BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Jahe merupakan tanaman dari kelompok
temu-temuan yang sangat potensial untuk dikembangkan. Untuk mendukung
pelestarian plama nutfah tanaman, telah dilakukan konservasi secara in vitro
terhadap tanaman–tanaman tersebut melalui pertumbuhan minimal. Media dasar yang
digunakan adalah Murashige dan Skoog (MS) yang pada berbagai taraf konsentrasi
yang diaplikasikan dengan zat penghambat pertumbuhan maupun bahan regulasi
osmotik. Teknologi tersebut sangat tepat digunakan untuk tanaman yang mempunyai
benih rekal-sitran dan yang berbiak secara vegetatif. Pada jahe aplikasi
pengenceran media (½ MS + 6 % sucrosa) mampu mereduksi pertumbuhan dan
memperpanjang periode sub kultur sampai umur lima bulan. Pada kunyit,
pengenceran media dasar sampai ¼ konsentrasi normal kombinasi dengan 1 %
manitol mampu memperpanjang masa simpan sampai umur sembilan bulan. Aplikasi
paclobutrazol pada konsentrasi 3 mg/l mampu memperpanjang masa simpan kultur bangle
sampai umur sembilan bulan dan pemberian paclobutrazol 5 mg/l pada temulawak
dapat memperpanjang masa simpan biakan sampai umur tujuh bulan. Setelah periode
konsenvasi in vitro, temulawak dan bangle mampu tumbuh dengan normal setelah
diaklimatisasi di rumah kaca. Pada jahe asal organogenesis terlihat perubahan
pada bentuk batang dan daun bila dibandingkan dengan induk konvensional.
Berdasarkan kon-disi tersebut, konservasi in vitro untuk jahe yang berasal dari
organogenesis tidak efisien dilaku-kan. Alternatif lain adalah memproduksi jahe
melalui jalur embriogenesis.
Penelitian
kultur jaringan tanaman jahe atau yang sefamili telah cukup banyak dilakukan
walaupun tujuannya pada umumnya untuk perbanyakan tanaman melalui induksi tunas
samping dari eksplan mata tunas pada medium dasar MS dan modifikasinya maupun
induksi tunas adventif dari eksplan pseudostem dari tunas in vitro pada medium MS padat maupun cair. Jenis-jenis
lain dari keluarga Zingiberaceae
yang telah
berhasil diperbanyak secara kultur jaringan meliputi Alpinia purpurata, Kaempferia galangal, temulawak.
1.2 Tujuan
Tujuan
dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengettahui proses perbanyakan tanaman
atau kultur tanaman menggunakan eksplan daun jahe.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian dan Pemanfaatan Rimpang Jahe
Tanaman jahe (Zingiber
offici-nale Rosc.), temulawak (Curcuma xanthorrhiza Rosc.), kunyit (Curcuma
domestica), dan bangle (Zingiber cassumunar), merupakan tanaman dari
kelompok temu-temuan yang potensial untuk dikembangkan. Selain bermanfaat sebagai
obat, tanaman tersebut juga banyak digunakan sebagai bumbu masak, pewarna
makanan maupun kosmetik. Jahe sering digunakan untuk kar-minatif, stimulan dan
dioforetik, obat penambah nafsu makan, memperbaiki pencernaan, encok, sakit
kepala, batuk kering, gatal-gatal, cholera, difteri dan masuk angin. Jahe sangat
bermanfaat sebagai antikoagulan, menurunkan tekanan darah, obat cacing, abat
asma, penambah darah, obat sakit perut, diare, usus buntu dan rematik. Rimpang
temulawak yang berkhasiat obat mampu mengatasi penyakit kelainan pada hati/
lever, kantong empedu, pankreas. Selain itu juga dapat menambah nafsu makan,
menurunkan kadar kolesterol dalam darah, dapat meningkatkan sistim
immunitas tubuh, berkhasiat anti bakteri, anti diabetik, anti hepatotoksik,
anti inflamasi, anti oksidan, anti tumor, diuretika, depresan dan hipolipodemik
(Raharjo dan Rostiana, 2003).
