BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Jeruk
merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mendapat prioritas untuk dikembangkan
karena usaha tani jeruk memberikan keuntungan maksimal bagi petani. Pada saat
ini pertanaman jeruk rakyat didominasi oleh jeruk keprok dan jeruk pumelo.
Kelebihan jeruk keprok dan jeruk pumelo ini antara lain masa panen jeruk yang
cepat,rasanya yang manis, produktivitas cukup tinggi, morfologi pohon jeruk
yang rendah, serta kemampuan adaptasi yang luas, Daging buahnya mempunyai rasa
asam-manis yang merupakan sumber vitamin C alami. Kelemahan jeruk siam ini
adalah kulit buah yang kurang menarik, keeratan epicarp pada mesocarp yang
cukup erat sehingga menghambat pada waktu pengelupasan serta umumnya berbiji
banyak, akibatnya ketika panen harganya rendah.
Meski
Indonesia disebut sebagai daerah asli jeruk besar, namun negara yang dikenal
sebagai pusat pengembangan jeruk besar justru Thailand. Hal ini disebabkan
karena usaha pertanaman kebun jeruk di Indonesia kurang didukung oleh
penggunaan bibit yang bermutu. Saat ini, penyediaan bibit jeruk besar dilakukan
dengan persemaian benih dan okulasi. Kelemahan dari bibit hasil persemaian
benih yaitu tidak dapat diperoleh dalam jumlah banyak, sedangkan bibit hasil
okulasi seringkali mengalami inkompatibilitas sehingga proses okulasinya gagal.
Beberapa hal tersebut mengakibatkan ketersediaan bibit jeruk besar kurang
mencukupi.
Berdasarkan
hal-hal tersebut, maka diperlukan upaya lain untuk melestarikan jeruk keprok
dan mewujudkan kontinyuitas ketersediaan bibit jeruk besar yang sesuai dengan
tuntutan keadaan pada saat ini. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan
perbanyakan jeruk secara in vitro atau
kultur jaringan. Perbanyakan secara in
vitro pada jeruk mempunyai tingkat keberhasilan yang tinggi karena pada
umumnya tanaman ini dibiakkan secara vegetatif. Menurut Wattimena dan Mattjik
(1992) beberapa keuntungan yang didapat dari perbanyakan secara in vitro yaitu
kemudahan dalam menyimpan, menghemat pemakaian lahan, tenaga, erosi genetik
dapat dicegah, mempermudah pengiriman, dan bebas dari hama penyakit.
Untuk meningkat produksi jeruk ini dibutuhkan bibit yang baik dan unggul
untuk mendapatkan bibit unggul ini dapat dilakukan dengan cara kultur jaringan.
Dalam budidaya tanaman dengan menggunakan teknik kultur jaringan, pemberian zat
pengatur tumbuh dalam media tanam dan pemilihan eksplan sebagai bahan inokulum
awal yang ditanam dalam media perlu diperhatikan karena mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan eksplan tersebut menjadi bibit yang baru.
Perbanyakan jeruk secara in vitro dapat dilakukan
dengan menggunakan eksplan biji dan hipokotil. Biji jeruk mempunyai sifat
apomiksis sehingga dapat membentuk tanaman yang true to type. Media perbanyakan jeruk secara in vitro yang
banyak diujikan dan dipakai yaitu media Murashige dan Skoog yang dikombinasikan
dengan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) seperti auksin dan sitokinin.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas,bahwa dapat disimpulkan adanya rumusan masalah sebagai
berikut:
1.
Faktor yang mempengarui keberhasilan
dalam suatu pengkulturan pada jeruk
2.
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan ekplan
3.
Bagaimana memperoleh kompatibilitas
jeruk manis dengan keprok dan jeruk
Pamelo pada penyambungan tunas pucuk secara in vitro
4.
pengaruh jenis eksplan terhadap
multiplikasi dan pertumbuhan tanaman jeruk besar secara in vitro
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut
1. Mempelajari
pengaruh jenis eksplan terhadap multiplikasi dan pertumbuhan tanaman jeruk
besar secara in vitro
2.
