BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Banyak sekali pernyataan yang menyatakan mengenai
pengertian dari embryogenesis somatik, diantaranya sebagai berikut :
Menurut Williams dan
Maheswara, 1986), embriogenesis somatik merupakan suatu proses dimana sel-sel
somatik baik haploid maupun diploid berkembang membentuk tumbuhan baru melalui
tahapan perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet. Embriogenesis
somatik atau embryogenesis asexual adalah proses dimana sel-sel soma berkembang
men jadi embrio melalui tahap-tahap morfologi yang khas tanpa melalui fusi
gamet (Tautorus et al., 1991 dalam Toonen dan de Vries, 1996).
Dari pernyataan di atas dapat di lihat, bahwa kajian
tersebut sangat menarik untuk dilakukan, pada berbagai tanamana misal tanaman
cendana, kopi, dan anggrek yang akan dibahas dalam makalah ini. Kita ketahui
bahwa tanaman tersebut memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Dalam proses
pelestarian dan regenerasinya tidak hanya untuk perbanyakan, tetapi juga untuk
menghasilkan karakter tanaman yang lebih baik untuk dilestarikan.
Dengan teknik kultur jaringan ini khususnya embryogenesis
somatik, memudahkan kita dalam upaya pelestarian dan juga regenerasi dari
tanaman tersebut. Teknik ini juga mendukung pemrograman pemuliaan tanaman. Saat
ini embryogenesis somatik mendapat perhatian besar dibidang bioteknologi
tanaman khususnya regenarasi dan pelestarian tanaman. Penggunaan struktur
embrio somatik lebih banyak disukai karena mengingat hasil yang didapatkan
lebih tinggi dan juga mengurangi chimera.
Untuk itu maka dalam makalah ini akan dibahas hal-hal
yang terkait mengenai struktur embryogenesis somatik, guna untuk mengkaji dan
memahaminya proses dan juga struktur perbanyakan tanaman melalui embryogenesis
somatik langsung.
1.2. Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Mempelajari
system regenerasi dan perbanyakan secara
in vitro tanaman Cendana, anggrek,
dan kacang tanah melalui pembentukan embryogenesis somatik secara langsung.
2. Melihat
pengaruh ZPT (zat pengatur tumbuh) terhadap embriogenesis tanaman Cendana, Anggrek
dan tanaman kacang panjang secara in
vitro.
3. Mengetahui
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terbentuknya planlet.
1.3. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana system regenerasi dan perbanyakan kultur jaringan secara in
vitro.
2. Apa pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap
embryogenesis somatik pada kultur in
vitro
3. Apa saja faktor yang mempengaruhi
terbentuknya planlet
1.4. Manfaat
Diharapkan
dengan pembuatan tulisan ini dapat memberikan kemudahan bagi pembaca untuk
lebih mengetahui kultur jaringan secara khusus (embryogenesis somatik)
BAB II
ISI
2.1. Embriogenesis Somatik Langsung
Perbanyakan
tanaman melalui kultur jaringan dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu
pembentukan tunas adventif, proliferasi tunas lateral, dan embryogenesis
somatik. Penelitian perbanyakan tanaman cendana melalui proliferasi tunas telah
dilakukan oleh Kamil dan Umboh (1990 dalam Sukmadjaja, 2005). Di masa
mendatang, perbanyakan klonal melalui embriogenesis somatik untuk produksi benih
sintetis tanaman kehutanan akan lebih banyak mendapat perhatian dibandingkan
cara lainnya (Attree et al. 1990 dalam Sukmadjaja, 2005). Menurut
(Williams dan Maheswara, 1986 dalam Sukmadjaja, 2005) Embriogenesis somatik
merupakan suatu proses di mana sel-sel somatik (baik haploid maupun diploid)
berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahapan perkembangan embrio yang
spesifik tanpa melalui fusi gamet. Dan menurut (Tautorus
et al., 1991 dalam Sukmadjaja, 2005) embriogenesis
somatik atau embriogenesis aseksual adalah proses dimana sel-sel soma
berkembang menjadi embrio melalui
tahap-tahap morfologi yang khas tanpa melalui fusi gamet.
Embrio somatik yang berasal dari
kultur sel, jaringan, atau organ dapat terbentuk secara langsung dan tidak
langsung. Embrio somatik yang terbentuk secara langsung meliputi pembentukan
embrio dari sel tunggal atau kelompok sel yang menyusun jaringan eksplan tanpa
melalui pembentukan kalus, sedangkan embrio yang terbentuk secara tidak
langsung adalah pembentukan embrio melalui fase kalus (Dixon, 1985 dalam Sutami
et al., 2007). Regenerasi melalui embriogenesis
somatik memberikan banyak keuntungan, antara lain:
(1) waktu perbanyakan lebih cepat;
(2) pencapaian hasil dalam mendukung program perbaikan tanaman
lebih cepat;
(3) jumlah bibit yang dihasilkan tidak terbatas jumlahnya
(Mariska, 1996 dalam Sukmadjaja, 2005).
Di samping itu,
dengan strukturnya yang bipolar dan kondisi fisiologis yang menyerupai embrio
zigotik maka perbanyakan melalui pembentukan embrio somatik lebih menguntungkan
daripada pembentukan tunas adventif yang unipolar.
Embriogenesis
somatik pada tanaman kehutanan mempunyai beberapa tahapan perkembangan yang
spesifik, seperti induksi kalus embriogenik atau embrio somatik (pembentukan
langsung), pemeliharaan, pendewasaan, perkecambahan, dan aklimatisasi (Lelu et
al., 1993 dalam Sukmadjaja, 2005). Pembentukan embrio somatik secara
langsung lebih disukai karena dapat menekan masalah sulitnya pembentukan benih
somatik pada tahap perkecambahan (Rai dan McComb, 2002 dalam Sukmadjaja, 2005).
Keberhasilan embriogenesis melalui kultur in
vitro dipengaruhi beberapa faktor. Faktor-faktor dimaksud adalah:
(1)
genotip tanaman donor,
(2)
kondisi fisiologis tanaman donor,
(3)
jenis medium dan kondisi fisik medium,
(4)
lingkungan kultur, dan
(5)
Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) (Borries et al., 1999; Zhang et al.,
2000 dalam Utami et al., 2007).
Zat pengatur tumbuh merupakan salah satu
faktor yang menentukan keberhasilan embriogenesis somatik, seperti auksin dan
sitokinin berperan dalam berbagai proses perkembangan tumbuhan, seperti
pembelahan dan pemanjangan sel, diferensiasi sel dan inisiasi pembentukan akar
lateral, pembesaran sel, dominansi apikal, perkembangan pembuluh (jaringan
pengangkut), perkembangan aksis embrio (Friml et al., 2003 dalam Utami,
2007), tropisme, serta perkembangan embrio (Mc Glasson, 1978 dalam Ludford,
1990).
Auksin memiliki fungsi atau peran
dalam embryogenesis seperti yang disebutkan dalam beberapa leterautr berikut
ini, antara lain untuk inisiasi embriogenesis somatik, induksi kalus
embriogenik, prolifersai kalus embriogenik, induksi embrio somatik (Shinoyama et
al., 2004). Penggunaan formulasi media yang
berbeda pada setiap tahap perkembangan embrio somatik serta jenis eksplan yang digunakan
juga dapat mempengaruhi keberhasilan regenerasi melalui embryogenesis somatik,
seperti yang dituliskan sebagai berikut,
pada tahap pembentukan struktur globular dan hati sering digunakan zat pengatur
tumbuh sitokinin seperti benzyladenin (BA) atau yang mempunyai peran fisiologis
yang sama yaitu thidiazuron (Husni et al. 1997) atau 2,4-D, dan NAA
apabila embrio somatik melalui fase kalus (Hutami et al. 2002). Untuk
tahap pendewasaan, konsentrasi sitokinin diturunkan dan untuk tahap
perkecambahan sering ditambahkan GA3. Sebagai
eksplan umumnya digunakan jaringan atau organ yang bersifat embriogenik seperti
embrio zigotik, kotiledon, mata tunas, dan hipo/epikotil.
2.2 Sistem Regenerasi dan Perbanyakan Tanaman
Cendana
Di India,
penelitian perbanyakan klonal pada tanaman cendana dikembangkan dengan
menggunakan bioreaktor dengan cara memanipulasi berbagai factor yang mempengaruhi
proses produksi embrio somatik pada setiap tahapannya, seperti komposisi
sukrosa, nitrogen, asam absisic atau ion kalsium dalam media (Anil dan Rao
2000). Dengan demikian, perbanyakan tanaman melalui embryogenesis somatik
memerlukan beberapa tahapan dengan formulasi media yang berbeda, bergantung
pada tahap perkembangan embrio somatik. Penelitian ini bertujuan mempelajari
sistem regenerasi dan perbanyakan secara in vitro tanaman cendana
melalui pembentukan embrio somatik secara langsung.
Bahan atau
ekspalan yang digunakan dalam penelitian perbenyakan tanaman Cendana secara in
vitro adalah embrio dari buah cendana muda dan dewasa. Media yang digunakan
sesuai dengan tahapan percobaan yaitu :
• Tahap induksi embrio
somatik: MS + BA 0,5 mg/l; MS + BA 1 mg/l; MS + BA 2 mg/l; MS + thidiazuron 0,5
mg/l; MS + thidiazuron 1 mg/l dan MS + thidiazuron 2 mg/l.
• Tahap pembentukan embrio
somatik sekunder: MS + IAA 0,5 mg/l dan MS + IAA 1 mg/l.
• Tahap
perkecambahan/pembentukan plantlet: MS1/2 tanpa GA3; MS1/2 + GA3 0,5 mg/l;
MS1/2 + GA3 1 mg/l; MS tanpa GA3; MS + GA3 0,5 mg/l dan MS + GA3 1 mg/l.
• Tahap perakaran: MS + IBA 5
mg/l dan MS + IBA 10 mg/l.
Medium dasar yang digunakan adalah medium MS (Murashige
dan Skoog 1962), medium yang paling popular digunakan untuk hampir semua macam
tanaman, terutama tanaman herbaceous. Medium ini paling banyak digunakan untuk
kultur kalus dan tunas, mempunyai konsentrasi garam-garam mineral yang tinggi,
dan senyawa N dalam bentuk ammonium dan nitrat.
Dalam
media induksi, eksplan embrio somatik akan membentuk sel-sel embriogenik yang
kemudian berkembang membentuk fase globular (fase embrio somatik primer).
Eksplan kemudian dipindahkan ke dalam media pendewasaan untuk mengoptimalkan
pembentukan embrio somatik sekunder. Embrio somatik yang telah membentuk
kotiledon dipindahkan ke dalam media perkecambahan untuk pembentukan plantlet.
Kondisi penyimpanan biakan pada semua tahap perlakuan adalah sama.
Setelah
plantlet cukup kuat untuk dipindahkan, dilakukan aklimatisasi di kamar kaca.
Media tanam yang digunakan berupa campuran tanah dan pupuk kandang atau kasting
(1:1) dalam pot plastik. Di samping itu, pada pot tersebut disediakan bibit
tanaman cabai yang diharapkan berfungsi sebagai tanaman inang.
Pengamatan
dilakukan terhadap persentase eksplan membentuk embrio primer, persentase
embrio primer membentuk embrio somatik sekunder, jumlah embrio somatik yang
berkecambah, dan persentase plantlet/ tanaman yang tumbuh. Data dianalisis
menggunakan uji Duncan pada p < 0,05.
Dari hasil
penenlitian menunjukan hasil yang berbeda antara 2 eksplan yang digunakan.
Eksplan yang digunakan adalah buah yang masak dan buah masak yang muda. Embrio
hasil isolasi dari kedua eksplan tersebut diioslasi dan selanjutnya ditanam
pada media perlakuan untuk induksi embrio. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
setelah berumur 8 minggu, eksplan buah yang masak (mature) tidak menunjukkan
adanya pertumbuhan pada semua media perlakuan yang dicobakan. Hal ini diduga
karena bahan tanaman (biji) sudah tidak mempunyai viabilitas lagi akibat
disimpan terlalu lama. Eksplan dari buah yang masak dan muda memberikan respons
yang berbeda dalam membentuk embrio somatik pada beberapa perlakuan media yang
diberikan.
Secara umum,
media dasar MS yang diperkaya dengan BAP menunjukkan respons yang lebih baik
dalam membentuk embrio somatik dibandingkan dengan MS + thidiazuron, baik untuk
eksplan embrio muda maupun embrio dewasa. Persentase pembentukan embrio somatik
dari eksplan embrio zigotik muda pada media MS + BAP 2 mg/l menunjukkan nilai
tertinggi (71,4%), sedangkan untuk eksplan embrio zigotik dewasa, nilai
tertinggi (63,6%) diperoleh pada media MS + BAP 1 mg/l.
Keberhasilan
pembentukan embrio somatik sekunder dari embrio zigotik dewasa dengan perlakuan
MS + IAA 0; 0,5; dan 1 mg/l tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Perlakuan
dengan media MS + IAA 0; 0,5 dengan
persentase embrio somatik adalah 33,3a untuk yang mature atau dewasa sedangkan
yang muda masak (inmature) 46,1a.
2.3 Sistem Regenerasi dan Perbanyakan Tanaman
Anggrek
Eksplan yang dipakai adalah bagian
pangkal helaian daun urutan ke 2 dari pucuk. Bahan kimia penyusun media New
Phalaenopsis (NP) menurut Islam et al.(1998), dan zat pengatur tumbuh α-Naphthalenacetic Acid (NAA). Denagn masing-masing perlakuan
yang digunakan sebagai berikut :
Kelompok
I : eksplan ditanam dalam media NP tidak diberi NAA (kelompok kontrol)
Kelompok
II : eksplan ditanam dalam media NP + 0,1 mg/L NAA
Kelompok
III : eksplan ditanam dalam media NP + 1,0 mg/L NAA
Kelompok
IV : eksplan ditanam dalam media NP + 2,0 mg/L NAA
Kelompok
V : eksplan ditanam dalam media NP + 3,0 mg/L NAA
Kelompok
VI : eksplan ditanam dalam media NP + 4,0 mg/L
Hasil pengamatan terhadap persentase
eksplan membentuk kalus menunjukkan bahwa kalus terinduksi pada semua eksplan
(100 %) baik pada perlakuan II, III, IV, V, VI maupun pada perlakuan I
(kontrol) walaupun waktu yang diperlukan untuk induksi kalus berbeda-beda. Perbedaan
tersebut tampak pada perlakuan I (kontrol) yang membentuk kalus paling lama
yaitu ratarata 13,8 hari, sedangkan pada perlakuan II, III, IV, V, dan VI
terbentuknya kalus lebih cepat walaupun tidak serentak. Pembentukan kalus
tercepat (5,1 hari) terjadi pada perlakuan IV. Ini menunjukkan bahwa hormon
endogen berperan dalam induksi kalus.
Terbentuknya kalus terjadi pada
bagian luka bekas irisan (Gambar 1.A.), kemudian berlanjut dengan pertumbuhan
kalus sebagai akibat dari proliferasi sel-sel penyusun kalus, sehingga menutup sebagian
permukaan bekas irisan (Gambar 1.B.). Hal
ini sesuai dengan pendapat Dodds & Robert (1982) yang menyatakan bahwa
terjadinya kalus di tempat irisan bertujuan untuk menutup luka. Pembentukan
kalus embriogenik hanya terjadi pada perlakuan IV, V, dan VI, sedang pada
kelompok perlakuan I (kontrol), perlakuan II, dan pada perlakuan III tidak
terbentuk kalus embriogenik. Persentase eksplan membentuk kalus embriogenik
paling tinggi (86,6%) terjadi pada perlakuan IV, sedangkan pada perlakuan V dan
VI hanya 24 eksplan (80%) dan 23 eksplan (76,6%) dari 30 eksplan yang mampu
berkembang membentuk kalus embriogenik. Hal ini diduga karena kemampuan setiap
jaringan berbeda-beda untuk mengalami embriogenesis.
Gambar 1. A. Terbentuknya kalus Gambar 1.
B. Pertumbuhan Kalus
Pada
penelitian ini perlakuan NAA 2 mg/L (kelompok IV) merupakan konsentrasi yang
paling cocok untuk induksi kalus embriogenik. Induksi kalus embriogenik pada perlakuan
ini paling cepat dibanding dengan perlakuan yang lain, yaitu rata-rata 22,2
hari. Diduga pemberian NAA 2 mg/L menyebabkan perubahan konsentrasi auksin
endogen, sehingga tercapai keseimbangan relatif untuk induksi kalus
embriogenik. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa persentase pembentukan kalus
embriogenik pada perlakuan NAA 2 mg/L paling tinggi.
penting dalam reaktivasi siklus sel
dan inisisiasi pembentukan embrio somatik. Auksin mampu mengaktivasi sinyal
transduksi sehingga sel dapat melakukan pemrograman kembali ekspresi gen yang
diperlukan untuk menginduksi kalus embriogenik. Sel-sel kalus dapat berkembang membentuk
embrio somatik, tetapi tidak semua sel-sel kalus tersebut mampu berkembang menjadi
embrio somatik. Hal ini disebabkan
karena adanya kompetisi diantara sel-sel embriogenik untuk mengadakan perkembangan
lebih lanjut.
Berdasarkan pengamatan, kalus
embriogenik dan embrio somatik terbentuk beberapa hari setelah eksplan
dikultur. Hal ini menunjukkan bahwa ZPT
membutuhkan waktu tertentu untuk menginduksi respon fisiologis tertentu. Respon tersebut adalah pembentukan kalus
embriogenik dan embrio somatik. Meskipun respon pemberian auksin di tingkat
seluler dimulai sejak 2 hari setelah eksplan dikultur dan selama 5 hari periode
induksi ( Vasseur,1993 dalam Raghavan, 1997 ), namun secara visual
respon tersebut pada penelitian ini baru dapat diamati pada minggu ke-4 dan
sampai ke-6 setelah kultur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
NAA 2 mg/L adalah konsentrasi yang optimum untuk induksi kalus embriogenik dan
inisiasi embrio somatik dari eksplan pangkal daun anggrek bulan Ph amabilis (L)
BL. Konsentrasi optimum NAA untuk induksi kalus embriogenik dan embrio somatik
pada anggrek hibrid Phalaenopsis (PM 292) adalah 0,1 mg/L, dan
konsentrasi NAA optimum untuk induksi dan multiplikasi Protocorm-like Bodies
(PLB) dari eksplan tunas pucuk tangkai bunga anggrek Phalaenopsis dan
Doritaenopsis adalah 0,1 mg/L NAA dan 1 mg/L BAP. Penelitian ini membuktikan bahwa kebutuhan NAA yang harus
ditambahkan untuk induksi kalus embriogenik dan embriogenesis somatik
bervariasi untuk setiap jenis yang mempunyai sifat genetik yang berbeda.
2.4 Sistem Regenerasi dan Perbanyakan Tanaman Kopi (Coffea arabica)
Usaha perbanyakan kopi arabika melalui
kultur jaringan telah lama dilakukan namun sampai saat ini masih menghadapi berbagai
kendala. Carneiro & Ribeiro (1990) dan Priyono & Hartana (1991)
berhasil meregenerasikan planlet melalui pembentukan tunas adventif.
Pembentukan embrio somatik dari berbagai jenis eksplan juga telah dilaporkan
(Priyono, 1991; Neuenschwander & Baumann, 1992; Priyono & Danimihardja,
1991; Priyono, 1993; Bieysee et al., 1993; Sreenath et al., 1995),
namun tingkat keberhasilannya relative rendah dan masih mengalami kesulitan dalam
meregenerasikan menjadi planlet.
Sebagai sumber eksplan, keberhasilan
embriogenesis somatik juga ditentukan oleh beberapa faktor, di antaranya
genotip (Bieysse et al., 1993) dan komposisi zat pengatur tumbuh dalam
medium (Gunawan, 1988). Zat pengatur tumbuh berperan penting dalam menentukan
arah pertumbuhan suatu kultur. Menurut Wattimena (1988) zat pengatur tumbuh 2,4-D
merupakan auksin yang paling umum digunakan untuk menginduksi embryogenesis somatik.
Selain auksin, zat pengatur tumbuh sitokinin juga berpengaruh terhadap diferensiasi
sel dalam proses embryogenesis somatik. Beberapa jenis sitokinin yang biasa digunakan
dalam menginduksi embrio genesis somatik pada tanaman kopi adalah BAP, kinetin,
zeatin dan 2-ip (Sondahl et al., 1994). Setiap genotip atau jaringan mempunyai
respons yang berbeda dalam penyerapan zat pengatur tumbuh dalam medium dan
memiliki kandungan zat pengatur tumbuh endogen yang berbeda. Oleh karena itu
dalam embryogenesis somatik kadang-kadang hanya dibutuhkan auksin, sitokinin
secara sendiri-sendiri atau campuran auksin dan sitokinin.
Dalam penelitian ini bahan yang akan
dijadikan eksplan yang digunakan untuk induksi ES adalah kecambah kopi arabika
klon BP 426A yang berasal dari embrio zigotik. Embrio zigotik dalam keadaan
steril diisolasi dari benih kopi BP 426A. Medium dasar yang digunakan untuk induksi ES
primer adalah ½ konsentrasi garam makro dan mikro MS yang dilengkapi dengan
vitamin B5, 20 g/L sukrosa, 2 g/L gelrite dan 250 mg/L polivinil pirolidon (PVP).
Ada beberapa tahap yang akan dilakukan
dalam pengkulturan yaitu, induksi ES primer dari barbagai eksplan, induksi ES
sekunder dari ES primer, perkecambahan ES dari regenerasi planlet dan
aklimatisasi.
2.4.1.
Induksi ES primer dari berbagai eksplan
Hasil yang didapatkan dari induksi
ES primer dengan penambahan 2,4-D dan 2-ip secara berkombinasi kedalam
medium perlakuan mampu menginduksi
pembentukan ES pada keempat jenis eksplan yang digunakan (daun, epikotil,
hipokotol, dan akar). Inisiasi embrioid mulai terlihat 9 minggu setelah kultur,
yang terbentuk secara langsung pada eksplan tanpa melalui fase pembentukan
kalus. adanya interaksi antara konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4-D dan 2-ip
dengan jenis eksplan terhadap persentase pembentukan ES primer dan rata-rata ES
per eksplan. Dari empat jenis eksplan yang digunakan, tampak bahwa eksplan daun
menghasilkan ES lebih banyak dibandingkan dengan eksplan lainnya dengan
persentase tertinggi 77,2 % dan rata-rata ES per eksplan 30 buah pada medium
dengan penambahan 1 μM 2,4-D dan 15 μM 2-ip.
Keempat jenis eksplan yang digunakan
memberikan respons yang berbeda terhadap pola pembentukan ES. Pada eksplan epikotil,
hipokotil, dan akar, ES terbentuk pada permukaan atas eksplan. Sebaliknya pada
eksplan daun, ES tumbuh pada sisi eksplan bekas pemotongan yang bersinggungan langsung
dengan medium. Hal ini diduga bahwa pada eksplan daun sitokinin dan auksin
tidak diserap melalui epidermis daun, tetapi hanya diserap oleh jaringan yang
bersentuhan langsung dengan medium, dan tidak ditranslokasikan ke seluruh
jaringan daun. Hal yang sama juga terjadi pada kultur kopi robusta, dimana ES
hanya terbentuk pada sisi daun (Hatanaka et al., 1991). Namun pada
percobaan yang dilakukan oleh Priyono (1993), ES dapat terbentuk pada permukaan
maupun sisi daun. Gunawan (1992) menyatakan bahwa kemampuan morfogenesis
berhubungan dengan tempat sel-sel yang berkompeten. Dengan rangsangan zat pengatur
tumbuh yang tepat, sel-sel yang kompeten tersebut kemudian beregenerasi.
Peningkatan konsentrasi 2,4-D dari 1μM
menjadi 5 μM pada medium induksi mengakibatkan penurunan jumlah ES yang terbentuk.
Hal ini terjadi karena terbentuknya kalus non-embriogenik yang berlebihan pada
eksplan, sehingga menghambat pembentukan dan regenerasi ES. ES yang terbentuk
hanya mencapai fase globular, kemudian mengalami pengkalusan kembali.
Dibandingkan dengan penambahan 2,4-D 1 μM, kalus yang terbentuk pada medium
dengan penambahan 2,4-D 5 μM jauh lebih banyak, dan dari kalus tersebut kemudian
tumbuh akar adventif. Adanya perbedaan respons morfologis ini diduga karena
tingginya kandungan auksin endogen pada eksplan, sehingga apabila konsentrasi auksin
eksogen ditingkatkan, terjadi perbedaan arah perkembangan eksplan.
Dari hasil penelitian ini terlihat
bahwa induksi ES kopi arabika memerlukan sitokinin dengan konsentrasi yang
cukup tinggi (15 μM) dan auksin dengan konsentrasi rendah (1 μM). Dari hasil
yang diperoleh menunjukkan bahwa sitokinin berperan penting dalam embryogenesis
somatik tanaman kopi arabika.
Gambar 1.
Perkembangan pembentukan dan regenerasi embrio somatik (ES), (A) ES primer, (B)
ES sekunder, (B1)-kotiledon muda, (C) ES pada tahapan perkecambahan,
insert-kotiledon yang sudah berkembang.
2.4.2.
Induksi ES sekunder dari ES primer
Hasil yang
didapatkan pada induksi ES sekunder dari ES primer adalah dengan penambahan
BAP (13,3 - 22,2 μM) ke dalam medium induksi ES sekunder mampu menginduksi
pembentukan ES sekunder dengan frekuensi antara 48,0 - 52,6 % dari total
eksplan yang ditanam. Proses pembentukan ES sekunder terjadi secara langsung
tanpa melalui induksi kalus. Secara morfologi, ES sekunder yang terbentuk tidak
berbeda dengan ES primer. Namun tahapan perkembangannya sedikit berbeda, ES
sekunder umumnya berkecambah lebih cepat dibandingkan dengan ES primer (Gambar
1B). Banyaknya ES sekunder yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh tingkat
konsentrasi BAP yang ditambahkan.
Perbandingan rata-rata ES per
eksplan pada percobaan induksi ES primer, rata-rata ES sekunder pada percobaan
ini masih rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan belum optimalnya konsentrasi
BAP yang digunakan.
2.4.3.
Perkecambahan ES dan regenerasi planlet
Setelah dua minggu pada medium perkecambahan,
ES mengalami pemanjangan hipokotil, serta kotiledon mulai membuka dan menghijau (Gambar 3).
Semakin tinggi konsentrasi GA3, persentase embrio yang berkecambah semakin
menurun, namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan pada medium tanpa
penambahan GA3. Dengan demikian terlihat bahwa konsentrasi GA3 yang rendah
diperlukan dalam perkecambahan. Menurut Wattimena (1988) GA3 berfungsi dalam
pemanjangan batang dengan memacu sel-sel penyusun batang. GA3 dalam medium
dapat memacu terbentuknya tunas melalui perannya dalam pemecahan pati oleh
enzim amilase serta mengaktifkan auksin pada ujung batang.
Gambar.
3. ES pada tahapan perkecambahan, insert-kotiledon yang
sudah berkembang.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa penambahan
GA3 ke dalam medium perkecambahan mampu meningkatkan persentase ES yang
berkecambah dengan persentase tertinggi diperoleh pada medium dengan penambahan
GA3 5 μM. Persentase terbentuknya planlet normal mencapai 75%, sedangkan 25%
lainnya menunjukkan pertumbuhan tidak normal, yang ditandai dengan tidak berkembangnya
kotiledon dan terjadinya pengkalusan pada bagian hipokotil.
2.4.4.
Aklimatisasi
Tahap selanjutnya yaitu
aklimatisasi. Pertumbuhan planlet yang mampu bertahan hidup pada tahap
aklimatisasi dapat dilihat pada Gambar 2B. Hanya 60% dari planlet yang
diaklimatisasi mampu bertahan hidup. Hal ini kemungkinan disebabkan media aklimatisasi,
kondisi lingkungan atau factor fisik yang belum optimum.
Gambar
2. (A)Planlet kopi arabika, dan (B) tahapan aklimatisasi, insert-tanaman kopi
dirumah kaca.
Pemindahan planlet dari kondisi in vitro ke kondisi in vivo di
rumah kaca merupakan salah satu tahap kritis bagi keberhasilan perbanyakan
kultur jaringan. Permasalahan utama pada tahap tersebut berhubungan dengan
belum sempurnanya penyerapan air oleh planlet dan adanya kontaminasi (Leconte
& Carron,1988). Planlet hasil perbanyakan in vitro juga peka
terhadap perubahan lingkungan yang drastis karena stomatanya belum berfungsi
dengan baik, lapisan lilin daun sangat tipis dan rongga mesofilnya banyak
(Brainerd & Fuchigami, 1981). Oleh karena itu, pada awal aklimatisasi,
kelembaban udara yang tinggi perlu dipertahankan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pembentukan embrio somatik tanaman cendana secara langsung
dengan eksplan embrio zigotik dewasa mencapai 63,6% dengan menggunakan media MS
+ BAP 1 mg/l dan untuk eksplan embrio zigotik muda 71,4% pada media MS + BAP 2
mg/l. Pada media MS persentase embrio somatik sekunder yang dihasilkan relatif
sama antara embrio zigotik muda dan dewasa. Pada media perkecambahan, embrio
somatik yang paling banyak bermultiplikasi membentuk tunas terdapat pada media
MS1/2 + GA3 0,5 mg/l.
2. Dari hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemberian NAA terhadap
embriogenesis somatik anggrek bulan Ph amabilis (L) Bl. Konsentrasi NAA
yang optimal untuk induksi pembentukan kalus embriogenik dan inisiasi embrio
somatik adalah 2 mg/L
3. Induksi ES paling efektif terjadi pada eksplan
daun dibandingkan dengan epikotil, hipokotil dan akar kecambah in vitro.
Persentase dan rata-rata jumlah ES primer per eksplan tertinggi diperoleh pada
medium dengan penambahan 2,4-D 1 μM dan 2-ip 15 μM. Penambahan BAP yang
berkombinasi dengan IAA ke dalam medium dapat meningkatkan pembentukan ES
sekunder dengan persentase tertinggi diperoleh pada media dengan penambahan IAA
0,6 μM dan BAP 22,2 μM yaitu 52,6% dengan rata-rata jumlah ES sekunder per
eksplan 6,25. Penambahan GA3 5 μM mampu meningkatkan persentase perkecambahan
ES
3.2 Saran
Untuk
para pembaca disarankan mencari tambahan darisumber lain sebagai referensi
karena dalam penulisan makalah ini tidak luput dari kekurangan.
DAFTAR PUSTAKA
Brainerd,
K.E. & L.H. Fuchigami (1981). Acclimatization of aseptically cultured
apple to low relative humidity. J.
Am. Soc. Hortic. Sci., 106, 515-518.
Gunawan,
L. W. (1992). Teknik kultur jaringan. Bogor, Pusat Antar Universitas
Bioteknologi Institut Pertanian
Bogor. 245p.
Hatanaka,
T., O. Arakawa, T. Yasuda, N. Uchida & T. Yamaguchi (1991). Effect of plant growth regulator on somatic
embryogenesis in leaf cultures of Coffea
canephora. Plant Cell Rep., 10, 179-182.
Leconte,
A. & M.P. Carron (1988). Acclimatization of microcuttings from rubber (Hevea brasiliensis): problem and
perspective. In J.L. Jacob & J.C. Prevot (eds.) Compte-Rendu du Colloque
Exploitation-Physiologie et Amelioration
de Hevea. Colloque Hevea IRRDB, IRCA/CIRAD, Paris, 2 au Novembre 1988, p 499-503.
Ludford,
P.M. 1990. Postharvest Hormone Changes in Vegetables and Fruits. In: Davies, P.J. (ed.). Plant Hormone and Their
Role in Plant Growth and Development.
Kluwer Ac. Press Pub. Boston-London. 574- 592.
Oktavia,
F., Siswanto, Budiani, A. dan Sudarsono.
2003. Embriogenesis somatik langsung dan regenerasi planlet kopi
arabika (Coffea arabica) dari berbagai eksplan. Jurnal
Menara Perkebunan, Vol. 71, No. 2: 44-55
Raghavan,
V. 1997. Experimental Embryogenesis in Vascular Plants. Academic Press. London. 349-350; 358-381.
Sukmadjaja,
Deden. 2005. Embriogenesis somatik langsung pada tanaman cendana. Jurnal
Bioteknologi Pertanian, vol. 10, No.
1: 1-6
Sondahl,
M. R., W. R. Romig & A. Bragin (1994). Induction and selection of somaclonal variation in coffee.
United States Patent. USA.
Utami,
Edi, S. W., I. Sumardi, Taryono, dan E. Semiarti.
2007. Pengaruh α- Naphtaleneacetic Acid (NAA) terhadap embriogenesis
somatik anggrek bulan Phalaneopsis amabilis (L.) BI. Jurnal
Biodiversitas, Vol. 8, No. 4: 295-299
Wattimena,
G. A. (1988). Zat pengatur tumbuh tanaman. Bogor, Pusat Antar Universitas IPB.
0 komentar:
Posting Komentar