Bangle banyak dimanfaatkan dalam
industri farmasi dan berguna sebagai ekspektorant, analgesik, anti-piserole, anti
kegemukan, mengurangi rasa sakit di perut setelah melahirkan dan obat sakit
kuning. Jahe, kunyit, bangle dan temu-lawak
umumnya diperbanyak secara vegetatif dengan menggunakan rim-pang. Teknik
konservasi tanaman jahe, kunyit, temulawak dan bangle selama ini adalah dengan
menanam koleksi-koleksi tanaman tersebut di rumah kaca dan kebun percobaan
lingkup Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Cara ini memerlukan tempat
yang luas, tenaga dan biaya serta resiko kehi-langan genotipa karena serangan
hama, penyakit dan gangguan alam lainnya. Untuk mendukung penyediaan bahan
tanaman, telah dilakukan perbanyakan benih melalui teknik kultur jaringan.
Teknik perbanyakan jahe dengan menggunakan media dasar MS + BA 3 mg/l, kunyit
pada media MS + BA 3 mg/l, bangle pada media MS + BA 2 mg/l, temulawak dengan
media MS + BA 1,5 mg/l (Sukarsono et al., 2003).
Dalam mendukung upaya pelestarian plasma nutfah
tanaman, konservasi in vitro merupakan salah satu al-ternatif yang dapat
dilakukan. Teknologi ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan konvensional
diantaranya adalah tidak memerlukan areal yang luas, bebas hama dan penyakit
serta hemat tenaga dan biaya. Selain itu akan memudahkan pertukaran koleksi
kepada pengguna (Syahid dan Mariska, 1997).
2.2
Konservasi In Vitro
Konservasi in vitro merupakan upaya
pelestarian plasma nutfah dalam kondisi yang aseptik (steril). Teknik yang umum
dilakukan untuk tujuan tersebut yaitu : 1) penyimpanan dalam keadaan tumbuh
(jangka pendek), 2) penyimpanan dengan pertumbuhan mi-nimal (jangka pendek atau
menengah) dan 3) penyimpanan dengan teknik pembekuan/kriopreservasi yang dikenal
dengan penyimpanan secara jangka panjang. Penyimpanan biakan tanaman dalam
keadaan tumbuh sebenarnya cu-kup sederhana. Biasanya media yang digunakan hanya
ditambahkan dengan zat pengatur tumbuh pada konsentrasi rendah. Teknik ini
cukup efisien untuk tanaman-tanaman yang daya tumbuh-nya memang lambat. Namun
pengaruh sub kultur yang cukup sering ke media yang baru memberi peluang
terjadinya kontaminasi. Cara ini juga memerlukan biaya dan tenaga kerja yang
cukup besar serta dapat memungkinkan terjadinya perubahan genetik (Syahid dan
Mariska, 1997).
Teknik konservasi kedua yang sering digunakan adalah
aplikasi kon-servasi dengan pertumbuhan minimal. Dengan teknik ini biakan yang
dikon-servasi dapat tumbuh dengan lambat karena proses pembelahan selnya
di-perlambat, namun tidak mematikan ja-ringan. Untuk tujuan ini berbagai
per-lakuan dapat digunakan diantaranya : 1) pengurangan komposisi garam mak-ro
dan mikro menjadi ½ sampai ¼ komposisi normal, 2) penurunan suhu sampai 4-12 o,
memberikan tekanan osmotik dengan menambahkan bahan osmotik seperti ma-nitol
atau sukrosa dan penggunaan zat penghambat pertumbuhan seperti asam absisat/ABA
ataupun penggunaan retardan seperti paclobutrazol dan ancymidol dan me-nurunkan
tekanan atmosfir atau oksigen. Selain itu juga dapat digunakan tempat kultur
yang lebih be-sar dan lebih banyak volume medium-nya (Sudarmonowati, 2005).
Teknik konservasi in vitro melalui
pertumbuhan minimal telah banyak diaplikasikan dibandingkan dengan pe-nyimpanan
dalam keadaan tumbuh. Pada jahe dan kunyit teknik konservasi yang telah
dilakukan adalah pengenceran media dasar dari konsentrasi ½ sampai ¼
konsentrasi normal yang dikombinasikan dengan manitol ataupun sukrosa tinggi.