Mendapatkan formulasi media yang sesuai
untuk perbanyakan jeruk besar secara in
vitro
3.
untuk memperoleh kompatibilitas antara
jeruk YC dan manis dengan keprok dan jeruk besar/Pamelo pada penyambungan tunas
pucuk secara in vitro
BAB II
ISI
2.1 Botani
tanaman jeruk
Jeruk (Citrus sp.) adalah tanaman tahunan
yang berasal dari Asia Tenggara. Sejak ratusan tahun lalu tanaman ini sudah
terdapat di Indonesia, baik sebagai tanaman liar maupun sebagai tanaman
pekarangan (Soelarso, 1996). Jeruk (Citrus
sp.) merupakan salah satu genus dari family Rutaceae yang mempunyai
nilai ekonomi yang tinggi.
Menurut Steenis (2003), kedudukan jeruk ini
dalam sistematika adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio :
Spermatophyta
Klass :
Angiospermae
Sub Klass :
Dicotyledoneae
Ordo : Rutales
Family : Rutaceae
Genus : Citrus
Spesies
: Citrus nobilis Lour.
Di Indonesia tanaman jeruk dibudidayakan sebagai
usaha agribisnis atau sebagai tanaman pekarangan. Selain itu jeruk juga banyak
ditanam di dalam pot karena ukuran batangnya pendek, penuh dengan buah yang
sangat eksotik sehingga mempunyai daya tarik tersendiri. Buah jeruk umumnya
dikonsumsi dalam bentuk segar, minuman segar atau sirup. Kulit dan biji jeruk
mengandung minyak yang dapat digunakan sebagai pengharum rambut, campuran
minuman dan bahan wangi-wangian.
Jeruk keprok dan jeruk besar/Pamelo di Indonesia
dapat tumbuh dan berbuah yang cukup memuaskan. Jenis-jenis jeruk keprok yang
ada antara lain jeruk keprok Batu, Garut, Tejakula dan Siem sedangkan jeruk besar
/pamelo antara lain jeruk besar Nambangan, Sri Nyonya dan Bali merah. Kedua
jenis jeruk tersebut sangat peka terhadap barbagai macam penyakit yang
disebabkan patogen sistemik utamanya CVPD kecuali jeruk besar yang terbukti
agak toleran.
Pohon jeruk keprok mencapai ketinggian 6-10 m,
berduri, dengan bentuk batang bulat dan mempunyai jumlah percabangan yang
banyak. Dahannya kecil dan letaknya terpencar serta tidak beraturan. Bentuk
daun bulat telur memanjang dengan pangkal tumpul dan mempunyai ujung yang
runcing. Permukaan daun bagian atas berwarna hijau tua mengkilat sementara
permukaan daun bagian bawah berwarna hijau muda. Buah berbentuk bulat, kulit
buah tebal, permukaannya kasar dan berpori-pori besar. Biji bersifat
poliembrionik dan berwarna sedikit kekuningan sementara embrio berwarna hijau
keputihan.
Jeruk keprok ini mengandung sejumlah nutrisi, di
antaranya vitamin B1 dan vitamin C. Selain itu jeruk ini juga mengandung
glukosa, fruktosa, sukrosa, karoten, asam sitrat dan glukosida. Jeruk ini bermanfaat
sebagai pereda berbagai penyakit, misalnya sebagai obat batuk dan menghilangkan
rasa mual (Ball, 1997). Keistimewaan lain dari jeruk keprok ini adalah kulit
buah yang memiliki aroma yang sangat wangi yang dapat dijadikan sebagai
pengharum rambut serta bahan wangi-wangian.
2.2
Kultur jaringan tanaman jeruk
Kultur
jaringan tanaman merupakan teknik budidaya (perbanyakan) sel, jaringan, dan
organ tanaman dalam suatu lingkungan yang terkendali dan dalam keadaan aseptik
atau bebas dari mikroorganisme. Secara umum perbanyakan tanaman berdasarkan
perkembangan dan siklus hidupnya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
perbanyakan secara seksual dan perbanyakan secara aseksual.
Beberapa
penelitian telah dilakukan untuk kultur jaringan tanaman beberapa jenis jeruk.
Penggunaan metode in vitro untuk
kultur jaringan tanaman jeruk telah dimulai oleh Bove & Morel (1957) dalam Nurwahyuni (2001), dan sejak
itu kultur jaringan tanaman jeruk banyak mendapat perhatian. Regenerasi tanaman
jeruk secara kultur jaringan telah dilakukan diantaranya dari bagian tunas
aksilar yang menghasilkan kalus (Altman & Goren, 1971 dalam Reinert & Bajaj, 1989),
bagian daun dan batang serta bagian reproduktif lainnya seperti ovary, embrio
somatik (Chaturvedi & Mitra, 1975 dalam
Yeoman, 1986), bagian bakal buah (Carimi et al., 1998 dalam Nurwahyuni,
2001) dan bagian protoplas (Da Gloria, 2000 dalam Nurwahyuni, 2001). Pembentukan embrio dan planlet untuk
beberapa varietas jeruk telah dilakukan misalnya berasal dari kalus nucellar yang
sama (Rangan et al., 1969;
Bitters et al., 1972; Kochba et al., 1972 dalam Reinert & Bajaj, 1989). Peneliti lain Ranga Swamy
(1961) & Sabharwal (1963) dalam George
& Sherrington (1984) telah berhasil mengkulturkan embrio dari jaringan
nucellar jeruk.
Menurut
Ghorbel et al. (1998) dalam Nurwahyuni (2001), perbanyakan
tanaman jeruk secara in vitro melalui
kultur jaringan memiliki beberapa keuntungan diantaranya adalah dapat
menghasilkan bibit klonal secara massal dalam waktu yang singkat juga dapat
meningkatkan kualitas tanaman karena menghasilkan tanaman jeruk yang seragam
dan tingkat kesehatan lebih baik.
2.3 Media yang
digunakan dalam kultur jaringan
Media
perbanyakan jeruk secara in vitro yang banyak diujikan dan dipakai yaitu media
Murashige dan Skoog yang dikombinasikan dengan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
seperti auksin dan sitokinin. Menurut Ramkrishna et al. (2005) perbanyakan plantlets Citrus reticulata Blanco dan Citrus jambhiri Lush pada media Murashige dan Skoog (MS) dengan
2.0 mg/l BAP + 0.5 mg/l kinetin + 1.0 mg/l NAA memberikan hasil terbaik.
Al-Khayri and Al-Bahrany (2001) menyatakan kombinasi media MS dengan 0.5 mg/l
kinetin dan 1.0 mg/l BAP terhadap pertumbuhan tunas pada Citrus aurantifolia menunjukkan
terbaik. Media MS dengan berbagai variasi konsentrasi sitokinin BA dan Kn.
Pada kultur jaringan banyak faktor-faktor penting
yang sangat mempengaruhi keberhasilan dalam suatu pengkulturan diantaranya
adalah media yang digunakan. Media tanam dalam kultur jaringan harus berisi
semua zat yang diperlukan untuk menjamin pertumbuhan eksplan. Media yang paling
baik untuk diferensiasi kalus dan perkembangan planlet adalah media Murashige
dan Skoog (1962) atau modifikasinya. Media dasar MS digunakan untuk hampir
semua macam tanaman (Heinz & Mee, 1969 dalam Reinert & Bajaj, 1989) sedangkan media yang sering
digunakan pada kultur jeruk adalah Murashige & Tucker (1969), Gamborg’s B5
dan EME (Tang et al., 2006)
serta Cultivation media (Pena et al.,
2004). Sebagai tambahan biasanya diberi zat organik lain seperti air kelapa,
ekstrak ragi, gandum, pisang, tomat, taoge, jeruk, kentang, apel, alpukat,
pepaya, dan masih banyak lagi ( Hendaryono & Wijayani, 1994).
2.4
Zat pengatur tumbuh
Menurut Suryowinoto (1996), dalam budidaya tanaman
dengan menggunakan teknik kultur jaringan, pemberian zat pengatur tumbuh dalam
media juga perlu diperhatikan karena mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
eksplan tersebut menjadi bibit yang baru. Dalam kultur jaringan zat pengatur
tumbuh auksin dan sitokinin sangat berpengaruh (Gunawan, 1995). Auksin dan
sitokinin adalah zat pengatur tumbuh yang sering ditambahkan dalam media tanam
karena mempengaruhi pertumbuhan dan organogenesis dalam kultur jaringan dan
organ.
Auksin adalah zat pengatur tumbuh yang mempengaruhi
pemanjangan sel. Jenis auksin buatan yang biasa digunakan adalah IBA, 2,4-D dan
NAA sedangkan yang alami biasa digunakan IAA (Katuuk, 1989). Sitokinin alamiah
yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah zeatin dan 2-iP, sedangkan
untuk sintetik meliputi BAP dan kinetin (Wattimena, 1992). BAP merupakan zat
pengatur tumbuh yang sering digunakan dalam kultur in vitro karena sangat efektif dalam menginduksi pertumbuhan
daun dan penggandaan tunas, mudah didapat dan harganya relatif murah (George
& Sherrington, 1984). BAP merupakan turunan adenin yang disubstitusi pada
posisi 6 yang bersifat paling aktif (Wattimena, 1992). Dalam kultur jaringan
zat pengatur tumbuh auksin atau sitokinin dapat diberikan secara bersama-sama
ataupun salah satunya saja, tergantung dari tujuan kita (Hendaryono &
Wijayani, 1994).
Faktor
lain yang juga tidak kalah penting adalah pemilihan eksplan diantaranya organ
sumber eksplan, umur organ, musim, ukuran dan kualitas tanaman induk (Barlass
& Skene, 1982 dalam Nurwahyuni,
2001). Eksplan yang digunakan adalah jaringan muda yang sedang tumbuh aktif,
karena jaringan tanaman yang masih muda mempunyai daya regenerasi yang lebih
tinggi, sel-selnya masih aktif membelah diri dan relatif bersih (mengandung
lebih sedikit kontaminan). Sementara itu, jaringan tanaman yang sudah tua lebih
sulit beregenerasi dan biasanya mengandung lebih banyak kontaminan (Yusnita,
2003). Selain faktor-faktor yang disebutkan di atas, faktor lingkungan seperti
cahaya, suhu, pH serta kelembaban juga akan menjadi perhatian dalam kultur
jaringan tanaman dalam usaha perbaikan kualitas bibit jeruk.
Sitokinin
adalah derivat dari adenin ,kinetin(6-furfurylaminopurin) dan zeatin adalah
sitokinin alami yang umum yang digunakan secara meluas pada medium kultur.
Sitokinin disintesis melalui modifikasi biokimia dari adenin, terjadi pada
ujung akar dan biji yang tumbuh, kebalikan dari auksin, sitokinin ditransport
melalui xilem dari akar ke puncuk. Sitokinin hanya aktif jika ada
auksin,pemberian sitokinin bersama auksin pada medium kultur dapat memacu
pembelahan sel dan morfogenesis. Sitokinin mempengaruhi transport auksin, pertumbuhan
kuncup lateral (mematahkan dominansi apikal), perkembangan daun, menghambat
proses penuaan daun dan mempengaruhi perkembangan kloroplas.sitokinin sintetik seperti
N6-benzylaminopurine (BAP) lebih sering digunakan pada medium kultur jaringan.
2.5
Kultur Embrio
Dalam
perbanyakan teknik kultur jaringan, eksplan merupakan faktor yang penting dalam
penentuan keberhasilan. Menurut Gunawan (1995) faktor genotip, umur eksplan,
letak pada cabang dan seks (pohon jantan atau betina) juga perlu diperhatikan
dalam pemilihan eksplan pada kultur jaringan. Penggunaan eksplan dari jaringan
muda lebih sering berhasil karena sel-selnya aktif membelah, dinding sel tipis
karena belum terjadi penebalan lignin dan selulosa yang menyebabkan kekakuan
pada sel.
Pada
pemilihan bagian tanaman perlu juga dipertimbangkan tujuan dari kultur yang
akan dilakukan. Bagian tertentu akan memberikan variasi dalam jumlah kromosom
maupun variasi dalam beberapa gen. Santoso & Nursandi (2004) menambahkan
bahwa langkah pertama untuk menentukan bagian mana dari tanaman yang akan
digunakan sebagai eksplan adalah melihat potensi genetik yang ada pada tanaman
di lapangan. Untuk itu perlu dilakukan analisis jaringan secara in vivo untuk mengetahui bagian
tanaman yang mempunyai kandungan tertinggi senyawa yang diinginkan. Tanaman
yang mempunyai kandungan senyawa tertentu dalam jumlah besar akan mampu
menghasilkan senyawa yang sama dalam jumlah besar pula apabila tanaman tersebut
dikulturkan secara in vitro.
Berdasarkan
bagian tanaman yang dikulturkan secara lebih spesifik terdapat tipe-tipe kultur
yaitu kultur kalus, kultur suspensi sel, kultur anter, kultur akar, kultur
pucuk tunas, kultur embrio, kultur ovul dan kultur kuncup bunga. Kultur
jaringan bermula dari adanya pembuktian sifat totipotensi sel, yaitu bahwa
setiap sel tanaman yang hidup dilengkapi dengan informasi genetik dan perangkat
fisiologis yang lengkap untuk tumbuh dan berkembang menjadi tanaman utuh jika
berada dalam kondisi yang sesuai.
