I.
PENDAHULUAN
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
merupakan salah satu jenis tanaman obat dari family Zingiberaceae yang
potensial untuk dikembangkan, dan merupakan salah satu dari sembilan jenis
tanaman unggulan dari Ditjen POM yang memiliki banyak manfaat sebagai bahan
obat. Pemanfaatan tanaman ini cukup banyak, antara lain dipergunakan oleh
masyarakat dalam pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan atau pengobatan
penyakit maupun oleh produsen obat tradisional dan kosmetika (Nurjannah et al.,
1994; Hernani 2001). Dilaporkan banyak masyarakat menggunakan rimpang temulawak
sebagai bahan baku obat (hepatoprotector) untuk mengobati penyakit lever yang
memperbaiki fungsi hati dan menurunkan kadar SGPT dan SGOT (Hadipoeyanti dan Syahid,
2001).
Selain penggunaannya sebagai bahan baku
industri seperti minuman dan pewarna alami, manfaat lain adalah dapat
meningkatkan sistim imunitas tubuh, berkhasiat anti bakteri, anti diabetik,
anti hepatotoksik, anti inflamasi, anti oksidan, anti tumor, diuretika,
depresan dan hipolipodemik (Purnomowati dan Yoganingrum, 1997; Raharjo dan Rostiana,
2003). Bagian yang berkhasiat dari temu lawak adalah rimpangnya yang mengandung
berbagai komponen kimia di antaranya zat kuning kurkumin, protein, pati dan
minyak atsiri. Pati, salah satu komponen terbesar temu lawak sering disebut
sebagai pati yang mudah dicerna sehingga disarankan digunakan sebagai makanan
bayi. Minyak atsirinya mengandung senyawa phelandren,kamfer, borneol, sineal,
xanthorhizol. Kandungan xanthorizol dan kurkumin ini yang menyebabkan temulawak
sangat berkhasiat (Taryono et al., 1987).
Kurkumin atau kurkumoid termasuk salah satu senyawa metabolit
sekunder yang memiliki aktifitas biologi sebagai antihepatotoksik,
antiinflamasi dan antioksidan (Tonnesen, 1986). Kebanyakan metabolit sekunder
termasuk kurkuminoid diperoleh secara komersial dengan mengisolasi dari tanaman
(Cahyono, 1998).
Produksi senyawa metabolit sekunder
dengan teknik kultur jaringan tanaman sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain genetik dan media tumbuh (Strett, 1977; Untung dan Fatimah, 2003).
Penambahan zat pengatur tumbuh ke dalam media tumbuh juga diperlukan
(Hendaryono dan Wijayani, 1994; Untung dan Fatimah, 2003). Auksin dikenal
sebagai hormon yang mampu berperan menginduksi terjadinya kalus (Tomes dkk,
1982; Untung dan Fatimah, 2003).
Prekursor adalah senyawa yang berperan
penting dalam biosintesis metabolit sekunder yaitu dengan merangsang
pembentukan metabolit sekunder di dalam tanaman. Fenilalanin dan natrium asetat
berperan sebagai prekursor dari kurkuminoid, dimana aktivitas keduanya
merupakan tahap penentu untuk sintesa kurkuminoid. Metabolit sekunder di dalam
tanaman hanya terdapat dalam jumlah yang kecil, oleh karena itu pembentukan
metabolit sekunder perlu dirangsang dengan penambahan prekursor ke dalam media
kultur.
Mengingat tingginya permintaan terhadap
bahan baku temulawak, maka diperlukan ketersediaan bahan tanaman dalam jumlah
besar. Upaya penyediaan bahan tanaman dalam jumlah banyak, waktu singkat dan
bebas hama dan penyakit telah diperoleh melalui perbanyakan invitro (Syahid dan
Hadipoentyanti, 2002). Selain itu pertumbuhan dan produksi rimpang temulawak
hasil plantlet in vitro juga telah diketahui mampu memperlihatkan hasil yang
cukup optimal (Hadipoentyanti dan Syahid, 2001).
II. PEMBAHASAN
Eksplan temulawak banyak mengandung
senyawa fenol, sehingga diperlukan optimalisasi metode strerilisasi yang
optimal. Cara sterilisasi yang memberikan hasil terbaik dilakukan dengan
perendalam dalam bahan-bahan sebagai berikut : Detergen ( 5 menit), aquadest
steril (10 menit), Dithane 430F (30 menit), Bayclin 30 %dan tween 80(10 menit),
Bayclin 15 %dan tween 80 (5 menit) dan alkohol 70 % (1 menit).
Prosentase
keberhasilan pertumbuhan kalus
Penentuan
prosentase keberhasilan dilakukan dengan menghitung jumlah eksplan yang
berhasil membentuk kalus dibagi dengan jumlah keseluruhan eksplan yang ditanam
dikalikan 100%. Prosentase keberhasilan kultur tunas rimpang temulawak
ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh Penambahan Prekursor ke Dalam
Media Tumbuh Terhadap Prosentase pertumbuhan kalus temulawak (%).
Keterangan:
(berlaku untuk tabel yang lain)
MS0
: Medium MS tanpa penambahan hormon dan prekursor
FA2NA0
: Medium MS dengan penambahan fenilalanin 2 mg/l dan natrium asetat 0 mg/l
FA4NA0
: Medium MS dengan penambahan fenilalanin 4 mg/l dan natrium asetat 0 mg/l
FA0NA2
: Medium MS dengan penambahan fenilalanin 0 mg/l dan natrium asetat 2 mg/l
FA2NA2
: Medium MS dengan penambahan fenilalanin 2 mg/l dan natrium asetat 2 mg/l
FA4NA2
: Medium MS dengan penambahan fenilalanin 4 mg/l dan natrium asetat 2 mg/l
FA0NA4
: Medium MS dengan penambahan fenilalanin 0 mg/l dan natrium asetat 4 mg/l
FA2NA4
: Medium MS dengan penambahan fenilalanin 2 mg/l dan natrium asetat 4 mg/l
FA4NA4
: Medium MS dengan penambahan fenilalanin 4 mg/l dan natrium asetat 4 mg/l
Pertumbuhan
eksplan yang baik ditandai dengan tidak terjadinya browning, tidak
terkontaminasi
jamur ataupun bakteri baik pada eksplan maupun pada medium. Prosentase
keberhasilan pertumbuhan kalus temulawak tidak dipengaruhi oleh perlakuan
pemberian prekursor. Hal ini terlihat pada tabel 1 bahwa media MS tanpa
penambahan precursor (kontrol) menghasilkan prosentase kerberhasilan
pertumbuhan kalus yang hampir sama dengan media dengan penambahan prekursor.
Bahkan media MS tanpa penambahan prekursor memberikan prosen keberhasilan lebih
baik jika dibandingkan dengan penambahan FA0NA2 dan FA4NA2.
Waktu
eksplan membentuk kalus
Pembentukan
kalus diawali oleh terbentuknya masa bergerombol berwarna bening disekitar
daerah irisan pada eksplan. Waktu pembentukan kalus ditunjukkan pada tabel 2.
Tabel
2.Pengaruh Penambahan Prekursor ke Dalam Media Tumbuh Terhadap Waktu
Pembentukan Kalus (hari)
Pada
tabel 2 terlihat bahwa pemberian prekursor cenderung mempercepat waktu induksi
kalus dibanding kontrol (MS0). Pemberian prekursor FA2NA2 menghasilkan pengaruh
terhadap waktu pembentukan kalus temulawak tercepat (24,9 hari).
Pemanenan
kalus
Pemanenan
dilakukan setelah kalus siap untuk dipanen yang ditandai oleh
terbentuknya
masa berwarna bening transparan yang bergerombol di sekitar eksplan secara
penuh. Pemanenan kalus pada penelitian ini dilakukan setelah kalus berumur
kurang lebih 8 minggu. Hasil penimbangan kalus dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel
3. Hasil penimbangan kalus
Pemberian
prekursor berpengaruh terhadap berat basah kalus. Kalus pada medium tanpa
penambahan prekursor (MS0) mempunyai berat yang lebih besar dibandingkan dengan
kalus pada medium lainnya. Berat terkecil terjadi pada kalus yang ditanam di
medium dengan penambahan fenilalanin 4 mg/l dan natrium asetat 2 mg/l.
