya dukungan sejak awal, maka kemungkinan nasehat dan amar makruf tetap ada, tetapi sangat kecil atau bahkan tertutup. Sehingga pada titik ini, sesungguhnya melakukan kalkulasi kekuatan, survei lapangan, dan pada akhirnya mendukung yang paling berpotensi unggul, adalah bagian dari berbuat ihsan dalam memenangkan agenda islahul hukumah. Wallahu a'lam
KELIMA : TENTANG KAIDAH MASLAHAT DAN MADHOROT
Dalam menentukan pilihan politik, senantiasa harus berlandaskan pertimbangan yang jelas tentang kemanfaatan untuk umat yang bisa diperoleh karenanya. Imam Qurthubi dalam penafsiran ayat 'muwalah', beliau menyebutkan larangan memilih non muslim bersifat umum, lalu beliau melanjurkan :
و أقول: إن كانت في ذلك فائدة محققة فلا بأس به.
"Seandainya di dalamnya ada manfaat yang jelas terealisasi, maka tidak mengapa dengan itu (mengangkat non muslim) " (Al-jami li ahkamil quran)
Karenanya, sebagai implementasi dari maqoshid syariah, dalam menimbang segala sesuatunya tentu harus mempertimbangkan aspek maslahat dan madhorot. Dalam syarat menentukan maslahat disebutkan oleh ulama Ushul fiqh salah satunya adalah :
أن تكون مصلحة حقيقة و ليست مصلحة وهمية
"Hendaknya maslahat benar-benar bisa diperhitungkan terjadi bukan hanya menduga-duga "
Begitu pula dalam madhorot, tidak bisa hanya diperkirakan dengan asumsi-asumsi tanpa perhitungan yang jelas. Maka mungkin saja dalam konteks PILKADA banyak asumsi dan perkiraan dimunculkan seputar maslahat dan madhorot ketika mendukung salah seorang pasangan. Dalam hal ini semua pihak bisa memakai kaidah yang sama seputar maslahat dan madhorot, semua bisa mengasumsikan dan mengklaim ini adalah madhorot dan ini adalah maslahat.
Karenanya, kembali pada syarat di atas MASLAHAT haruslah jelas dan diperhitungkan terjadi. Untuk itulah dalam proses musyarokah dan dukungan PILKADA, haruslah diupayakan adanya KONTRAK POLITIK yang bisa menjadi sarana untuk mendekatkan pada MASLAHAT yang diperhitungkan, serta pada saat yang sama menjauhkan dan mencegah dari MADHOROT. Tanpa adanya kontrak politik yang jelas, pertimbangan maslahat dan madhorot menjadi sangat debatable, atau dalam bahasa ushul fiqh :" wahmiyath" . Wallahu Alam
PENUTUP:
Akhirnya, semua yang kami bahas di sini adalah tidak lebih dari analisa syar'i sederhana yang -sesuai kemampuan kami- saat ini cukup kami yakini kebenarannya. Tetapi, tentu saja tidak menutup kemungkinan adanya pandangan lain, analisa lain yang lebih benar dan meluruskan apa yang kami tulis ini. Hanya kepada Allah lah kami meminta ampunan atas kesalahan dan kekeliruan kami dalam tulisan ini.
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ ۚ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ ۚ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama Aku masih berkesanggupan. dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah Aku bertawakkal dan Hanya kepada-Nya-lah Aku kembali” (Hud 88).
Solo, 11 Shofar 1431 H
Dewan Syariah Daerah (DSD)
Partai Keadilan Sejahtera Kota Surakarta
[i] Ahkam Ahlu Dzimmah, Ibnul Qoyyim al-Jauzi (2/414)
[ii] Ahkam Sultoniyah, Imam Mawardi (1/45)
[iii] Ghoirul Muslimin fi Mujtama' Muslim, dan Ahkam Aqolliyat
[iv] Makalah " Ad-Din wa Siyasah" yang dipresentesaikan dalam Pertemuan ke 15 Majlis Fatwa Eropa tahun 2005
[v] Majmuatur Rosail, Imam Syahid Hasan Al-Banna, Risalu Ta’alim
0 komentar:
Posting Komentar