Kultur
embrio merupakan isolasi secara steril embrio matang ataupun belum matang,
dengan tujuan memperoleh tanaman yang viabel. Terdapat 2 macam kultur embrio
yaitu kultur embrio yang belum matang untuk mencegah keguguran (embryo rescue) dan kultur embrio
matang untuk merangsang perkecambahan.
Pierik
(1987) dalam Kosmiatin &
Mariska (2005) menyatakan bahwa kultur embrio matang lebih mudah dibandingkan
dengan kultur embrio muda. Pada umur 3 minggu setelah polinasi, kondisi embrio
cukup baik dengan kotiledon yang sempurna. Meskipun beberapa embrio memiliki
kotiledon yang besar sehingga kulit biji agak merekah, hal itu tidak mengganggu
perkecambahan. Dengan kondisi embrio yang hampir sempurna, embrio tidak
memerlukan waktu yang lama untuk berkecambah dengan rata-rata waktu kecambah
4-5 hari setelah tanam.
Menurut
Ayu (2009), kultur embrio memiliki beberapa aplikasi seperti memecahkan
dormansi, perkecambahan parasit obligat, memendekkan siklus pemuliaan,
menghasilkan tanaman haploid, mencegah aborsi embrio pada buah, mencegah aborsi
pada persilangan interspesifik dan pembiakan vegetatif. Aplikasi ini juga dapat
diperluas menjadi introgresi gen penting dari spesies liar yang masih kerabat
dekat dengan spesies yang akan disilangkan, sintesa spesies alopoliploid,
produksi triploid (buah tanpa biji) dan produksi tanaman haploid.
Pada
kultur embrio, keberhasilan perkecambahan in vitro juga ditentukan oleh komposisi media dan zat pengatur
tumbuh yang ditambahkan ke dalam media untuk menggantikan peran endosperm.
Pengecambahan embrio yang lengkap biasanya tidak memerlukan formulasi media
yang rumit. Pada beberapa jenis tanaman, embrio dapat tumbuh pada media dasar
tanpa zat pengatur tumbuh, seperti pada embrio hasil persilangan S. khasianum dan S. Capsicoides.
2.6
Kultur Kalus
Kalus merupakan sekumpulan sel yang masih aktif
tumbuh dan membelah dan belum terdeferensisai untuk membentuk tunas maupun
akar. Bagian tanaman yang dipergunakan sebagai ekplan berupa tunas lateral yang
sedang tumbuh dengan ukuran panjang antara 5 cm sampai 10 cm sehingga sel-sel
sekulen, yaitu bersifat meristematik dan mudah diisolasi karena kandungan air
yang cukup. Pemakaian eksplan yang berasal dari tunas meristem diharapkan dapat
memperkecil tingkat kontaminasi. Sel-sel aktif membelah diharapkan kecepatan
pembelahan sel lebih dari kecepatan pertumbuhan / perkembangbiakan kontaminan.
Pemakaian eksplan yang berbulu atau tidak berbulu dapat secara langsung
mempengaruhi tingkat kontaminasi. Morfologi permukaan eksplan tidak berbulu
sehingga lebih memudahkan kontaminan bersentuhan langsung dengan sel jaringan
eksplan, meningkatkan peluang terjadinya serangan kontaminan. Sedangkan untuk
eksplan yang berbulu, metode sterilisasi membutuhkan cara tersendiri misalnya
dengan menggunakan larutan Tween 20 agar proses sterilisasi dapat langsung
bersentuhan dengan permukaan eksplan.
Rendahnya jumlah eksplan yang menghasilkan tunas
diduga disebabkan oleh adanya kandungan auksin endogen eksplan yang jumlahnya
seimbang dengan sitokinin yang diberikan sehingga sebagian besar eksplan hanya
membentuk kalus. Skoog and Miller (1957 dalam George, 1993) berpendapat bahwa
pembentukan tunas dan akar dikendalikan oleh keseimbangan antara auksin dan
sitokinin; jika auksin tinggi dan sitokinin rendah maka terbentuk akar , jika
auksin dan sitokinin seimbang maka akan terbentuk kalus, dan jika auksin rendah
dan sitokinin tinggi terbentuk tunas.
Bahan tanaman yang digunakan dalam kultur kalus ini
diambil dari pohon induk, sehingga kemungkinan bahan tanaman mengandung debu,
kotoran-kotoran, dan berbagai kontaminan hidup pada permukaannya, sangat besar
meski kondisi tanamannya dalam keadaan sehat. Kontaminan hidup dapat berupa
cendawan, bakteri, serangga dan telurnya, tungau serta sporaspora. Pada media
yang mengandung gula, vitamin dan mineral, kontaminan terutama cendawan dan
bakteri dapat tumbuh secara cepat. Dalam beberapa hari, kontaminan memenuhi
seluruh botol kultur. Eksplan yang tertutup kontaminan akhirnya mati, dapat
sebagai akibat langsung dari serangan cendawan/bakteri. Kontaminasi terjadi
sejak umur 3 hari setelah tanam (HST) sampai dengan 7 HST. Penyebabnya berupa cendawan
putih dengan spora hitam, dan bakteri yang mengeluarkan eksudat berupa lendir
putih.
Salah satu faktor (selain lingkungan) yang
mempengaruhi petumbuhan dan morfogenesis kultur jaringan yaitu genotipe bahan
tanaman yang dikultur. Pengertian genotipe disini meliputi varietas Interaksi
genotipe tanaman dengan lingkungan tumbuh dapat menyebabkan perbedaan-perbedaan
respon meski hanya dalam aras varietas. Vareitas A dapat melangsungkan
morfogenesis pada suatu macam ZPT, sementara varietas B tidak responsif hingga
konsentrasi ZPT diubah, diganti atau dilengkapi dengan yang lain. Disebabkan
oleh spesifisitas genotipe, kebutuhan media dan lingkungan tumbuh sering
berbeda dari satu genus atau spesies tanaman (George, 1993). Secara umum
tanaman yang ex vitro mudah menghasilkan tunas adventif maka demikian juga
halnya jika tanaman tersebut dalam kondisi in vitro. Pada pamelo telah
dilaporkan tentang keberhasilan multiplikasi tunas dari nodia Tetapi Pamelo
Bageng tergolong sedikit menghasilkan tunas adventif meski dilakukan pangkas
pucuk untuk menghilangkan dominasi apikal. Mungkin ini yang menyebabkan mengapa
pada penelitian ini tidak terjadi multiplikasi tunas. Pada jenis jeruk lainnya,
multiplikasi menghasilkan tunas adventif lebih banyak.
2.7
Penyambungan Tunas Pucuk Secara invitro
Teknologi Penyambungan Tunas Pucuk (PTP) secara “in
vitro” sangat memerlukan keberadaan batang bawah sebagai materi penyambungan.
Umumnya batang bawah YC
(Yapanche
Citroen) dan RL (Rough Lemon) yang banyak digunakan tetapi kedua jenis batang
bawah tersebut saat ini sulit untuk didapatkan. Jeruk manis selain buahnya
dikonsumsi, bijinya jika disemaikan tidak pecah dan menyerupai YC maupun RL,
selain itu mudah diperoleh.
penyambungan tunas pucuk (PTP) jadi tidak
dipengaruhi oleh perlakuan. Persentase keberhasilan PTP jadi antara batang
bawah YC + batang atas keprok, batang bawah manis” Valencia” + batang atas
keprok, batang bawah YC + batang atas jeruk besar/Pamelo dan batang bawah manis
“Valencia” + batang atas jeruk besar/Pamelo relatif sama.
Menurut Supriyanto (1985), bahwa prinsip
penyambungan tunas pucuk (PTP) adalah menyatukan jaringan tanaman dalam ukuran
yang relatif kecil yang diawali dengan pembelahan sel sehingga terbentuk kalus
dan dari kalus tersebut terjadi differensiasi menjadi kambium baru, pembentukan
xylem, phloem oleh kambium baru kemudian diakhiri dengan proses lignifikasi
dari kalus.
Hasil analisis secara statistik menunjukkan bahwa
jumlah daun yang tumbuh dari tunas pucuk yang disambungkan ada perbedaan yang nyata
antar perlakuan. Batang bawah manis “Valencia” + batang atas keprok
menghasilkan jumlah daun yang lebih banyak dibandingkan perlakuan yang lain dan
ada beda Pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah merupakan proses yang
berkelanjutan. Letak pertumbuhan ada dalam meristem ujung,lateral dan
interkalar. Tunas pucuk atau “shoot tip” yang disambungkan pada batang bawah
setelah mengalami differensiasi dan membentuk kambium baru akan berfungsi
sebagai meristem ujung atau lateral sehingga tunas pecah dan membentuk daun
baru. Menurut Humphreesdan Wheeler (1963) dalam Gardner et. al.,
(1985) jumlah dan ukuran daun dipengaruhi oleh genotipe dan lingkungan
sedangkan pertumbuhan tanaman salah satu faktor yang berpengaruh adalah air dan
ketersediaan nutrisi (Gardner et. al.,
1985). Waktu yang diperlukan mulai tunas pucuk disambungkan sampai terbentuk
daun pada jenis jeruk keprok (Citrus
Reticulata) lebih cepat 1 bulan
dibandingkan jeruk besar (Citrus
Grandis) (Purbiati et.al., 2001). Dari hasil penelitian
pada batang bawah manis “Valencia” + batang atas keprok
jumlah
daunnya paling tinggi karena disamping sifat genetis dari jeruk keprok juga
waktu mulai pecah tunas lebih cepat sehingga daun yang terbentuk lebih banyak.
Keadaan dorman tunas pucuk terjadi setelah 3 bulan
penyambungan , tunas pucuk tidak menunjukkan pertumbuhan tetapi keadaannya
masih tetap hijau. Dorman tersebut terjadi karena tidak terjadi differensiasi
dari tunas pucuk sehingga berakibat tumbuhnya tunas batang bawah dari bekas
luka irisan batang. Tunas pucuk dorman setelah penyambungan tersebut
kemungkinan
disebabkan saat tunas pucuk diambil dari pohon induknya masih pada fase dorman
dan ketersediaan hormon sitokinin pada pucuk tersebut tidak terpenuhi untuk memecahkan
tunas pucuk membentuk daun.
2.8 Eksplan biji
Meski
Indonesia disebut sebagai daerah asli jeruk besar, namun negara yang dikenal
sebagai pusat pengembangan jeruk besar justru Thailand. Hal ini disebabkan
karena usaha pertanaman kebun jeruk di Indonesia kurang didukung oleh
penggunaan bibit yang bermutu. Saat ini, penyediaan bibit jeruk besar dilakukan
dengan persemaian benih dan okulasi. Kelemahan dari bibit hasil persemaian
benih yaitu tidak dapat diperoleh dalam jumlah banyak, sedangkan bibit hasil
okulasi seringkali mengalami inkompatibilitas sehingga proses okulasinya gagal.
Beberapa hal tersebut mengakibatkan ketersediaan bibit jeruk besar kurang
mencukupi.
Berdasarkan
hal-hal tersebut, maka diperlukan upaya lain untuk melestarikan jeruk besar dan mewujudkan
kontinyuitas ketersediaan bibit jeruk besar yang sesuai dengan tuntutan keadaan
pada saat ini. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan perbanyakan jeruk secara
in vitro atau kultur jaringan.
Perbanyakan secara in vitro pada
jeruk mempunyai tingkat keberhasilan yang tinggi karena pada umumnya tanaman
ini dibiakkan secara vegetatif. Menurut Wattimena dan Mattjik (1992) beberapa
keuntungan yang didapat dari perbanyakan secara in vitro yaitu kemudahan dalam
menyimpan, menghemat pemakaian lahan, tenaga, erosi genetik dapat dicegah,
mempermudah pengiriman, dan bebas dari hama penyakit.
Perbanyakan
jeruk secara in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan eksplan biji dan
hipokotil. Biji jeruk mempunyai sifat apomiksis sehingga dapat membentuk tanaman
yang true to type. Hal ini
didukung oleh Ramkrishna et al.
(2005) yang menyatakan bahwa hasil perbanyakan jeruk menggunakan ekplan
kotiledon yang diuji dengan (RAPD) marker menunjukkan sifat true-to-type.
Eksplan
biji jeruk besar yang digunakan dalam penelitian ini berasal
dari kebun pertanian jeruk besar di Sumedang. Biji jeruk besar ini telah mengalami masak fisiologis dan telah
mengalami masa penyimpanan dalam suhu dingin selama 1 bulan.
Penyebab
mudahnya terbentuk tunas pada eksplan kotiledon karena struktur permukaan
kotiledon memiliki sel-sel yang memang berfungsi untuk penyerapan air. Lebih
lamanya inisiasi tunas pada eksplan epikotil disebabkan fase pembentukan tunas
eksplan epikotil diawali dengan proses diferensiasi sel terlebih dahulu dengan
membentuk kalus.
Selama menuju
inisiasi tunas, terjadi perubahan warna dan ukuran kotiledon Citrus maxima (Burm.)
