BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Enzim merupakan polimer biologik yang mengatalisis lebih dari satu proses dinamik yang memungkinkan kehidupan seperti yang kita kenal sekarang. Sebagai determinan yang menentukan kecepatan berlangsungnya berbagai peristiwa fisiologik, enzim memainkan peranan sentral dalam masalah kesehatan dan penyakit. Pemecahan makanan untuk memasok energi serta unsur-unsur kimia pembangunan tubuh (building blocks); perakitan building blocks tersebut menjadi protein, membran sel, serta DNA yang mengkodekan informasi genetik; dan akhirnya penggunaan energi untuk menghasilkan gerakan sel, semua ini dimungkinkan dengan adanya kerja enzim-enzim yang terkoordinasi secara cermat. Sementara dalam keadaan sehat semua proses fisiologis akan berlangsung dalam cara yang tersusun rapi serta teratur dan homeostatis tetap dipertahankan, homeostatis dapat mengalami gangguan berat pada keadaan patologis. Sebagai contoh, cedera jaringan hebat yang mencirikan penyakit sirosis hepatis dapat menimbulkan gangguan berat pada kemampuan sel membentuk enzim-enzim yang mengatalisis berbagai proses metabolisme penting seperti sintesis ureum. Ketidakmampuan mengubah ammonia yang toksik menjadi ureum yang nontoksik sebagai akibat dari penyakit tersebut akan diikuti dengan intoksikasi ammonia, dan akhirnya koma hepatikum. Suatu spektrum penyakit genetik langka tetapi yang sering sangat menurunkan keadaan umum penderitanya dan kerap fatal, memberi contoh-contoh tambahan dramatis tentang konsekuensi fisiologis drastis yang dapat menyertai gangguan terhadap aktivitas bahkan hanya satu enzim.
Menyusul suatu cedera jaringan berat (misal, infark jantung atau paru, cedera remuk pada anggota gerak) atau pertumbuhan sel yang tidak terkendali (misal, karsinoma prostat), enzim yang mungkin khas bagi jaringan tertentu akan dilepas ke dalam darah. Dengan demikian, pengukuran terhadap enzim intrasel ini didalam serum dapat memberikan informasi diagnostik dan prognostic yang tidak ternilai bagi dokter.
Bab II
Tinjauan Pustaka
2.1 pengertian Enzim
Enzim adalah suatu katalis biologis yang dapat mempercepat terjadinya keseimbangan suatu reaksi kimia. Bisa pula dikatakan enzim sebagai protein dengan sifat katalitik, dimana sifat katalitiknya jauh lebih besar daripada katalis sintetis yang dibuat secara kimia oleh manusia. Enzim juga memiliki spesifitas tinggi terhadap substrat, atau dengan kata lain hanya mau mengkatalis reaksi tertentu dengan substrat tertentu saja. Kelebihan enzim sebagai pengkatalis adalah dapat mempercepat reaksi kimia spesifik tanpa pembentukan produk samping. Umumnya enzim punya berat molekul jauh lebih besar daripada substrat yang dikatalisnya ( Winarno, 1995 ).
Enzim adalah substansi yang dihasilkan oleh sel-sel hidup dan beperan sebagai katalisator pada reaksi kimia yang berlangsung dalam organisme. Katalisator adalah substansi yang mempercepat reaksi tetapi pada hasil reaksi, substansi tersebut tidak berubah. Kebanyakan enzim diberi nama dengan menambahkan akhiran –ase pada kata yang menunjukkan senyawa asal yang diubah oleh enzim atau pada nama jenis reaksi kimia yang dikatalisis oleh enzim. Sebagai contoh enzim protease memecah protein, enzim lipase memecah lipida (Gaman & Sherrington, 1994).
Enzim adalah sebuah katalisator yang dihasilkan oleh organisme hidup yang digunakan untuk mendukung/mempercepat reaksi kimia. Kebanyakan dari semua enzim disusun oleh protein, kecualir iboz ym es.Riboz ym es adalah molekul dari asam nukleat yang mengkatalisa reaksi yang terjadi pada ikatanfos fodies ter dari RNA lain. Enzim dapat ditemukan pada setiap jaringan dan cairan tubuh (Birch, 2002). Enzim merupakan protein yang khusus disintesis oleh sel hidup untuk mengkatalisis reaksi yang berlangsung didalamnya. Fungsi khusus dari enzim adalah untuk menurunkan energi aktivasi, mempercepat reaksi pada suhu dan tekanan yang tetap tanpa mengubah besarnya tetapan keseimbangan sebagai pengendali reaksinya (Martoharsono, 1994).
Enzim adalah protein yang mempunyai sifat katalitik, yang menyebabkan enzim
berguna dalam telaah analitik. Beberapa enzim hanya terdiri atas protein, tetapi kebanyakan enzim mengandung non-protein tambahan seperti karbohidrat, lipid, logam, fosfat, atau beberapa bagian organik yang lain. Beberapa enzim dipakai sebagai indikator dalam metode analitik, fosfatase misalnya, dipakai dalam uji fosfatase susu yang dipasteurisasi, selain itu sebagai alat bantu pemrosesan pada pemanufakturan makanan (de Man, 1997).
2.2 Pengelompokan Enzim
Disamping pengelompokan secara resmi ada pula pengelompokan yang berdasarkan
akhiran pada nama enzim tersebut, yaitu :
• Akhiran ase, semua enzim yang memakai akhiran ini memiliki fungsi mengkatalisis
hidrolisis substrat tertentu.
• Akhiran in, semua enzim yang memakai akhiran ini berarti menerangkan substrat apa
yang diuraikan oleh enzim tersebut (Martoharsono,1994).
Ada beberapa keuntungan dalam memanfaatkan enzim sebagai katalisator biologis. Pertama beberapa enzim relatif mudah diekstraksi dan dimurnikan secara parsial dalam bentuk konsentrat dari bahan biologis. Kedua, enzim memperlihatkan aktivitas optimum panda kondisi yang berbeda dengan lingkungan asalnya. Ketiga, enzim memiliki derajat spesifitas tinggi dalam reaksi yang dikatalisa, dan kebanyakan kasus hanya satu jenis reaksi saja enzim dapat bekerja khususnya di bidang teknologi pangan. Akhirnya enzim lebih efisien daripada katalisator kimia yaitu sebesar 105-108 kalinya (Tranggono & Sutardi , 1989).
2.3 bagian – bagian dari enzim
Beberapa bagian pada enzim yaitu :
☺Kofaktor
Bila enzim dalam melakukan aktivitasnya membutuhkan zat kimia tertentu, dan zat kimia tertentu itu disebut kofaktor. Dimana kofaktor itu terikat kuat pada enzim. Disamping itu kofaktor stabil selama pemanasan.
☺Koenzim
Bagian kofaktor yang berupa molekul organik seperti tiamin pirofosfat, flavin, adenin dinukleotida, NAD, koenzim A, piridoksal fosfat, biositin, tetrahidrofolat, dan sebagainya.
☺Apoenzim
Bagian enzim yang merupakan protein yang menempati porsi terbesar dalam enzim. Apoenzim memiliki sifat seperti protein, salah satu sifat yang utama yaitu apoenzim akan terdenaturasi selama pemanasan (Martoharsono,1994).
2.4 kelas enzim
Enzim dapat digolongkan menjadi enam kelas berdasarkan jenis reaksi yang dikatalisa yaitu:
1. Kelas oksidoreduktase, reaksi yang dikatalisis adalah reaksi pemindahan elektron.
2. Kelas transferase, reaksi yang dikatalisis adalah reaksi pemindahan gugus fungsional.
3. Kelas hidrolase, reaksi yang dikatalisis yaitu reaksi hidrolisis atau reaksi pemindahan
1. Kelas oksidoreduktase, reaksi yang dikatalisis adalah reaksi pemindahan elektron.
2. Kelas transferase, reaksi yang dikatalisis adalah reaksi pemindahan gugus fungsional.
3. Kelas hidrolase, reaksi yang dikatalisis yaitu reaksi hidrolisis atau reaksi pemindahan
gugus fungsional ke dalam air.
4. Kelas liase, reaksi yang dikatalisis adalah reaksi penambahan gugus ke dalam ikatan
rangkap atau sebaliknya.
5. Kelas isomerase, reaksi yang dikatalisis adalah reaksi pemindahan gugus di dalam
molekul menghasilkan bentuk isomer.
6. Kelas ligase, reaksi yang dikatalisis yaitu reaksi pembentukan ikatan C-C, C-S, C-O, dan C-N oleh reaksi kondensasi yang berkaitan dengan penguraian ATP (Martoharsono,1994).
Potensi penggunaan enzim amylase sangat besar, namun masih terdapat kendala, yaitu enzim tersebut masih harus diimpor dengan harga relatif mahal. Untuk memproduksi sendiri juga masih menghadapi beberapa kendala antara lain tidak tersedianya strain mikrobaunggul penghasil enzim amylase dan kurangnya pengetahuan tentang teknologi produksi enzim. Usaha meningkatkan produksi enzim dari mikroorganisme telah dilakukan, baik dengan manipulasi lingkungan maupun sifat mikroba tersebut (Richana,et al., 2002).
2.5 ekstraksi enzim
Ekstraksi enzim dapat dilakukan dengan prinsip bahwa protein enzim dapat diendapkan dengan penambahan aseton, etanol, sodium sulfat atau ammonium sulfat. Sifat ini digunakan sebagai prinsip dari isolasi enzim. Enzim ini dapat diekstrak dan kemudian proses pengendapannya dapat dilakukan dengan penambahan garam (NH4)2 SO4 (ammonium sulfat) (Rahman, 1992).
Ekstrak kasar enzim desaturase diisolasi dengan pemacahan sel fungi menggunakan blender dan penambahan salin buffer fofat (PBS) ph 7,2 dengan nisbah biomassa : PBS -1 ;2 (b/v). homogenate disentrifuse pada kecapatan 5000 rpm selam 15 menit. Ekstrak enzim kasar dipisahkan dari pecahan sel dengan penyaringan menggunkan kertas saring pada corong buchner dan dibantu dengan pompa vakum. Supernatant yang berisi ekstrak kasar desaturese diamobilisasi untuk pengujian lebih lanjut (Panji et al., 2005).
Ekstraksi yang dilakukan biasanya dengan menggunakan pelarut organik, namun terkadang juga bisa menggunakan pelarut organik sebagai pemurni dengan prinsip sama dengan ekstraksi. Pada dasarnya pelarut sifatnya lebih fleksibel. Pelarut yang digunakan harus memenuhi berbagai ketentuan yaitu :
• Kelarutan
Pelarut haruslah memiliki kemampuan melarutkan yang tinggi
• Kerapatan
Konsentrasi pelarut haruslah berbeda jauh dengan konsentrasi ekstrak enzim yang
akan dipisahkan dari larutannya.
• Spesifitas
Pelarut haruslah hanya dapat melarutkan zat yang dituju.
• Reaktifitas
Pelarut haruslah tidak menyebabkan reaksi pada bahan yang akan diekstrak.
( Gaman & Sherrington, 1994 ).
Cara untuk mendapatkan ekstrak enzim kasar dari masing - masing makhluk hidup pun berbeda - beda. Bila sumber enzim berasal dari tanaman atau hewan maka jaringan tanaman dan hewan tersebut dihancurkan sampai rata dalam air / buffer. Bagian yang tidak larut dipisahkan dengan sentrifugasi / penyaringan sehingga diperoleh ekstrak berupa cairan. Sedangkan untuk sumber enzim berasal dari mikrobia, maka sel mikrobia dipanen dari kulltur medianya kemudian sel dipecah dengan cara menggiling / lisis kemudian dilakukan ekstraksi dengan air / buffer. Enzim ekstraselular mikrobia diperoleh dengan cara menyaring / sentrifugasi untuk memisahkan sel / miselia dan bahan padat lainnya dari kultur medianya (Tranggono & Sutardi, 1990). Ekstraksi dengan cara penggojogan atau sentrifugasi. Akan didapatkan dua bagian, yaitu supernatan dan residu ( Winarno, 1995 ). Enzim yang terlarut dalam air dan bersifat polar mengakibatkan sebagian sisi aktif enzim terhalang untuk melakukan kontak dengan substrat (Panji et al., 2005).
Filtrasi atau penyaringan adalah salah satu cara untuk memisahkan antar partikel padat dengan partikel cair termasuk gas. Pada penyaringan campuran yang terdiri atas partikel padat yang terdispersi dalam fase cair atau gas, dilewatkan dengan melalui medium berpori. Partikel padat yang tidak lolos pada pori - pori medium akan tertahan sedangkan cairan akan lolos melalui pori - pori medium tersebut. Cairan yang lolos dari medium tersebut disebut dengan filtrat dan partikel padatan yang tertahan dikenal dengan 'cake '. Sebagai medium penyaring, dapat digunakan kain saring, anyaman kawat, dan anyaman plastik (Tranggono & Sutardi, 1989 ).
2.6 larutan buffer
Larutan buffer adalah larutan yang tahan panas terhadap perubahan pH dengan penambahan asam atau basa. Larutan seperti itu digunakan dalam berbagai percobaan biokimia dimana dibutuhkan pH yang terkontrol dan tepat (Fardiaz, 1992). Buffer dapat mempertahankan kondisi enzim presipitat agar tidak terjadi perubahan pH dan mencegah agar enzim tidak mengalami inaktivasi. Penambahan ammonium sulfat kering pada enzim cair untuk mengurangi ketersediaan air sehingga mengendapkan protein. Dengan adanya pengadukan, ketersediaan air yang berinteraksi dengan protein berkurang sehingga protein terpresipitasi ( salting out ). Pada saat terjadi salting out, protein atau enzim mudah dipisahkan. Tujuan pemblenderan adalah memudahkan dalam pengekstraksian, karena dengan adanya proses penghalusan bahan, maka luas permukaan bahan tersebut akan menjadi semakin luas, sehingga enzim yang terdapat dalam bahan tersebut akan mudah bereaksi dengan buffer, sehingga enzim tidak akan mengalami inaktivasi ( Winarno, 1995 ).
Buffer dibutuhkan untuk melindungi enzim dari sejumlah besar asam yang dilepaskan dari vakuola pada sel yang terputus dan untuk menyesuaikan serta memantapkan pH makanan dengan pH yang diinginkan. Daya ionisasi yang tinggi dibutuhkan untuk menyerap enzim dari dinding sel. Pada tanaman yang mengandung sejumlah besar komponen phenol, poliethylene glycol atau polivinilpyrolidone mungkin bergabung menjadi ekstrak cairan untuk perlindungan melawan enzim inaktif melalui reaksi dengan komponen phenol yang dilepaskan (Whitaker, 1994).
Larutan buffer pH 6,0 dan amonium sulfat kering sering ditambahkan untuk mempertahankan kondisi presipitat enzim pada pH tertentu agar selama penyimpanan tidak mudah terdenaturasi oleh karena perubahan pH, dimana selama proses penyimpanan, pH cenderung tidak stabil dan dapat terjadi perubahan suhu. Oleh karena itu penyimpanan dilakukan pada suhu rendah untuk mencegah proses inaktivasi enzim tersebut ( Winarno, 1995 ).
Salah satu cara untuk mengetahui adanya zat kimia pada suatu medium adalah dengan cara spektrofotometri. Cara ini dilakukan dengan melewatkan suatu cahaya atau sinar putih pada medium tertentu. Yang akan tampak adalah cahaya yang telah diabsorbsi dan diteruskan untuk setiap konsentrasi yang berbeda sehingga akan terjadi perbedaan warna. Analisa secara spektrofotometri merupakan pengukuran seberapa jauh emisi radiasi yang akan diserap/diabsorbsi oleh suatu sistem sebagai fungsi panjang gelombang dari radiasi maupun pengurangan absorbansi suatu panjang gelombang (Ewing, 1985). Debu dapat mengganggu bekerjanya sistem optik, hal ini dapat mengakibatkan kesalahan, kesalahan ini dapat dihindari dengan melindungi peralatan dari debu. Kesalahan dapat meliputi kesalahan penimbangan, pengendalian pH yang keliru, pengukuran volume serta ketidakstabilan warna pada reaksi (Khopkar, 2002).
2.7 Sifat-sifat enzim
Sifat-sifat enzim antara lain :
1. Spesifitas
Enzim hanya dapat bekerja pada substrat tertentu karena enzim mempunyai spesifitas substrat yang tinggi. Pada konsentrasi substrat yang rendah maka kecepatan reaksinya juga rendah dan kecepatan reaksi akan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi substrat. Namun pada suatu saat akan tercapai suatu titik batas sehingga jika melampaui titik itu maka akan menunjukkan peningkatan yang kecil dengan bertambahnya konsentrasi substrat dan titik batas tersebut disebut titik optimum. Kecepatan reaksi katalitik enzim dapat mencapai kecepatan maksimal jika semua enzim menjadi bentuk enzim substrat dan konsentrasi enzim berkurang (Tranggono & Sutarrdi, 1989).
2. Pengaruh suhu
Aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh suhu. Untuk enzim pada umumnya suhu optimal antara 35°C dan 40°C, yaitu suhu tubuh. Pada suhu di atas dan di bawah optimalnya, aktivitas enzim berkurang. Di atas suhu 50°C enzim secara bertahap menjadi inaktif karena protein terdenaturasi. Pada suhu 100°C semua enzim rusak. Pada suhu yang sangat rendah, enzim tidak benar-benar rusak tetapi aktivitasnya sangat banyak berkurang (Gaman & Sherrington, 1994).
Dengan bertambahnya suhu dapat mengakibatkan percepatan reaksi bertambah. Saat suhu meningkat, proses denaturasi semakin lama merusak reaksi aktif dari molekul enzim. Ini terjadi karena tidak melipatnya rantai protein setelah pemutusan dari rantai lemah jadi kecepatan reaksi jadi lambat. Untuk beberapa protein denaturasi mulai terjadi pada suhu 45-500C. Dalam kisaran suhu tersebut enzim mulai tidak aktif, karena denaturasi apoenzim. Ketidakaktifan enzim berlangsung secara cepat pada suhu diatas 500C. Pada suhu rendah aktivitas enzim berlangsung secara lambat. Kebanyakan enzim menunjukkan aktivitas optimal pada kisaran suhu 30-200C (Lee, 1992).
Suhu yang tinggi akan menaikkan aktivitas enzim namun sebaliknya juga akan mendenaturasi enzim (Martoharsono, 1994). Peningkatan temperatur dapat meningkatkan kecepatan reaksi karena molekul atom mempunyai energi yang lebih besar dan mempunyai kecenderungan untuk berpindah. Ketika temperatur meningkat, proses denaturasi juga mulai berlangsung dan menghancurkan aktivitas molekul enzim. Hal ini dikarenakan adanya rantai protein yang tidak terlipat setelah pemutusan ikatan yang lemah sehingga secara keseluruhan kecepatan reaksi akan menurun (Lee, 1992).
3. Pengaruh pH
Enzim merupakan protein yang tersusun atas asam amino, oleh karena itu pengaruh pH berhubungan erat dengan sifat asam basa yang dimiliki oleh protein. Pada umumnya, enzim menunjukkan titik optimum aktivitas pada pH tertentu (Martoharsono, 1994). Masing-masing reaksi yang dikatalisis oleh enzim paling cepat terjadi pada pH yang tertentu. Untuk kebanyakan enzim pH optimal adalah sekitar pH 7 (netral) dan jika medium menjadi sangat asam atau sangat alkalis enzim mengalami inaktivasi. Akan tetapi beberapa enzim hanya beroperasi dalam keadaan asam atau alkalis. Sebagai contoh, pepsin, enzim yang dikeluarkan ke lambung, hanya dapat berfungsi dalam kondisi asam, dengan pH optimal 2 (Gaman & Sherrington, 1994).
Pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim yaitu pada suhu rendah sekitar –10oC sampai – 20oC aktivitas enzim akan berlangsung secara lambat. Kebanyakan enzim menunjukkan aktivitas optimal pada kisaran suhu 30o – 40oC. Dalam kisaran suhu 45o – 50oC, enzim mulai mengalami denaturasi. Faktor lain seperti pH juga mempengaruhi aktibvitas enzim, dimana pH optimum enzim pada pH 4,5 – 8. Secara umum aktivitas enzim terjadi hanya pada kisaran pH yang sempit, oleh sebab itu media enzim harus benar- benar dipelihara dengan menggunakan buffer ( larutan penyangga ) ( Tranggono & Sutardi, 1990 ).
2.8 enzim berdasar komposisi
Enzim dibagi menjadi 2 macam berdasarkan komposisinya, yaitu enzim sederhana dan enzim kompleks. Enzim kompleks dikenal sebagai haloenzim yang terdiri dari komponen protein dan molekul organik kecil lainnya. Komponen protein disebut dengan apoenzim dan molekul organik kecil lainnya (non enzim) dikenal sebagai koenzim. Meskipun merupakan katalisator, enzim tidak selalu dapat mengkatalisa substrat. Misalnya ADH selalu mengkatalisa reaksi oksidasi-reduksi tetapi memecahkan nomor dari alkohol yang berbeda dari metanol menjadi butanol (Birch, 2002).
Enzim memiliki konstanta disosiasi pada gugus asam ataupun gugus basa terutama pada residu terminal karboksil dan asam aminonya. Namun dalam suatu reaksi kimia, pH untuk suatu enzim tidak boleh terlalu asam maupun terlalu basa karena akan menurunkan kecepatan reaksi dengan terjadinya denaturasi. Enzim memiliki pH optimum tertentu, misalnya enzim amylase mempunyai pH optimum sekitar 5–7, lalu pepsin pada pH 2 dan pada kisaran pH tersebut enzim tersebut mempunyai kestabilan yang tinggi (Williamson & Fieser, 1992).
Penyimpanan enzim yang dilakukan didalam pendingin sebelum digunakan dalam percobaan aktivitasi enzim adalah untuk mencegah terjadinya kehilangan aktivitas akibat denaturasi enzim atau hilangnya kofaktor yang penting. Dimana dengan perlakuan ini akan menjamin kehilangan aktivitas enzim lebih minimal. Sedangkan pembekuan danthawing sebaiknya dicegah karena dapat menginaktifkan enzim dengan cepat. Dan aktivitas dari enzim papain ini adalah sebagai pelunak daging dengan melakukan pemecahan protein ( Gaman & Sherrington, 1994 ).
2.9 Pengujian aktivitas enzim amilase
Pengujian aktivitas enzim amilase dapat dilakukan secara kuantitatif dan secara kualitatif. Dalam pengujian kualitatif dapat digunakan larutan pati/amilum sebagai substratnya. Pada nilai pH sekitar 6-7 dan dengan adanya kehadiran ion clorida, maka α amilase akan mengkatalisis hidrolisa pati dan menghasilkan dekstrin dan turunannya. Pati dan dekstrin yang mempunyai berat molekul (BM) yang tinggi akan memberikan warna biru ungu jika direaksikan dengan iodine. Sedangkan dekstrin dengan BM rendah tidak akan bereaksi dengan iodine. Dengan demikian, kerjaα amilase dapat diamati dengan perubahan yang terjadi. Achromic point adalah suatu keadaan dimana campuran reaktan tidak membentuk warna lagi dengan iodine. Selain itu, pengujian enzim secara kuantitatif adalah pengujian aktivitas enzim berdasarkan jumlah substrat yang berubah sesuai dengan perubahan waktu (Tranggono & Setiaji, 1989).
Enzim amilase dapat diperoleh dari berbagai sumber yaitu tanaman, hewan dan mikroorganisme. Enzim amilase banyak terdapat dalam biji-bijian atau serealia. Enzim pengurai pati ini terdiri dari 3 golongan, yaitu :
1. Alfa amilase (α-1.4 glukan glukanohidrolase)
Enzim ini menghidrolisa molekul pati dengan memecah ikatan α-1.4 glikosidik secara acak mulai dari tengah bagian dalam molekul (endoamilase). Enzim ini menghidrolisis amilopektin menjadi oligosakarida dan mengandung 2–6 satuan glukosa. Sedangkan beta amilase merupakan endoenzim dan memutuskan satuan maltosa yang berurutan dari ujung yang tidak mereduksi pada rantai glikosida. Kerjanya dihentikan pada titik cabang yang mempunyai ikatan α–1,6 glukosida dan tidak dapat diputuskan oleh α amilase. Senyawa yang dihasilkan dinamai dekstrin batas. Beta amilase hanya ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi.
2. Beta amilase (α-1.4 glukan maltohidrolase)
Enzim ini menghidrolisa molekul pati dengan memecah ikatan α-1.4 glikosidik mulai
dari ujung molekul non pereduksi dan menghasilkan unit-unit maltosa (eksoamilase).
3. Amiloglukosidase (α-1.4 glukan glukohidrolase)
Enzim ini memisahkan glukosa molekul pati dari ujung non pereduksi (eksoamilase). Produk yang terbentuk glukosa saja. Kerja gabungan α dan β-amilase dapat meningkatkan aktivitas amilase. Kerja dan tujuan enzim amilase pada bahan makanan khususnya bahan makanan yang mengandung karbohidrat adalah mengubah pati
menjadi dekstrin, gula dan meningkatkan penyerapan air (deMan, 1997).
2.10 reaksi enzim
Reaksi spesifik yang terjadi pada saat pati ditambah dengan iod akan memberi warna biru tua, lalu pati dihidrolisis menjadi dekstrin dan jika direaksikan dengan iod akan memberikan warna ungu untuk yang berat molekulnya besar dan warna merah coklat jika berat molekulnya kecil. Jika dekstrin dihidrolisa lebih lanjut maka akan menghasilkan maltosa dan glukosa yang jika direaksikan dengan dengan iod, tidak memberi warna. Sehingga dapat kita ketahui bahwa larutan iodium merupakan indikator warna (Noor, 1990).
Secara kuantitatif, terjadinya reaksi hidrolisis pati oleh enzim amilase dapat diketahui dengan uji iodin (Riawan, 1990). Pada uji iodin, karbohidrat golongan pati akan memberikan reaksi dengan larutan iodin dan memberi warna spesifik tergantung dari jenis karbohidratnya. Amilosa dengan iodin akan berwarna biru, amilopektin dengan iodin akan berwarna merah violet, glikogen maupun dekstrin dengan iodin akan berwarna merah coklat (Sudarmadji et al., 1989).
Bila zat pati ditetesi larutan iodium akan timbul warna biru. Terjadinya warna ini disebabkan olehamylase yang mengabsorbsi iodium tersebut. (Ismail, 1990). Pati berwarna putih dan berbentuk serbuk tidak larut dalam air karena lapisan luar granula- granula yang terkandung di dalamnya tersusun amat rapat sehingga tidak tertembus oleh air dingin. Pati tidak larut dalam air dingin karena ukurannya yang besar serta membentuk dispersi koloid dengan air panas. Pati dapat dideteksi dengan larutan iod dan dapat diubah menjadi glukosa dengan pemanasan air dan penambahan sedikit asam (HCl atau H2SO4). Penggunaan iodine untuk reaksi terhadap pati untuk mengetahui adanya amilum dalam suatu bahan pangan (Gaman & Sherington, 1994).
Enzim amilase ini juga banyak diproduksi oleh kapang. KapangAspergillus dan
Rhizopus merupakan jenis kapang yang banyak digunakan dalam produk fermentasi
seperti tempe, oncom, sake dan lain-lain (Andini, 1999). Kapang tersebut mempunyai kemampuan tinggi dalam memproduksi enzim amilase yang merupakan campuran dari
α-amilase dan glukoamilase (Andini,1999).
2.11 Enzim proteolitik
Enzim proteolitik sangat penting dalam banyak prosedur pemrosesan makanan industri. Reaksi yang dikatalisis oleh enzim proteolitik adalah hidrolisis ikatan peptida protein. Enzim proteolitik dapat dibagi menjadi empat golongan yaitu :
1. Protease asam : merupakan kelompok enzim dengan pH optimum rendah. Yang termasuk di dalamnya adalah pepsin, renin (kimosin), dan sejumlah besar protease mikroba dan fungus. Renin, enzim murni yang terdapat dalam renet, adalah ekstrak lambung anak sapi yang telah dipakai selama beribu – ribu tahun sebagai pengkoagulasi dalam pembuatan keju. Aktivitas optimum renin adalah pada pH 3,5, tetapi paling stabil pada pH 5 dan penggumpalan susu keju dilakukan pada pH 5,5 – 6,5. koagulasi atau penggumpalan susu oleh renin terjadi dalam dua tahap yaitu :
a. Tahap enzim, enzim bekerja terhadap k-kasein sehingga kasein ini tidak dapat lagi
menstabilkan misel kasein.
b. Tahap nonenzim, melibatkan penggumpalan misel kasein yang sudah
dimodifikasi oleh ion kalsium.
Pepsin dibentuk dalam mukosa lapis lambung berbentuk pepsinogen. Keasaman isi lambung yang tinggi membantu pada pengubahan menjadi pepsin secara autokatalitik. Protease asam dipakai pada pembuatan keju termasuk sediaan yang diperoleh dari organisme Endothia parasitica, Mucor miehei, dan Mucor pusillus.
2. Protease serina : mencakup kimotripsin, tripsin, elastase, trombin, dan subtilisin. Nama golongan ini mengacu ke bagian seril yang terlibat pada tapak aktif. Kimotripsin, tripsin, dan elastase adalah enzim pankreas yang melaksanakan fungsinya dalam saluran usus. Enzim ini diproduksi sebagai zimogen inaktif dan diubah menjadi bentuk aktif oleh proteolisis terbatas.
3. Protease sulfhidril : memperoleh kenyataan bahwa gugus sulfhidril dalam molekul sangat penting untuk aktivitasnya. Kebanyakan berasal dari tumbuhan dan dipakai secara luas dalam industri makanan. Protease sulfhidril yang berasal dari hewan hanya dua katepsin, yang terdapat dalam jaringan sebagai enzim intrasel. Enzim yang terpenting dalam golongan ini adalah papain, fisin, dan bromelain. Protease sulfhidril dipakai secara niaga termasuk penstabilan dan pembuatan bir tahan dingin
12
4. Protease yang mengandung logam : enzim ini memerlukan logam untuk aktivitasnya dan dihambat oleh senyawa yang mengkelat logam. Enzim ini merupakan eksopeptidase dan termasuk karboksipeptidase A (peptidil-L-asam amino hidrolase) dan B (peptidil-L-lisina hidrolase), yang menghilangkan asam amino dari ujung rantai peptida yang mengandung gugusα -karboksil bebas.
(de Man, 1997).
2.12 KOMPOSISI KIMIA DAN STRUKTUR 3-DIMENSI ENZIM
Setiap enzim terbentuk dari molekul protein sebagai komponen utama penyusunnya dan bebrapa enzim hanya terbentuk dari molekul protein dengan tanpa adanya penambahan komponen lain. Protein lainnya sepertiSitokr om yang membawa elektron pada fotosintesis dan respirasi tidak pula dapat digolongkan sebagai enzim. Selain itu, protein yang terdapat dalam biji juga lebih berperan sebagai bahan cadangan untuk digunakan dalam proses perkecambahan biji.Protein hanya terbentuk dari satu ikatan poloipeptida yang menggumpal membentuk suatu struktur yang bulat atau sperikal, contohnya ribonuklease. Setiap rantai polipeptida atau molekul protein secara sponstan akan membentuk konfigurasi dengan energi bebas terendah. Dalam sitisol sel, asam amino lebih bersifat hidrofobik yang akan mengumpul pada bagian dalam, sedang pada permukaan molekul protein atau enzim asan amino bersifat hidrofilik. (Tranggono & Sutardi. 1989).
2.13 KOMPERTEMENTASI ENZIM
Enzim – enzim yang berperan untuk fotosintesis terdapat pada kloroplas. Enzim yang berperan penting dalam respirasi aerobik terdapat pada mitokondria, sedang enzim respirasi lainnya terdapat dalam sitosol.
Kompertemenisasi enzi akan meningkat edisiensi banyak proses yang beralngsung di dalam sel,
karena :
1. Reaktan tersedia pada tempat dimana enzim tersedia.
2. Senyawa akan dikonversi dikirim ke arah enzim yang berperan untuk menghasilakn produk sesuai yang dikehendaki dan tidak disimpangkan pada lintasan yang lain. Akan tetapi kompartemenisasi ini tidak bersifat absolut. (Rahman, A. 1992).
2.14 CIRI- CIRI ENZIM
Ciri – ciri dari enzim ialah sebagai berikut :
1. Merupakan sebuah protein, Jadi sifatnya sama dengan protein yaitu dapat menggumpal dalam
suhu tinggi dan terpengaruh oleh temperatur.
2. Bekerja secara khusus, Artinya hanya untuk bekerja dalam satu reaksi saja tidak dapat
digunakan dalam beberapa reaksi.
3. Dapat digunakan berulang kali, Enzim dapat digunakan berulang kali karena enzim tidak
berubah pada saat terjadi reaksi.
4. Rusak oleh panas, Enzim tidak tahan pada suhu tinggi, kebanyakan enzim hanya bertahan
pada suhu 500C, rusaknya enzim oleh panas disebut dengan denaturasi,
5. Dapat bekerja bolak – balik, Artinya satu enzim dapat menguraikan satu senyawa menjadi
senyawa yang lain. (Riawan, S. 1990).
2.15 ISOZIM
Isozim atau Iso-enzim adalah dalam suatu campuran terdapat lebih dari satu enzim yang dapat berperan dalam suatu substrat untuk memberikan suatu hasil yang sama. Keuntungan bagi tumbuhan yang mengandung isoenzim adalah karena isozim – isozim tersebut akan memiliki tanggapan yang berbeda terhadap faltor – faktor lingkungan. Setiap isozim dihadapkan pada lingkungan kimia yang berbeda dab masing – masing berperan pada posisi yang berbeda dalam lintasan metabolic. (Lee, J. M. 1992).
2.16 CARA KERJA ENZIM
Molekul selalu bergerak dan bertumbukan satu sama lain. Jika suau molekul substrat menumbuk molekul enzim yangtepat maka akan menempel pada enzim. Tempat menempelnya molekul substrat pada enzim disebut dengan sisi aktif. Ada dua teori yang menjelaskan mengenai cara kerja enzim yaitu:
1 Teori kunci dan gembok
Teori ini diusulkan oleh Emil Fischer pada 1894. Menurut teori ini, enzim bekerja sangat spesifik. Enzim dan substrat memiliki bentuk geometri komplemen yang sama persis sehingga bisa saling melekat.
2 Teori ketepatan induksi
Teori ini diusulkan oleh Daniel Koshland pada 1958. Menurut teori ini, enzim tidak merupakan struktur yang spesifik melainkan struktur yang fleksibel. Bentuk sisi aktif enzim hanya menyerupai substrat. Ketika substrat melekat pada sisi aktif enzim, sisi aktif enzim berubah bentuk untuk menyerupai substrat. (Andini, L. S. 1999).
DAFTAR PUSTAKA
Andini, L. S. (1999). Seleksi Kapang Iradiasi Untuk Produksi Enzim Amilase Pada
Substrat Sagu. Sainteks Vol. VI No. 2.
Birch, P. (2002). Enzyme Kinetics.University of Paisley. www.medicine.indstate.edu
de Man, J. M. (1997). Kimia Makanan edisi kedua. ITB. Bandung.
Birch, P. (2002). Enzyme Kinetics.University of Paisley. www.medicine.indstate.edu
de Man, J. M. (1997). Kimia Makanan edisi kedua. ITB. Bandung.
Ewing, G.W. (1985). Instrumental Methods of Chemical Analysis. McGraw-Hill Book
Company. USA.
Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka. Jakarta.
Gaman, P. M. & K. B. Sherrington. (1994). Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan,
Nutrisi dan Mikrobiologi. Universitas Gadjah Mada press. Yogyakarta.
Ismail, S.D. (1990). Nutrisi Dan Kesehatan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta
Khopkar,S.M . (2002) . Konsep Dasar Kimia Analitik . Universitas Indonesia Pers .
Jakarta.
Lee, J. M. (1992). Biochemical Engineering. Prentice Hall Inc. New Jersey.
Martoharsono, S. (1994). Biokimia I. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Noor, Z. (1990). Biokimia Nutrisi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Jakarta.
Lee, J. M. (1992). Biochemical Engineering. Prentice Hall Inc. New Jersey.
Martoharsono, S. (1994). Biokimia I. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Noor, Z. (1990). Biokimia Nutrisi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Jakarta.
Panji, Tri, Suharyanto, Gunawan & Khaswar Syamsu. 2005. Biokonversi Minyak Sawit Kasar
Menggunakan Desaturase Amobil Sistem Curah pada Skala Semipilot. Menara Perkebunan :63-73.ww w .ipard.com.publikas i /e- jurnal/b iotek/M P 70- 02-03.pdf
Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. Penerbit Arcan. Jakarta.
Riawan, S. (1990). Kimia Organik edisi 1. Binarupa Aksara. Jakarta.