Sedangkan pada bangle penggunaan retardan paclobutrazol konsentrasi 3 mg/l
dapat memperpanjang periode sub kultur sampai umur sembilan bulan dan pada
biakan temu-lawak, aplikasi paclobutrazol 5 mg/l dapat memperpanjang masa simpan
sampai umur tujuh bulan. Pengenceran media dasar pada konservasi jahe dan
kunyit sampai konsentrasi ½ - ¼ dari konsentrasi normal mampu mereduksi
pertumbuhan biakan tanpa mematikan jaringan tanaman. Pada kondisi tersebut,
biakan jahe maupun kunyit nyata tereduksi pertumbuh-annya yang ditandai dengan
berkurangnya jumlah anakan yang terbentuk serta laju pertumbuhan yang lambat.
Penggunaan paclobutrazol sebagai zat penghambat pertumbuhan mempunyai efek
fisiologis diantaranya sebagai anti giberelat yang berperan dalam meng-hambat
proses perpanjangan sel pada meristem sub apikal sehingga akan memperpendek
ruas batang (Dick, 1979).
2.3 Kategori
Sterilisasi
Ada tiga kategori
strelisasi, yaitu sterilisasi ringan, sedang, dan berat. Pada sterilisasi
ringan, eksplan direndam dalam cairan pemutih pakaian 20% selama 10 menit, lalu
dibilas dengan air steril. Selanjutnya, eksplan direndam dalam cairan pemutih
pakaian 15% selama 10 menit dan dibilas dengan air steril. Terakhir, eksplan
direndam dalam cairan pemutih pakaian 10% selama 10 menit, lalu dibilas dengan
air steril tiga kali. Untuk sterilisasi sedang, eksplan direndam dalam HgCl2
0,1-0,5 mg/l selama 7 menit, lalu dibilas dengan air steril. Setelah itu,
eksplan direndam dalam cairan pemutih pakaian 15% selama 10 menit, lalu dibilas
dengan air steril. Terakhir, eksplan direndam dalam cairan pemutih pakaian 10%
selama 10 menit, kemudian dibilas dengan air steril tiga kali. Pada sterilisasi
keras, eksplan direndam dalam larutan HgCl2 0,1-0,5 mg/l selama 10 menit, lalu
dibilas dengan air steril. Selanjutnya, eksplan direndam dalam alkohol 90%
selama 15 menit, lalu bilas dengan air steril. Terakhir, eksplan direndam dalam
cairan pemutih pakaian 20% selama 10 menit kemudian dibilas dengan air steril
tiga kali. Rimpang jahe yang diambil dari lapangan berpeluang besar
terkontaminasi mikroorganisme sehingga perlu disterilisasi. Waktu dan bahan
sterilan menentukan keberhasilan sterilisasi. Waktu sterilisasi dan bahan
sterilan yang tepat dapat menjadi acuan dalam sterilisasi rimpang jahe pada penelitian
selanjutnya (Anonim 2010).
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari makalah ini yaitu
:
1. Perbanyakan
tanaman dengan kultur jaringan tidak memerlukan biaya yang mahal dan juga tidak
sulit untuk dilakukan.
2. Perbanyakan
tanaman dengan kultur jaringan tidak memerlikan waktu yang lama.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2010, Cara
Sterilisasi Tanaman Eksplan Kultur. Erlangga, Jakarta.
Dick,
1979, Teknik Srerilisasi
Rimpang Jahe Sebagai Bahan Perbanyakan Tanaman Jahe, Jurnal Pertanian,
Vol.1, No.3, Hal : 23-25.
Raharjo
dan Rostiana, 2003, Pemanfaatan Tanaman Jahe, Erlangga, Jakarta.
Sukarsono,
2003, Media Pertumbuhan Tanaman, Jurnal Pertanian, Vol.1. No.3, Hal:
14-16.
Syahid
dan Mariska, 1997, Konservasi Tanaman Temu-temuan Melalaui
Pertumbuhan Minimal, Jurnal Pertanian, Vol.3. No.4, Hal : 33-36.
Sudarmonowati,
2005, Penggunaan Media Alternatif Perbanyakan Tanaman Jahe, UI Press, Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar