BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pisang adalah tumbuhan yang termasuk dalam famili
Musaceae yang merupakan
komoditas bernilai ekonomi tinggi di Indonesia. Propinsi Kalimantan Selatan
merupakan salah satu daerah produksi dan wilayah potensial dikembangkannya
tanaman pisang. Oleh karena
jenisnya yang beranekaragam pisang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat mulai
dari bentuknya yang berupa pangan seperti pisang goreng, jumput-jumput pisang,
kolak pisang, dan lain sebagainya. Pisang juga dimanfaatkan dalam pembuatan
kerajinan rakyat seperti anyaman topi, tas, dan lainnya.
Jenis pisang yang dikenal di Kalimantan Selatan antara
lain pisang menurun (kapok), pisang mauli(uli), pisang talas dan pisang raja.
Pisang kepok dan talas sering dikonsumsi oleh masyarakat dalam bentuk kolak
pisang atau pisang goring, sedangkan pisang mauli (uli) sering dihidangkan
sebagai pencuci mulut dalam acara selamatan dan perkawinan.
Kendala
pengadaan bibit unggul secara konvensional adalah sulit mendapatkan bibit yang berkualitas dalam jumlah besar dalam
waktu yang singkat. Salah satu keunggulan perbanyakan tanaman melalui teknik
kultur jaringan adalah sangat dimungkinkan mendapatkan bahan tanam dalam jumlah
besar dalam waktu singkat (Priyono et al., 2000).
Dalam
kultur jaringan pisang, sampai saat ini yang banyak dikenal adalah kultur
dengan eksplan bonggol. Apabila dibandingkan dengan jantung pisang maka
mendapatkannya lebih mudah dan jumlah eksplan yang di dapat lebih banyak bahkan
mencapai 200 eksplan setiap jantung pisang, serta lebih kecil resikonya
terhadap kontaminasi sebab bukan berasal dari tanah dan tertutup rapat oleh
kelopak.
1.2 Tujuan dan
Manfaat
Tujuan
- Untuk menemukan teknik perbanyakan bibit pisang abaca dengan bantuan zat pengatur tumbuh BAP, Kinetin dan NAA pada media propagasi.
- Untuk mengetahui pengaruh interaksi antara campuran NAA dan Kinetin terhadap pertumbuhan tiga kultivar buah pisang secara teknik kultur jaringan.
- Untuk mengetahui perkembangan meristem pisang barangan (Musa paradisiaca L.) dalam media MS dengan berbagai kombinasi zat pengatur tumbuh(ZPT) NAA, IBA, BAP, dan kinetin.
Manfaat
Manfaat dari makalah ini sebagai media untuk menambah
wawasan dan pengetahuan penulis mengenai kultur jaringan pisang abaca, media
yang digunakan dan perkembangan meristem pisang barangan.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Pisang
Pisang
berasal dari bahasa Arab yaitu maus dan
menurut Linnaeus termasuk keluarga Musaceae (Satuhu dan Supriyadi, 1999).
Pisang barangan merupakan pisang yang paling populer di Sumatera Utara
(Nuswamarhaeni, dkk, 1999, hlm. 56). Indonesia merupakan salah satu negara
penghasil tanaman pisang dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi dan
tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Pisang Barangan adalah salah satu
jenis pisang yang sangat digemari oleh konsumen meskipun harganya lebih mahal
dibandingkan jenis lainnya (Nainggolan dkk, 2002 dalamWahyudi, 2004).
Adapun
botani tanaman pisang adalah sebagai berikut: tumbuhan seperti
pohon, tinggi 2-9 m; batang
pendek dalam tanah yang disebut Corm;
mempunyai
kuncup-kuncup tunas yang akhirnya
berkembang menjadi anakan. Akar liar (adventif) tumbuh menyebar secara lateral,
dapat mencapai panjang 4-5 m. Batang yang di atas permukaan tanah adalah batang
semu yang merupakan kumpulan dari pelepah daun yang berdaging, membentuk suatu
bentuk silindris dengan diameter 20-50 cm. Daun baru yang terbentuk tumbuh dari
batang semu. Helai daun berbentuk oblong yang besar dengan panjang 150-400 cm
dengan lebar 70-100 cm. Bila bunga majemuk telah terbentuk di ujung batang
semu, maka pembentukan helai daun baru akan berhenti. Bunga majemuk terkumpul
menjadi beberapa kelompok (sisir) dan setiap kelompok didukung oleh daun
penumpu yang besar, berwarna merah dan di dalamnya terdapat dua baris bunga.