Jeruk
besar dalam semua media perlakuan. Ukuran kotiledon pada saat tanam
menjadi bertambah besar dan warna kotiledon berubah dari kuning menjadi hijau
pada satu minggu setelah tanam (MST) sampai kotiledon bertunas. Waktu yang diperlukan sampai
terbentuknya tunas kotiledon rata-rata 4-5 minggu setelah tanam pada semua
jenis media. Pemunculan tunas pertama kali ditunjukkan pada media 1 dan 3. Jumlah
tunas yang terbentuk pada tiap-tiap kotiledon berjumlah 1-5 tunas.
Pertumbuhan
akar pada tunas asal eksplan kotiledon jauh lebih cepat dibandingkan tunas asal
eksplan epikotil. Berdasarkan tabel data jumlah akar (Tabel 7), tunas asal
eksplan kotiledon telah membentuk akar pada 4 MST sedangkan tunas asal eksplan
epikotil baru membentuk akar pada 10 MST. Jumlah akar tanaman asal eksplan
kotiledon berbeda nyata dan lebih banyak dari pada tanaman asal eksplan
epikotil.
Pada daun dilakukan setelah
eksplan disubkultur pada media perakaran dan memerlukan waktu selama 13 minggu. Dilihat dari pengaruh tunggal jenis
eksplan menunjukkan bahwa sejak 4 MST hingga 13 MST, jumlah daun yang
dihasilkan eksplan kotiledon lebih banyak dibandingkan eksplan epikotil.
Rata-rata jumlah daun yang berasal dari eksplan epikotil sejak 4 MST mengalami
pengguguran daun sehingga rataan nilainya terus mengalami penurunan hingga 13
MST
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut :
1.
Pamelo
Bageng dapat dikultur secara in vitro, terlihat dari keberhasilan eksplan
membentuk kalus dan tunas
2.
Jeruk
YC dan manis “Valencia” dapat digunakan sebagai batang bawah dengan tunas pucuk
jeruk keprok dan jeruk besar/Pamelo
3.
Keberhasilan sambungan jadi tidak beda dan
mencapai 39% -61%, demikian juga tunas pucuk dorman setelah penyambungan juga
tidak beda dan mencapai 23% -41%.
4.
Eksplan kotiledon memberikan hasil yang
lebih baik dibanding eksplan epikotil dalam rasio bertunas, tinggi tanaman,
jumlah daun, jumlah akar.
5.
Teknik sterilisasi yang dilakukan terbukti
baik. Interaksi antara media dan jenis eksplan tidak terlihat perbedaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Altaf, N.,
R. Abdul, A.B. Inkisar, A.Liaqat. 2009. Tissue Culture of Citrus Cultivars.
EJEAFChe.
8(1):43-51.
Dwiastuti
M. E., M. Sugiharto dan Yunawan. 1996. Seleksi jeruk toleran terhadap penyakit
CVPD
George, E.
F. 1993. Plant Propagation by Tissue Culture. 2nd Edition.Exegetics
Ltd.,
Edington
Wilts, England. 551p.
Gunawan, I.W. 1995. Teknik In vitro Dalam
Hortikultura. Penerbit Swadaya: Jakarta
Hendaryono, D.P.S dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur
jaringan Perbanyakan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif.
Kanisius: Yogyakarta
Kompas. 2009. Ekonomi Rakyat Tinggi, Permintaan Jeruk Pamelo Meningkat. Senin, 6 April.
Kompas. 2009. Ekonomi Rakyat Tinggi, Permintaan Jeruk Pamelo Meningkat. Senin, 6 April.
Navarro L
and Juarez. 1977. Elimination of citrus pathogens in propagative budwood “in
vitro” propagation. Proc. Int. Soc. Citriculture (3): 973-987.
Paudyal, K.P and Haq N. 2000. In
Vitro propagation of pummelo (Citrus
grandis L. Osbeck). In Vitro Cellular and Development Biology-Plant.
36(6): 511-516
Ramkrishna, N. Khawale and S.K. Singh.
2005. In-vitro adventitive embryonic in Citrus: A technique for Citrus
gerlmplasm exchange. Current Science. 88(8): 1309-1311.
Rukmana, R dan Y. Yuniarsih. 2003. Usaha Tani Jeruk
Keprok. Aneka Ilmu. Semarang
Supriyanto
A., 1985. Teknik pembibitan buah-buahan secara cepat. Paper pada latihan metodologi Penelitian Buah-buahan di malang.
10 p.
0 komentar:
Posting Komentar