Richana, Nur, Ahmad Thontowi & Pia Lestina. 2002. Teknik Produksi Amilase Skala
Pilot dari Isolat Rekombinan Pembawa Gen
Amilase.http://www.indobiogen.or.id/terbitan/prosiding/fulltext_pdf/prosiding2002_36
5-372_nurrichana.pdf
Amilase.http://www.indobiogen.or.id/terbitan/prosiding/fulltext_pdf/prosiding2002_36
5-372_nurrichana.pdf
Sudarmadji, S; B. Haryono; & Suhardi. (1989). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian.
Penerbit Liberty. Yogyakarta.
Tranggono & B. Setiaji. (1989). Biokimia Pangan. Gadjahmada University Press.
Yogyakarta.
Tranggono & Sutardi. (1989). Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Tranggono, B. S. & B. Sutardi. (1990). Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. Pusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Whitaker, J.R. (1994). Principles of Enzymology for the Food Sciences. Marcel Dekker
Inc. California.
Williamson, K. L & L. F. Fieser. (1992). Organic experiment 7th edition. D.C. Health
Company. United States of America.
Winarno, F. G. (1995). Enzim Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
4.2 PEMBAHASAN
Ada berbagai macam pengertian enzim. Menurut Winarno, enzim adalah suatu katalis biologis yang dapat mempercepat terjadinya keseimbangan suatu reaksi kimia. Ada juga yang mengatakan enzim adalah substansi yang dihasilkan oleh sel-sel hidup dan beperan sebagai katalisator pada reaksi kimia yang berlangsung dalam organisme. Karena perannya sebagai katalisator, maka enzim dapat mempercepat suatu reaksi, tetapi tidak menimbulkan produk samping karena katalisator adalah substansi yang mempercepat reaksi tetapi pada hasil reaksi, substansi tersebut tidak berubah. Enzim juga memiliki spesifitas tinggi terhadap substrat, atau dengan kata lain hanya mau mengkatalis reaksi tertentu dengan substrat tertentu saja.
Ada beberapa keuntungan dalam memanfaatkan enzim sebagai katalisator biologis. Pertama beberapa enzim relatif mudah diekstraksi dan dimurnikan secara parsial dalam bentuk konsentrat dari bahan biologis. Kedua, enzim memperlihatkan aktivitas optimum panda kondisi yang berbeda dengan lingkungan asalnya. Ketiga, enzim memiliki derajat spesifitas tinggi dalam reaksi yang dikatalisa, dan kebanyakan kasus hanya satu jenis reaksi saja enzim dapat bekerja khususnya di bidang teknologi pangan. Akhirnya enzim lebih efisien daripada katalisator kimia yaitu sebesar 105-108 kalinya (Tranggono & Sutardi , 1989).
Kebanyakan dari semua enzim disusun oleh protein, kecualiribozymes.Ribozymes
adalah molekul dari asam nukleat yang mengkatalisa reaksi yang terjadi pada ikatan
fosfodiester dari RNA lain. Beberapa enzim hanya terdiri atas protein, tetapi
kebanyakan enzim mengandung non-protein tambahan seperti karbohidrat, lipid, logam,
fosfat, atau beberapa bagian organik yang lain. Beberapa bagian pada enzim yaitu
· Kofaktor
Bila enzim dalam melakukan aktivitasnya membutuhkan zat kimia tertentu, dan zat kimia tertentu itu disebut kofaktor. Dimana kofaktor itu terikat kuat pada enzim. Disamping itu kofaktor stabil selama pemanasan.
· Koenzim
Bagian kofaktor yang berupa molekul organik seperti tiamin pirofosfat, flavin, adenin dinukleotida, NAD, koenzim A, piridoksal fosfat, biositin, tetrahidrofolat, dan sebagainya.
· Apoenzim
Bagian enzim yang merupakan protein yang menempati porsi terbesar dalam enzim. Apoenzim memiliki sifat seperti protein, salah satu sifat yang utama yaitu apoenzim akan terdenaturasi selama pemanasan (Martoharsono,1994).
Disamping pengelompokan secara resmi ada pula pengelompokan yang berdasarkan akhiran pada nama enzim tersebut, yaitu :
• Akhiran ase, semua enzim yang memakai akhiran ini memiliki fungsi mengkatalisis
hidrolisis substrat tertentu.
• Akhiran in, semua enzim yang memakai akhiran ini berarti menerangkan substrat apa
yang diuraikan oleh enzim tersebut (Martoharsono,1994).
Enzim dapat digolongkan menjadi enam kelas berdasarkan jenis reaksi yang dikatalisa yaitu:
1. Kelas oksidoreduktase, reaksi yang dikatalisis adalah reaksi pemindahan elektron.
2. Kelas transferase, reaksi yang dikatalisis adalah reaksi pemindahan gugus fungsional.
3. Kelas hidrolase, reaksi yang dikatalisis yaitu reaksi hidrolisis atau reaksi pemindahan
1. Kelas oksidoreduktase, reaksi yang dikatalisis adalah reaksi pemindahan elektron.
2. Kelas transferase, reaksi yang dikatalisis adalah reaksi pemindahan gugus fungsional.
3. Kelas hidrolase, reaksi yang dikatalisis yaitu reaksi hidrolisis atau reaksi pemindahan
gugus fungsional ke dalam air.
4. Kelas liase, reaksi yang dikatalisis adalah reaksi penambahan gugus ke dalam ikatan
rangkap atau sebaliknya.
5. Kelas isomerase, reaksi yang dikatalisis adalah reaksi pemindahan gugus di dalam
molekul menghasilkan bentuk isomer.
6. Kelas ligase, reaksi yang dikatalisis yaitu reaksi pembentukan ikatan C-C, C-S, C-O, dan C-N oleh reaksi kondensasi yang berkaitan dengan penguraian ATP (Martoharsono,1994).
Penyimpanan enzim yang dilakukan didalam pendingin sebelum digunakan dalam percobaan aktivitasi enzim adalah untuk mencegah terjadinya kehilangan aktivitas akibat denaturasi enzim atau hilangnya kofaktor yang penting. Dimana dengan perlakuan ini akan menjamin kehilangan aktivitas enzim lebih minimal. Sedangkan pembekuan danthawing sebaiknya dicegah karena dapat menginaktifkan enzim dengan cepat ( Gaman & Sherrington, 1994 ). Sedangkan untuk pengujian pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim, menghasilkan hasil bahwa pada suhu 40oC aktivitas enzim bernilai paling besar. Hal ini menunjukkan bahwa pada kisaran suhu tersebut enzim bekerja secara optimum sehingga nilai kuantitatif aktivitasnya besar. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Gaman & Sherrington (1994) menurutnya, aktivitas enzim dipengaruhi oleh suhu. Suhu optimal enzim berkisar antara 30- 40 ºC, yaitu suhu tubuh. Pada suhu diatas dan dibawah optimalnya, aktifitas enzim berkurang. Diatas suhu 50 ºC enzim secara bertahap menjadi inaktif karena protein terdenaturasi. Pada suhu 100 ºC semua enzim rusak. Pada suhu sangat rendah, enzim tidak benar - benar rusak tetapi aktifitasnya sangat banyak berkurang
Pada perubahan suhu, kecepatan reaksi yang dikatalisis oleh enzim mula-mula meningkat karena adanya peningkatan suhu. Energi kinetik akan meningkat pada kompleks enzim dan substrat yang bereaksi. Namun, peningkatan energi kinetik oleh peningkatan suhu mempunyai batas yang optimum. Jika batas tersebut terlewati, maka energi tersebut dapat memutuskan ikatan hidrogen dan hidrofobik yang lemah yang mempertahankan struktur sekunder-tersiernya. Pada suhu ini, denaturasi yang disertai dengan penurunan aktivitas enzim sebagai katalis akan terjadi.
Suhu optimal enzim bergantung pada lamanya pengukuran kadar yang dipakai untuk menentukannya. Semakin lama suatu enzim dipertahankan pada suhu dimana strukturnya sedikit labil, maka semakin besar kemungkinan enzim tersebut mengalami denaturasi.
Dari hasil percobaan, pada suhu 0 oC, besarnya aktivitas enzim cukup signifikan besarnya. Seharusnya, pada suhu ini enzim dalam keadaan inaktif. Namun, ada sedikit kesalahan yang mungkin disebabkan karena kurang cepatnya praktikan mengisolasi enzim sehingga enzim telah bereaksi pada suhu kamar dan akibatnya ada sedikit aktivitas enzim yang terjadi. Belum lagi suhu kulkas yang tidak stabil karena sering dibuka dan ditutup oleh praktikan lain selama pengeraman. Sehingga kemungkinan besar temperatur yang diinginkan 0 oC tidak dapat tercapai. Seharusnya pada suhu 37 oC merupakan suhu dimana aktivitas enzim maksimal. Pada suhu ini seharusnya reaksi berlangsung paling cepat. Hal ini terjadi karena temperatur ini merupakan temperatur normal tubuh manusia (suhu optimal enzim amilase salivarius adalah 37 oC). Tetapi pada percobaan didapat kecepatan reaksi enzimatik tertinggi adalah pada suhu ruang. Hal ini mungkin disebabkan karena suhu di dalam ruangan lab lebih tinggi daripada suhu ruangan yang normal (28 oC) atau mungkin karena inkubasi pada suhu 37 oC kurang tepat atau tidak akurat. Pada interval suhu 0 oC-37 oC, kecepatan reaksi enzimatik mengalami kenaikan. Setelah melewati suhu optimum (37 oC), maka kecepatan reaksi enzimatik kembali menurun. Amilum adalah polisakarida yang banyak terdapat di alam contoh sebagian besar ada pada tumbuhan. Amilum dalam kehidupan sehari – hari disebut pati terdiri dari dua komponen yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan polisakarida linier dari unit – unit glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α (1, 4) glikosida. Amilosa akan memberikan warna biru dengan adanya iodium, karena senyawa ini dapat masuk dan menduduki posisi dalam gelang helikal yang terbentuk jika amilsa dalam air. Amilopektin merupakan polisakarida yang banyak cabangnya, terdiri dai unit glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α (1, 4) glikosida dan cabangnya α (1, 6) glikosida. Amilopektin dengan iodium akan memberikan warna ungu atau merah kembayung.
Reaksi kimia sangat dipengaruhi oleh suhu, maka reaksi yang dikatalis oleh enzim juga peka terhadap suhu. Enzim sebagai protein akan mengalami denaturasi jika suhunya dinaikkan. Denaturasi merupakan protein yang susunan ruang atau rantai polipeptida suatu molekul berubah. Denaturasi juga bisa diartikan suatu perubahan atau modifikasi terhadap stuktur sekunder, tersier, dan kuartener terhadap molekul protein, tanpa terjadinya pemecahan ikatan – ikatan kovalen (Winarno,1997). Akibatnya daya kerja enzim menurun, ada kemungkinan sampai suhu 450C efek predominannya masih memperlihatkan kenaikan aktivitas sebagaimana dugaan dalam teori kinetik. Tetapi lebih dari 450C efek yang berlawanan yaitu denaturasi termal lebih menonjol dan menjelang suhu 550C
fungsi katalitik enzim menjadi punah (Girindra, 1993).
Pengujian selanjutnya dilakukan terhadap pengaruh substrat terhadap aktifitas enzim. Substrat yang dipakai disini adalah family kacang-kacangan dan enzim yang diujikan adalah enzim urease. Pada pengujian ini baik kacang kedelai yang disangarai maupun kacang dadap tidak ditemukan adanya bau dari amoniak yang menjadi indicator dari aktifitas enzim urease. Jenis dari substrat yang dipakai menentukan seberapa banyak amoniak yang dihasilkan.
BAB 5
KESIMPULAN
• Enzim adalah substansi yang dihasilkan oleh sel-sel hidup dan berperan sebagai
katalisator pada reaksi kimia yang berlangsung dalam organisme.
• Enzim juga memiliki spesifitas tinggi terhadap substrat, atau dengan kata lain
hanya mau mengkatalis reaksi tertentu dengan substrat tertentu saja.
• Penyimpanan enzim yang dilakukan didalam pendingin sebelum digunakan dalam percobaan aktivitasi enzim adalah untuk mencegah terjadinya kehilangan aktivitas akibat denaturasi enzim atau hilangnya kofaktor yang penting.
• Aktivitas enzim dipengaruhi oleh suhu optimal enzim berkisar antara 30- 40 ºC,
yaitu suhu tubuh. Diatas suhu 50 ºC enzim secara bertahap menjadi inaktif karena protein terdenaturasi dan pada suhu 100 ºC semua enzim rusak, sedangkan pada suhu sangat rendah, enzim tidak benar - benar rusak tetapi aktifitasnya sangat banyak berkurang.
0 komentar:
Posting Komentar