Keseluruhan kelompok bunga ini bersatu dalam bentuk seperti jantung, sehingga
disebut sebagai jantung pisang. Daun penumpu dari setiap kelompok bunga akan
luruh setelah terjadinya proses perkembangan buah (Sudarnadi,1996, hlm. 85).
Menurut Steenis (2003), kedudukan
pisang barangan dalam taksonomi adalah:
Kingdom : Plantae, Divisio :
Spermatophyta, Sub Divisio : Angiospermae, Kelas : Monocotyledoneae, Ordo :
Zingiberales, Famili : Musaceae, Genus : Musa, Spesies : Musa sp.
Tanaman
pisang termasuk tanaman iklim tropis basah yang mudah didapatkan di Indonesia,
tanaman ini tahan hidup di musim kemarau, mampu tumbuh danmberproduksi baik
pada berbagai jenis tanah pada ketinggian tempat antara 0-1000 m diatas
permukaan laut. Tanaman pisang mudah tumbuh di berbagai tempat sehingga penanaman
yang dilakukan oleh petani belum teratur dan sering dicampur dengan tanaman
lainnya. Selain itu pemeliharaan tanaman pisang belum dilakukan secara intensif,
sehingga produksi dan mutu buah yang dihasilkan masih rendah (Warda dan Hutagalung,
1994).
2.2. Teknik
Kultur Jaringan
Kultur
jaringan dalam bahasa asing disebut sebagai tissue culture, weefcel
cultuus
atau gewebe kultur. Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah
sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. Maka, kultur
jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil
yang mempunyai sifat seperti induknya (Suryowinoto, 1991 dalam Hendaryono dan
Wijayani, 1994). Manfaat perbanyakan tanaman secara kultur jaringan adalah
untuk perbanyakan vegetatif tanaman yang permintaannya tinggi tetapi pasokannya
rendah, karena laju perbanyakan secara konvensional dianggap lambat. Di samping
itu, perbanyakan tanaman secara kultur jaringan sangat bermanfaat untuk
memperbanyak tanaman introduksi, tanaman klon unggul baru, dan tanaman bebas
patogen yang perlu diperbanyak dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif
singkat (Yusnita, 2003, hlm. 9).
Perbanyakan
bibit secara cepat adalah salah satu dari penerapan teknik kultur jaringan yang
telah dilakukan terutama untuk beberapa jenis tanaman yang
diperbanyak secara klonal. Tujuan
utamanya adalah memproduksi bibit secara massal dalam waktu singkat. Hal ini
terutama dilakukan pada tanaman-tanaman yang persentase perkecambahan bijinya
rendah. Tanaman hibrida yang berasal dari tetua yang menunjukkan sifat male sterility, hibrida-hibrida yang
unik, perbanyakan pohon elite dan/atau pohon untuk batang bawah dan tanaman
yang selalu diperbanyak secara vegetatif seperti kentang, pisang dan strawberry
juga diperbanyak secara kultur jaringan (Gunawan, 1987 dalam Mattjik, 2005, hlm
17).
Tujuan
lain dari kultur jaringan adalah untuk membiakkan bagian tanaman dalam ukuran
yang sekecil-kecilnya sehingga menjadi beratus-ratus ribu tanaman kecil (klon),
dan untuk menghasilkan kalus sebanyak-banyaknya agar dapat menghasilkan
metabolit sekunder, misalnya untuk keperluan obat-obatan.
Perbanyakan secara kultur
jaringan dilakukan dengan cara mengisolasi bagian
tanaman seperti organ, jaringan,
kumpulan sel, sel tunggal, protoplasma, dan
kemudian menumbuhkan
bagian-bagian tersebut dalam media buatan aseptik yang
kaya nutrisi dan mengandung zat
pengatur tumbuh. Proses ini berlangsung di dalam wadah tertutup yang tembus
cahaya sehingga bagian-bagain tersebut memperbanyak diri dan beregenerasi
kembali menjadi tanaman lengkap (Saptarini, dkk, 2001, hlm. 23).
2.2.1
Zat Pengatur Tumbuh
Di
dalam tubuh tumbuhan, zat pengatur tumbuh mempunyai peranan dalam
pertumbuhan dan perkembangan demi
kelangsungan hidupnya. Zat pengatur tumbuh pada tanaman (plant regulator), adalah senyawa
organik, yang dalam jumlah sedikit dapat merubah proses fisiologi tumbuhan
(Abidin, 1982).
Perkembangan
kalus dikendalikan oleh hormon yang ditambahkan ke dalam
media, khususnya auksin dan
sitokinin. Perubahan kadar zat pengatur tumbuh dapat mempengaruhi morfogenesisi
kalus menjadi tanaman utuh atau organ-organ saja. Keseimbangan hormon yang
diperlukan merupakan hal penting untuk setiap spesies dan sering sangat beragam
antara kultivar satu dengan yang lain. Bila keseimbangan auksin/sitokinin dalam
medianya tepat, maka kelompok kalus akan segera terbentuk (Nasir, 2002, hlm.
33).
Berdasarkan
struktur kimia ada dua kelompok sitokinin yaitu turunan
adenin (BAP, kinetin, zeatin) dan
turunan fenilurea (Thidiazuron/TDZ). BAP dan
TDZ mempunyai respon fisiologis
yang sama yaitu berperan dalam regulasi pembelahan sel, deferensiasi
pertumbuhan jaringan dan organ serta biosintesa
klorofil (Murthy et al. 1995). Pengaruh penggunaan TDZ
dalam perbanyakan in
vitro di antaranya adalah meningkatkan
biosintesis atau akumulasi sitokinin dan
auksin endogen, menginduksi
embrio somatik tanpa dikombinasikan dengan zat
pengatur tumbuh lainnya,
merangsang proliferasi tunas dan regenerasi organ
adventif (Huetteman dan Preece, 1993).
2.2.1.1 Sitokinin/ BAP
Adenin
merupakan bentuk dasar yang menentukan terhadap aktivitas sitokinin. Didalam
senyawa sitokinin, panjang rantai dan hadirnya suatu ikatan ganda dalam rantai tersebut,
akan meningkatkan aktivitas zat pengatur tumbuh ini (Abidin, 1982, hlm.55).
Secara umum, konsentrasi sitokinin yang digunakan berkisar dari 0.1 – 10 mg/l. Dalam
kasus tertentu, konsentrasi kinetin sampai 30 mg/l pernah digunakan, tetapi jarang
terjadi (Gunawan, 1995). Pengaruh sitokinin dalam kultur jaringan tanaman
antara lain berhubungan dengan proses pembelahan sel, proliferasi tunas ketiak,
penghambatan pertumbuhan akar dan induksi umbi. Pembelahan mitosis tidak akan
terjadi bila tidak ada sitokinin.
Sitokinin terutama berperan di
dalam pembentukan benang gelendong pada metafase (Wattimena, 1992 dalam
Nasution, 2003).
Menurut Santoso dan Nursandi
(2004, hlm. 105), bahwa secara lebih luas
peran sitokinin dapat dijabarkan
sebagai berikut:
1. Sitokinin berperan dalam
memacu pembentangan sel, pembesaran dan
pembelahan sel.
2. Sitokinin berperan dalam
penundaan senesens (penuaan), caranya dengan
jalan sitokinin menghambat
penguraian protein. Penuaan terjadi karena
penguraian protein menjadi asam
amino oleh enzim-enzim protese, RNAse,
DNAse. Artinya di sini
penghambatan atau penundaan penuaan terjadi karena
kinerja enzim-enzim di atas
dihambat sitokinin sehingga umur protein lebih
panjang.
3. Sitokinin ini berperan
mengarahkan transpor zat hara, yaitu memberi signal ke
arah mana zat hara akan dibawa
atau ditransport.
4. Peran sitokinin yang lain
adalah: mendorong proses morfogenesis, pertunasan,
pembentukan kloroplas,
pembentukan umbi pada kentang, pemecahan
dormansi, pembukaan stomata, dan
pembungaan.
5. Dalam kegiatan kultur jaringan
sitokinin telah terbukti dapat menstimulasi
terjadinya pembelahan sel,
proliferasi kalus, pembentukan tunas, mendorong
proliferasi meristem ujung,
menghambat pembentukan akar, mendorong
pembentukan klorofil pada kalus,
golongan sitokinin yang sering ditambahkan
dalam medium antara lain adalah:
kinetin, zeatin, dan Benzil Amino Purin (BAP) (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Penggunaan BAP dengan konsentrasi tinggi dan masa yang panjang seringkali
menyebabkan regeneran sulit berakar dan dapat menyebabkan penampakan pucuk yang
abnormal(Gunawan, 1995 hlm 45).