Analisa
kualitatif kurkuminoid
Uji
pendahuluan dilakukan untuk memastikan kandungan kurkuminoid pada rimpang,
tunas, dan kalus temulawak yang diperoleh. Semua kalus yang diperoleh pada
tabel 3 diekstraksi dengan methanol. Hal serupa dilakukan juga terhadap rimpang
dan tunas temulawak dengan data penimbangan seperti terlihat pada tabel 4.
Tabel
4. Hasil penimbangan rimpang dan tunas temulawak
Keterangan :
RA : Rimpang
temulawak
TA :Tunas
rimpang temulawak
Analisa
kadar kurkuminoid dalam tunas dan rimpang temulawak diperlukan untuk membandingkan
kadar kurkuminoid yang terkandung dalam kalus. Semua bahan pada tabel 3 dan 4
diekstrak dengan metanol. Uji kualitatif dilakukan melalui reaksi warna dan KLT
(Kromatografi Lapis Tipis). Hasil uji reaksi warna senyawa kurkuminoid pada
ekstrak kalus, tunas dan rimpang temulawak. Berdasarkan reaksi warna
menunjukkan bahwa di dalam tunas, rimpang dan semua kalus temulawak yang
diteliti mengandung kurkuminoid (Data tidak ditampilkan). Analisa secara KLT dilakukan
terhadap semua kalus yang mempunyai pertumbuhan dan hasil yang maksimal.
Kromatogram
hasil KLT terlihat pada gambar 1.
Gambar
1. Kromatogram pada fase diam silika gel GF254 dengan larutan
pengembang
a, b, dan c
Keterangan
:
S
: Ekstrak kurkuminoid standart
K
: Ekstrak kalus rimpang temulawak
TA
: Ekstrak tunas temulawak
RA
: Ekstrak rimpang temulawak
(a)
: Larutan pengembang CHCl3 : etanol 96% : asam asetat glasial (94:5:1)
(b)
: Larutan pengembang etanol 96% : CHCl3 (7:3)
(c)
: Larutan pengembang heksana : etil asetat (1:1)
B1
: Bercak I (Kurkumin)
B2
: Bercak II (Desmetoksikurkumin)
B3
: Bercak III (Bisdesmetoksikurkumin)
Profil
kromatogram pada gambar 1 menunjukkan hasil pemisahan ketiga jenis larutan
pengembang. Pemisahan paling baik ditunjukkan oleh larutan pengembang (1) CHCl3
: etanol 96% : asam asetat glasial (94:5:1) karena larutan pengembang ini mampu
memisahkan komponen-komponen kurkuminoid. Bercak kurkuminoid standart
memperlihatkan pemisahan yang menghasilkan 3 bercak karena komponen kurkuminoid
standart yang digunakan terdiri atas kurkumin, desmetoksikurkumin dan
bisdesmetoksikurkumin. Pemisahan bercak pada kalus, tunas dan rimpang temulawak
hanya menghasilkan 2 bercak yang menunjukkan komponen kurkumin dan
desmetoksikurkumin. Kromatogram pada larutan pengembang etanol 96% : CHCl3
(7:3) dan larutan pengembang heksana : etil asetat (1:1) tidak menunjukkan
pemisahan komponenkomponen kurkuminoid karena hanya menghasilkan 1 bercak.
Hasil pemisahan menunjukkan adanya kurkuminoid dalam kalus, tunas dan rimpang
temulawak, karena memiliki nilai hRf yang sama dengan nilai hRf kurkuminoid
standart (Data tidak ditampilkan).
Berdasarkan sifat kepolaran
komponen-komponen kurkuminoid pada larutan pengembang CHCl3 : etanol 96% : asam
asetat glasial (94:5:1) menunjukkan bahwa bercak yang muncul pada hRf 50
merupakan desmetoksi kurkumin dan bercak yang muncul pada hRf 60 merupakan
kurkumin. Bercak bisdesmetoksikurkumin pada kurkuminoid standart muncul pada
hRf 40 dan tidak terdapat pada kalus, tunas, dan rimpang temulawak. Hal ini
sesuai dengan yang dilaporkan oleh Stahl (1985) bahwa kurkuminoid pada kalus
dan rimpang temulawak hanya mengandung kurkumin dan desmetoksikurkumin. Analisa
selanjutnya dilakukan terhadap seluruh kalus menggunakan larutan pengembang
CHCl3 : etanol 96% : asam asetat glasial (94:5:1) yang menunjukkan hasil
pemisahan paling baik.
Gambar
2. Kromatogram ekstrak kalus, tunas dan rimpang temulawak pada fase diam silika
gel GF254 dengan larutan pengembang CHCl3 : etanol 96%: asam asetat glasial
(94:5:1).
Penegasan selanjutnya ditunjukkan oleh
data KLT pada fase diam silika gel GF254 dengan larutan pengembang CHCl3 :
etanol 96% : asam asetat glasial (94:5:1) di bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm.
Hasil pengujian menunjukkan seluruh sampel dengan volume penotolan 16 μl
menghasilkan warna bercak dan nilai hRF yang sama dengan standart kurkuminoid,
yaitu warna bercak kuning secara visual , kuning kecoklatan pada UV 254 nm dan
coklat pada UV 366 nm.
Hasil
pengujian menunjukkan bahwa semua kalus yang diperiksa mengandung senyawa
kurkuminoid seperti pada tunas dan rimpang temulawak, hal ini terlihat dari
warna bercak yang sama dengan standart kurkuminid baik warna bercak maupun
nilai hRf. Profil kromatogram ketiga replikasi menghasilkan 2 bercak (gambar 2)
meskipun nilai hRf sedikit berbeda, sehingga berdasarkan hasil identifikasi
awal (gambar 1) bercak 1 adalah kurkumin dan bercak 2 adalah desmetoksikurkumin
(Stahl, 1985).
Penetapan kadar kurkuminoid kalus temulawak.
Kadar kurkuminoid dihitung
terhadap ekstrak kering dan kalus kering. Hasil perhitungan kadar (%)
kurkuminoid dapat dilihat pada grafik 3 dan 4.
Grafik 1.
Hubungan antara pemberian prekursor ke dalam media terhadap kadar
kurkuminoid
ekstrak kalus segar.
Grafik
2. Hubungan antara pemberian prekursor ke dalam media terhadap Kadar
kurkuminoid
kalus kering
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam
waktu 8 minggu terhitung dari hari pertama pembentukan kalus, eksplan dengan
penambahan prekursor dalam berbagaikonsentrasi, menghasilkan kurkuminoid dalam
ekstrak dan kalus dengan kadar yangberbeda dari kadar kurkuminoid tunas tanaman
asalnya. Grafik 1 dan 2 terlihat bahwa kandungan kurkumin lebih besar jika
dibandingkan kandungan desmetoksikurkumin baik pada kalus, tunas dan rimpang
untuk semua kombinasi perlakuan, kecuali perlakuan FA2 NA4. Kalus dalam media
MS0 memiliki berat yang paling besar daripada perlakuan lainnya tetapi kadar
kurkuminoidnya paling kecil. Berat kalus mencerminkan kualitas pertumbuhan. Metabolit terbanyak yang dialokasikan untuk
pertumbuhan berasal dari metabolisme primer. Kalus dengan berat yang lebih
besar menunjukkan akumulasi metabolit primer yang lebih banyak tetapi kandungan
metabolit sekundernya lebih sedikit. Hal ini dikarenakan hasil metabolisme sel
lebih diutamakan ke arah sintesa metabolit primer. Kadar kurkuminoid rimpang
temulawak (RA) lebih tinggi daripada kurkuminoid tunas temulawak (TA) karena
rimpang temulawak sudah mengalami pertumbuhan yang maksimal sehingga sintesis
kurkuminoid rimpang temulawak telah maksimal, sedangkan tunas temulawak baru
mengalami awal pertumbuhan sehingga kurkuminoid yang disintesis masih dalam
jumlah yang kecil. Kadar kurkuminoid ekstrak lebih besar dibanding kadar
kurkuminoid rimpang, tunas dan kalus temulawak. Hal ini menunjukkan bahwa kadar
kurkuminoid ekstrak tidak sama dengan kadar kurkuminoid tunas, rimpang dan
kalus temulawak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan fenilalanin ke
dalam medium tanpa penambahan natrium asetat mampu menginduksi sintesis
kurkuminoid. Meskipun kadar kurkuminoid yang dihasilkan lebih sedikit, ternyata
penambahan natrium asetat tanpa fenilalanin juga mampu meningkatkan kadar
kurkuminoid temulawak. Sedangkan natrium asetat berpengaruh terhadap sintesa desmetoksikurkumin.