2.2.1.2 Auksin/NAA
Istilah
auksin pertama kali digunakan untuk menyebut suatu senyawa yang mungkin dapat
menyebabkan pembengkokan koleoptil ke arah cahaya ( Salisbury dan Ross,1992)
Indolacetic Acid (IAA) adalah auksin endogen atau auksin yang terdapat pada tanaman
(Wattimena, 1988, hlm. 7). Adapun zat pengatur tumbuh yang digolongkan sebagai
auksin sintetis, yaitu: asam a-naftalenaasetat (NAA), asam 2,4-diklorophenoksi
asetat (2,4-D), asam 2- metil-4-klorophenoksi asetat (MCPA), asam
2-naftalosiasetat (NoA), asam 4-klorophenoksi asetat (4-CPA), asam
p-klorophenoksi asetat (PCPA), asam 2,4,5-triklorophenoksi asetat (2,4,5-T),
asam 3,6-dikloroanisik (dikamba), asam 4-amino-3,5,6-trikoloropikolinik
(Santoso dan Nursandi, 2004, hlm.98).
Pada
konsentrasi yang rendah, auksin berpengaruh baik pada proses pemanjangan sel
(Abidin, 1982). Sebaliknya, dalam konsentrasi yang terlalu tinggi auksin justru
dapat menghambat perpanjangan tanaman. Oleh karena itu, penggunaan auksin harus
sungguh-sungguh memperhatikan dosis yang dianjurkan ( Salisbury dan Ross, 1992
dan Widarto, 1996).
2.2.2 Eksplan
Eksplan
adalah bagian kecil jaringan atau organ yang dipisahkan dari tanaman induk kemudian
dikulturkan (Katuuk, 1989). Bagian tanaman yang dapat dikultur adalah selsel muda
(meristematis), dapat berupa sel, jaringan apapun, organ, buah, biji, serbuk sari,
ovum (telur), ovulum (bakal buah), dan lain-lain. Bahkan sel tunggal yang berasal
dari sel somatik dan protoplas juga dapat dikulturkan (Muslim, 2003, hlm. 348).
Dalam pemilihan bagian tanaman, perlu juga dipertimbangkan tujuan dari kulturnya.
Bagian-bagian tertentu akan memberikan variasi dalam jumlah kromosom maupun
variasi dalam beberapa gen. Endosperma hanya digunakan untuk mendapatkan kultur
yang triploid. Selain bagian tanaman, genotip atau varietas yang digunakan juga
ikut menentukan keberhasilan regenerasi (Gunawan, 1995, hlm. 41). Dalam kultur
jaringan, sumber eksplan harus berasal dari pohon induk terpilih. Hal ini seringkali
dapat menjadi kendala dalam proses produksi bahan pangan melalui kultur jaringan
(Priyono, 2000).
2.2.3 Media Kultur Jaringan
Faktor
penentu di dalam media tumbuh adalah komposisi garam anorganik, zat pengatur
tumbuh, dan bentuk fisik media. Komposisi garam anorganik telah
dikembangkan oleh para ahli. Ada
yang tinggi konsentrasi garamnya, ada yang
sedang dan ada yang rendah
(Gunawan, 1995, hlm. 42). Pada media
aseptik yang mengandung unsur hara makro dan mikro, Fe, vitamin, dan zat pengatur tumbuh yang
diperlukan tanaman, sel atau jaringan tersebut akan membelah dan membentuk kalus atau organ tanaman secara
langsung (tunas atau akar). Selanjutnya
kalus ini akan distimulasi untuk membentuk
tanaman sempurna (Haryanto, 1991 dalam Marlina, 2004).
Unsur makro yang dimaksud adalah : C, H, O, N, S, P,
K, Ca, Mg dan
unsur-unsur
mikro adalah : Zn, Mn, Cn, Bo, Mo, Si, Al, Cl, Co dan Fe. Unsurunsur tersebut
diberikan bukan dalam bentuk unsur murni tetapi dalam bentuk garam. Sebelum
digunakan garam-garam tersebut harus dicampur dengan air suling (akuades)
(Widarto, 1996, hlm. 127).
2.2.4 Kultur Jaringan Pisang
Kultur
jaringan adalah suatu usaha untuk menumbuhkan sel, jaringan, dan organ tanaman
pada medium buatan secara aseptik dalam lingkungan yang terkendali. Pengadaan
bibit dengan cara ini, sangat sesuai untuk usaha pisang dalam skala besar (industri).
Pada umumnya media yang digunakan dalam kultur jaringan pisang ini adalah MS
(Roedyarto, 1999 dan Gunawan, 1995).
Pisang umumnya diperbanyak dengan
anakan. Anakan yang berdaun pedang
lebih disenangi petani, sebab
pohon pisang yang berasal dari anakan demikian akan menghasilkan tandan yang
lebih besar pada panen pertamanya (tanaman induk). Bonggol atau potongan
bonggol juga digunakan sebagai bahan perbanyakan. Tetapi jantung pisang juga
merupakan eksplan yang menguntungkan karena mudah mendapatkannya dan resiko
kontaminasi lebih kecil karena bukan berasal dari tanah dan tertutup rapat oleh
kelopak bunga (Nisa dan Rodinah, 2005). Kini telah dikembangkan kultur jaringan
untuk perbanyakan secara cepat, melalui ujung pucuk yang bebas-penyakit. Cara
ini telah dilaksanakan dalam skala komersial, tetapi adanya mutasi yang tidak
dikehendaki menimbulkan kekhawatiran. Dalam perbanyakan bibit pisang secara
kultur jaringan, ada empat tahap yang harus dilalui yaitu, pertama, tahap
inisiasi. Pada tahap ini eksplan membentuk kalus dan bertunas banyak. Kedua,
tahap pelipatan tunas (multiplikasi) yaitu tunas yang sudah terbentuk
dipisahkan kemudian ditumbuhkan dalam medium agar tumbuh tunas baru
(perbanyakan sub kultur). Ketiga, tahap perakaran tunas (regenerasi planlet)
dan tahap terakhir yaitu tahap aklimatisasi lingkungan (Sunarjono, 2002 dalam
Wahyudi,2004, hlm. 7).
BAB III
BAHAN
DAN METODE
3.1 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi: anakan pisang Abaca, jantung pisang barangan, anakan pisang barangan, agar sebagai pemadat, sukrosa, NAA, Kinetin, IBA BAP, desinfektan
(Sunclin, Dithane, Alkohol 70% dan 95%, Betadine dan Aquadest steril), alkohol, 96%, HCl pekat, NaOH, aquades, deterjen, clorox,
dan air steril dan bahan
lain yang mendukung penelitian ini. Media dasar yang digunakan adalah media MS
(Murashige and Skoog) ditambah dengan beberapa rasio konsentrasi BAP, NAA dan
Kinetin.
Alat
yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan gelas (botol kultur, gelas
ukur, beaker glass, Erlenmeyer, dan petridish), timbangan analitik, pH meter,
autoclave, Laminar Air Flow (LAF), peralatan diseksi (pinset, gunting dan
scalpel), stirrer, lampu spiritus, rak kultur dengan lampu 40 watt dan alat
lain yang mendukung penelitian ini.
3.2 Metode Kerja
Jurnal 1
Penelitian terdiri dari 2 tahap yaitu tahap induksi tunas
dan tahap pengakaran tunas mikro. Tahap induksi tunas disusun secara acak
lengkap dengan 5 ulangan dan 4 perlakuan konsentrasi BAP yaitu 4 ppm, 5 ppm, 6
ppm, dan 7 ppm. Secara pararel
tahapan yang sama dilakukan dengan perlakuan Kinetin. Tahap pengakaran tunas
mikro disusun hanya dengan 1 faktor dan
3 ulangan. Dengan menggunakan 4 taraf konsentrasi NAA yaitu 0 ppm, 1 ppm, 1,25
ppm dan 1 ppm. Eksplan yang digunakan berupa tunas abaka dari kultur steril.
Eksplan dikulturkan pada media MS yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh
sesuai perlakuan.
Jurnal 2
Penelitian ini disusun menurut rancangan acak
lengkap (RAL) factorial menggunakan 2 faktor, factor pertama adalah zat
pengatur tumbuh (a) yang terdiri dari 6 taraf konsentrasi. Factor kedua adalah
kultivar pisang (b) yang terdiri dari 3 taraf.
Jurnal 3
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak
lengkap(RAL) non faktorial dengan 9 perlakuan komposisi zat pengatur tumbuh
dalam media.
Inokulasi eksplan
Sebelum penanaman, LAFC disterilkan dengan alkohol 96%
dan dilakukan pentinaran lampu UV selama 10 menit. Kemudian dipotong meristem pucuk dengan
scalpel ± 1 cm³, dan langsung ditanam pada media. Setelah ditanam, botol kultur
ditutup rapat, ditempatkan keruang kultur.
Pengamatan Variabel Kultur
Eksplan yang diamati adalah eksplan hidup, ekspla mati,
kontaminasi, pembentukan akar, pembentukan tunas dan akar, dan perkembangan
lainnya.
BAB IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1 Kultur Jaringan Pisang Abaca dengan Bantuan Zat Pengatur Tumbuh BAP, Kinetin dan NAA Pada
Media Propagasi
Seluruh
konsentrasi BAP dan Kinetin yang diperlakukan terhadap eksplan mampu memicu
induksi tunas adventif dari eksplan yang dikulturkan. Eksplan berupa tunas
steril Abaca menunjukkan respon perubahan setelah diinkubasi pada media kultur
in vitro. Pada permulaannya, pangkal eksplan tampak membesar dan waarna hijau
menjadi lebih kuat. Tunas tercepat muncul pada 8,2 hari setelah kultur.
Berdasarkan data penelitian, konsentrasi BAP 6 ppm cenderung member pengaruh
lebih baik pada tahap induksi tunas. Sedangkan kinetin 7 ppm memberikan hasil
jumlah tunas terbanyak.
Pada
tahap pengakaran tunas abaka, eksplan yang dipergunakan adalah tunas mikro
dengan jumlah daun 3 dan tinggi 3
cm yang berasal dari tahap induksi tunas. Semua perlakuan yang diberikan mampu
memicu pertumbuhan akar dan seluruh eksplan yang dikulturkan pada tahap ini
mampu membentuk akar. Akar pertama tumbuh pada hari ke-3 setelah kultur.
Rata-rata akar terbentuk pada hari ke-11 setelah kultur. Eksplan yang dikultur
pada media tanpa penambahan NAA paling mudah membentuk akar. Pada kondisi ini
akar yang dihasilkan paling panjang tetapi jumlah akar lebih sedikit. Perlakuan
NAA 1 ppm menghasilkan jumlah akar lebih banyak tetapi panjang akar lebih
pendek dibandingkan dengan perlakuan 0 ppm. Berdasarkan hasil penelitian, perlakuan
yang cenderung member hasil lebih baik pada tahap pengakaran tunas abaka adalah
pengkulturan pada media tanpa penambahan NAA.
Tunas
mikro yang dikulturkan pada media yang diperkaya dengan NAA juga membentuk akar
liar. Semakin tinggi konsentrasi NAA, jumlah akar liar yang terbentuk semakin
banyak karena auksin memacu perkembangan akar liar (Salisbury dan Ross, 1995).
Dari hasil pengamatan tersebut tampak bahwa penambahan
auksin ke dalam media perakaran, eksplan tunas abaka mampu menginduksi akar lebih
cepat dan menghasilkan akar paling panjang walaupun jumlah yang dihasilkan
lebih sedikit di banding seluruh perlakuan yang lain. Hal ini diduga karena
eksplan telah mengandung auksin endogen yang mampu memacu induksi akar.
Salisbury dan Ross (1995) menyatakan, sel umumnya mengandung auksin cukup atau
hamper cukup untuk memanjang secara normal.
Peningkatan
konsentrasi NAA di atas 1 ppm secara nyata menghambat pertumbuhan akar. Akar
terbentuk lebih lama dengan jumlah cenderung berkurang dan lebih pendek. Hal
ini disebabkan konsentrasi auksin yang tinggi menghambat pertumbuhan akar
(Priyono,2001). NAA 1 ppm menghasilkan akar dalam jumlah lebih banyak tetapi
panjang akar lebih pendek dibandingkan pada perlakuan tanpa pemberian NAA.
Menurut Delvin (1975) dalam Abidin (1985) pemberian konsentrasi auksin yang
relative tinggi menyebabkan terhambatnya perpanjangan akar tetapi meningkatkan
jumlah akar.
Berdasarkan data-data yang ada, diduga konsentrasi
optimum NAA untuk pertumbuhan akar abaka terdapat antara rentang 0-1 ppm.
Auksin dalam konsentrassi yang tepat sangat berperan aktif dalam proses
diferensiasi sel, namun pada taraf yang melebihi konsentrasi optimum dapat
bersifat racun (Wareing dan Phillips, 1970 dalam Priyono, 1993).
4.2 Kultur Jaringan
beberapa Kultivar Buah Pisang (Musa paradisiaca l.) dengan
Pemberian
Campuran
NAA
dan Kinetin
Persentase hidup
Dari hasil percobaan yang dilakukan
dapat dilihat bahwa, persentase hidup eksplan sangat bervariasi dan perlakuan
NAA dan kinetin, kultivar pisang, dan interaksi keduanya tidak berpengaruh
nyata. Beberapa eksplan
yang mati rata-rata disebabkan oleh pencoklatan dan infeksi mikroba.
Pencoklatan salah satunya disebabkan oleh sintesi metabolit sekunder.
Fitriani
(2003) mendapatkan bahwa warna coklat kalus menandakan sintesis senyawa
fenolik. Sintesi senyawa fenolik dipacu oleh cekaman atau gangguan pada sel
tanaman (Vickery dan Vickery, 1980). Pencoklatan juga disebabkan oleh adanya gen B. Menurut
Purwanto(1991) keberadaan sejumlah genom B
mempengaruhi tingkat kandungan fenol dan aktivitas
polyphenoloksidase, semakin tinggi pula aktivitas enzim polyphenoloksidase. Hal
ini ditunjukan dengan tingginya produksi phenol pada pisang kepok yang memiliki
genom BBB dan pisang raja yang memiliki genom AAB, sedangkan pada pisang mauli
pencoklatan lebih kecil.
Kontaminasi
Kontaminasi pada bahan tanaman yang
dikulturkan dapat terjadi karena adanya infeksi secara eksternal maupun
internal. Usaha pencegahan
kontaminasi eksternal dilakukan dengan sterilisasi permukaan bahan tanaman.
Inferksi internal tidak dapat dihilangkan dengan sterilisasi permukaan
(Widiastoety,2001).
Eksplan yang
mengandung atau terinfeksi virus, bakteri atau jamur akan menyebebkan
kontaminasi pada tahap pertumbuhan. Selain itu, factor sterilitas ruangan juga
sangat menentukan terhadap kontaminasi. Pengambilan meristem sebagai eksplan
harus dilakukan dalam ruang steril agar tidak terkontaminasi (Sunarjono, 2002).
Kontaminasi disebabkan oleh jamur, bakteri
dan cendawan. Kontaminasi oleh jamur terlihat jelas pada media yang berwarna
putih, sedangkan kontaminasi oleh bakteri, pada eksplan terlihat lender
berwarna kuning sebagian lagi melekat pada media membentuk gumpalan yang basah.
Jamur yang mengkontaminasi media san eksplan adalah jamur-jamur seperti Aspergillus
sp, Monera sp dan Penicillium sp (Setiyoko, 1995). Bakteri berupa bekteri gram
positif dan yang semispesifik untuk pisang yaitu Pseudomonas solanacearum.
Saat pembentukan kalus
Percobaan
menunjukan bahwa campuran NAA dan kinetin, kultivar pisang dan intraksi
keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap saat pembentukan kalus. Hal ini
terjadi kemungkinan karena pembentukan kalus pada bakal buah pisang hanya
dipengaruhi oleh kandungan auksin endogen saja.
Saat tumbuh tunas mikro dan jumlah tunas
Dalam penelitian ini tunas tidak terbentuk.
Saat tumbuh tunas dipengaruhi oleh tiga factor yaitu factor eksplan, media, dan
lingkungan (Mante dan Tepper,1983). Factor lain yang menyebabkan tidak
terbentuknya tunas pada percobaan ini adalah kombinasi NAA dan kinetin yang
kurang tepat, dengan konsentrasi NAA terlalu rendak disbanding kinetin.
Saat pembentukan akar dan jumlah akar per tunas mikro
Pada percobaan ini tunas juga tidak terbentuk. Radian
(1992) menemukan bahwa sampai 2 minggu setelah subkultur akar pisang kepok dan
pisang candi tidak tumbuh. Menurut Pierik (1987) saat tumbuhnya akar juga
dipengaruhi pertumbuhan tunas: tunas tumbuh dengan baik memacu pertumbuhan
akar, apabila pertumbuhan tunas terhambat maka pertumbuhan akar pun terhambat.
Terhambatnya pertumbuhan akar juga
disebabkan oleh tingginya konsentrasi kinetin dalam media.
4.3 ‘Kultur Meristem” Pisang Barangan (Musa paradisiaca
L.) Pada Media MS dengan Beberapa
Komposisi Zat Pengatur Tumbuh NAA, IBA, BAP, dan Kinetin
Ekssplan
hidup, mati dan kontaminasi
Eksplan yang hidup berkembang membentuk akar, membentuk
tunas, pembesaran bonggol, dan sebagian kecil statis. Komposisi zat pengatur
tumbuh yang dicobakan dalam media MS IBA, NAA, atau kinetin masih pada batas
konsentrasi yang sesuai untuk kehidupan eksplan dan tidak mematikan eksplan.
Eksplan yang mati diduga disebabkan oleh teknik memotong
kurang baik, eksplan memar, sterilisasi terlalu keras, kontaminasi dan
lingkungan kurang sesuai. Kontaminasi dijumpai pada media M4 dan M5
masing-masing 40% dan pada M3, M6, M8 sebesar 20%. Jenis kontaminan jamurdan
bakteri tersebar dipermukaan media. Kontaminan jamur sudah tampak 1 minggu
setelah tanam, diperkirakan kontaminan berasal dari lingkungan. Karena jamur
tumbuh dipermukaan media kemudian membentuk hifa dan menutupi permukaan media
dan eksplan, sehingga mengakibatkan eksplan tertekan dan mati.
Pembentukan
akar dan tunas
Eksplan yang hidup berkembang membentuk akar dan tunas,
dan perkembangan lainnya. Pembentukan akar terlihat pada minggu ke 2 hingga minggu
ke 11, dari 4% hingga 49%. Eksplan dapat menghaslkan akar pada semua media yang
dicobakan. Ada kecenderungan perlakuan tanpa ZPT memungkinkan persentasi
tanaman berakar lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Kandungan hormon internal
mungkin sudah baik untuk menumbuhkan akar eksplan. Penambahan ZPT justru
mengurangi pembentukan akar, terutama penambahan auksin sintetik NAA. Eksplan
yang telah membentuk pucuk juga akan disusul dengan pembentukan akar, hal ini
karena auksin internal akan diproduksi pada tunas tanaman.
Eksplan bertunas pada semua media yang dicobakan.
Pembentukan tunas dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh sitokinin. Penambahan
ZPT eksogen diperkirakan malah mengganggunkeseimbangan hormon dalam
eksplan,namun masih dalam kisaran yang dapat ditoleransi eksplan.
Dengan hormon endogen eksplan mampu membentuk tunas dan
akar. ZPT eksogen yang diharapkan dapat meningkatkan pembentukan akar dan tunas
pada pisang barangan, sebaliknya terlihat memperlambat, namun masih dapat
ditoleransi eksplan.
Bila pemotongan akar atau batang secara in vitro dengan
pemberian sitokinin eksogen, pemanjangannya sering terhambat tetapi potongan
–potongan tersebut menjadi lebih gemuk, karena terjadinya pembesaran sel-selnya
secara radial. Eksplan dapat dikatakan mengalami pembesaran sel, sehingga
bonggol tampak bertambah besar.
Pembebtukan kalus,
browning dan pertumbuhan stagnasi tidak terlihat secara jelas dalam
jurnal penelitian ini, hal ini disebabkan eksplan berasal dari tanaman yang
sudah beradaptasi dirumah kaca, tanaman telah beretiolasi dan tidak membentuk
fenolat yang nyata.
BAB V
KESIMPULAN
1. Perlakuan
terbaik sebagai bagian metode regenerasi dari penelitian ini adalah induksi
tunas. menggunakan BAP 6 ppm atau kinetin 7 ppm dan pengakaran tunas mikro
abaka dengan penambahan 1 ppm NAA.
2. Penambahan campuran zat
pengatur tumbuh NAA dan kinetin tidak berpengaruh nyata dan tidak terjadi interaksi
antara campuran NAA dan kinetin dengan kultivar pisang terhadap semua peubah
pengamatan.
3. Komposisi ZPT IBA atau NAA dan BAP atau kinetin masih
sesuai untuk media eksplan dan media tanpa penambahan auksin maupun sitokinin membentuk akar dan
tunas dengan baik yaitu sebesar 100%.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin,Z. 1985. Dasar-dasar
Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh, Angkasa, Bandung.
Avivi,S dan
Ikrarwati, 2004, Mikropagasi Pisang Abaca (Musa
textilis Nee) Melalui Teknik Kultur Jaringan, Jurnal Ilmu Tanah
Vol.11 No.2
Gunawan, L.W.1990. teknik kultur
jaringan tumbuhan. PAU Bioteknologi. IPB. Bogor. P. 304.
Nisa,C dan Rodinah,
2005, Kultur Jaringan Beberapa Kultivar Buah Pisang (Musa paradisiaca L.) dengan Pemberian Campuran NAA dan Kinetin, Jurnal
Bioscientiae, Vol 2, No.2.
Priyono. 2000.
Perbanyakan Abaka (Musa textillis
Nee) melalui Kiltur Mata Tunas Secara In vitro. Pelita Perkebunan 9(2):
129-133.
Purwanto, D.1991. pengaruh ukuran
bahan tanam terhadap keberhasilan perbanyakan beberapa varietas pisang (Musa paradisiacal L.) dengan metode
kultur jaringan. Skripsi fakultas pertanian UNIBRAW. Malang.
Salisbury, F.B.
dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 3. Edisi Bahasa Indonesia.
Penerbit ITB, Bandung.
Sitohang,N,
2004, “Kultur Meristem” Pisang Barangan(Musa
paradisiaca L.) pada Media MS dengan Beberapa Komposisi Zat Pengatur Tumbuh
naa, iba, Dan Kinetin, Unika Santo Thomas Medan.
Wibowo, A. 1998. Abaca (Musa
textillis Nee) Penghasil Serat. Duta Rimba XXIV (222): 31-37.
0 komentar:
Posting Komentar