Penambahan fenilalanin dannatrium asetat sebagai prekursor secara bersama-sama
mampu menginduksi sintesis kurkuminoid kalus temulawak.
Temulawak dapat dikonservasi dengan
pertumbuhan minimal yaitu dengan penggunaan retardan paclobutrazol. Penggunaan
konsentrasi paclobutrazol 5,0 mg/l mampu mereduksi pertumbuhan kultur temulawak
in vitro dan memperpanjang masa simpan kultur menjadi tujuh bulan. Untuk
menguji daya tumbuh biakan setelah dikonservasi tujuh bulan, maka dilakukan
pemindahan pada media baru untuk multiplikasi tunas yaitu MS + BA 0,1 mg/l.
Sebaiknya perlakuan yang diaplikasikan selama periode konservasi, masih mampu
mengembalikan daya tumbuh biakan setelah dikultur kembali ke media multiplikasi
tunas. Hasil uji regenerasi tunas temulawak setelah perlakuan paclobutrazol
terlihat cukup tinggi, karena semua kultur yang diberi perlakuan paclobutrazol mampu
tumbuh dengan baik pada media regenerasi (MS+BA 0,1 mg/l)
Regenerasi tunas temulawak setelah
dikonservasi selama tujuh bulan masih tinggi, ditunjukkan dengan kemampuan
tunas untuk tumbuh dengan baik pada media MS+BA 0.1 mg/l, enam minggu setelah
perlakuan.\ Plantlet hasil konservasi in vitro mampu tumbuh dengan baik di
rumah kaca dengan pertumbuhan yang normal.
Aplikasi pemupukan berpengaruh terhadap
parameter berat rimpang, panjang dan lebar rimpang serta jumlah rimpang induk,
namun tidak berpengaruh terhadap diameter rimpang. Penggunaan pupuk kandang
kambing 2 kg/tanaman + pupuk buatan (2 g urea, 1,8 g SP-36 dan 2,7 g KCL per tanaman)
menghasilkan berat rimpang paling tinggi namun tidak berbeda dengan perlakuan
pupuk kandang 1 kg/tanaman secara tunggal maupun dengan penambahan pupuk
buatan. Kandungan kurkumin tertinggi diperoleh pada perlakuan tanpa pemupukan
yaitu 4,1%.
DAFTAR
PUSTAKA
Cahyono, B., 1998, Tembakau
Budidaya dan Analisis Usaha Tani, Kanisius, Yogyakarta
Hernani
I, 2001. Temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb.) tumbuhan obat Indonesia.
Penggunaan dan khasiatnya. Pustaka Popular Obor, Jakarta. p.130-132.
Nurjanah,
N., S. Yuliana dan A. B. Sembiring, 1994. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza).
Review Hasil- Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. X (2)
: 43-57.
Purnomo,
S dan A. Yoganingrum, 1997. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Pusat
Dokumentasi dan Informasi Ilmiah, LIPI, Jakarta. 44 p.
Raharjo,
M dan O. Rostiana, 2003. Standar Prosedur Operasional Budidaya Temu Lawak.
Sirkular No.8. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balittro, Bogor,
p.33-38.
Street, H.E., 1977, Recent
Advence in The Production of Medical Substances by Plant Cell Culture, New
York, 3-6.
Syahid,
S.F dan E. Hadipoeyanti, 2002. Pengaruh zat pengatur tumbuh Benzyl Adenin (BA)
dan NAA terhadap pertumbuhan temu lawak (Curcuma xanthorrhiza). Buletin
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. XIII (2) : 1-6.
Taryono.,
E. M. Rahnat, S dan A. Sardina, 1987. Plasma Nutfah Tanaman Temu-temuan. Edisi
Khusus Ballittro. 3 (1) ;47-56
Tonnesen,
H.H., 1986, Chemistry, Stability and Analysis of Curcumin, Institute of
Pharmacy University of Oslo, Oslo, Norway.
Untung,
S., Fatimah, N., 2003, Kultur Jaringan Tanaman, Universitas Muhammadiyah
Malang, Malang.
.
1 komentar:
Thank you very much ^_^
Posting Komentar