BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Tanaman temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
merupakan salah satu tanaman obat potensial unggulan yang memiliki khasiat multifungsi.
Rimpangnya yang berkhasiat obat mampu mengobati berbagai penyakit seperti kelainan
pada hati/lever, kantong empedu, dan pankreas.
Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) juga merupakan salah satu tanaman
obat unggulan yang memiliki khasiat multifungsi. Rimpang induk temulawak
berbentuk bulat seperti telur dan berwarna kuning tua atau cokelat kemerahan
dimana bagian dalamnya berwarna jingga kecokelatan. Pemanfaatan tanaman ini
cukup banyak, antara lain dipergunakan oleh masyarakat dalam pemeliharaan dan peningkatan
derajat kesehatan atau pengobatan penyakit maupun oleh produsen obat
tradisional dan kosmetika.
Selain
penggunaannya sebagai bahan baku industri seperti minuman dan pewarna alami,
manfaat lain adalah dapat meningkatkan sistim imunitas tubuh.
Kurkumin
merupakan salah satu produk senyawa metabolit sekunder dari tanaman Zingiberaceae,
khususnya kunyit dan temulawak. Yang telah di-manfaatkan dalam industri
farmasi, makanan, parfum, dan lain-lain. Ada banyak data dan literatur yang
menun-jukkan bahwa kunyit dan temulawak berpotensi besar dalam aktifitas
farma-kologi yaitu anti imflamatori, anti imunodefisiensi, anti virus (virus
flu burung), anti bakteri, anti jamur, anti oksidan, anti karsinogenik dan anti
infeksi.
Mengingat tingginya permintaan terhadap bahan baku
temulawak, maka diperlukan ketersediaan bahan tanaman dalam jumlah besar. Upaya
penyediaan bahan tanaman dalam jumlah banyak, waktu singkat dan bebas hama dan
penyakit telah diperoleh melalui perbanyakan in vitro. Selain itu pertumbuhan
dan produksi rimpang temulawak hasil nplantlet in vitro juga telah diketahui mampu
memperlihatkan hasil yang cukup optimal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Temulawak ( Curcuma
xanthorrhiza)
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
merupakan salah satu tanaman obat unggulan yang memiliki khasiat multifungsi.
Rimpang induk temulawak berbentuk bulat seperti telur dan berwarna kuning tua
atau cokelat kemerahan dimana bagian dalamnya berwarna jingga kecokelatan
(AFIFAH dan LENTERA, 2003).
Rimpang
tersebut berkhasiat obat yang mampu mengobati berbagai penyakit kelainan pada
hati (lever), kantong empedu dan pankreas. Di samping itu, temulawak juga dapat
menambah nafsu makan, menurunkan kadar kolesterol dalam darah, meningkatkan
sistem imunitas dalam tubuh, berkhasiat antibakteri, anti diabetik, anti
hepatotoksik, anti inflamasi, anti
oksidan, anti tumor, diuretika, depresan, dan
hipolipidemik (Raharjo dan Rostiana, 2003), dan juga anti mikroba, anti
hiperlipidemia dan pencegah kolera (HWANG, 2006). Khasiat lainnya yang dimiliki oleh komponen
kimia adalah anti bakteri (DARUSMAN et al., 2006, Hwang et
al., 2000).
Rimpang temulawak mengandung berbagai komponen kimia
temulawak di antaranya protein, pati, zat warna kuning kurkuminoid, dan minyak
atsiri. Sedangkan kandungan kimia dari minyak atsirinya adalah xanthorhizol
(40%), kamfer, turmerol, felandren, tolilmetilkarbinol, arkurkumen, zingiberen
kuzerenon, germakron dan b-tumeron (Raharjo dan Rostiana, 2003).
Senyawa
xanthorhizol dan kurkumin dalam temulawak inilah yang menyebabkan tanaman ini
menjadi sangat berkhasiat sebagai obat, karena kurkuminoid dapat digunakan
sebagai anti-oksidan, antiinflamasi dan anti-hiperkolesterolemia (Peschel et
al.,2006).
Sebagai
bahan baku obat, selain produksi rimpang tinggi temulawak juga harus bermutu
tinggi. BPOM (2005) menegaskan bahwa obat herbal harus memenuhi persyaratan
yang meliputi mutu, keamanan, dan khasiat. Kecenderungan masyarakat menggunakan
cara pengobatan dengan obat dari bahan alami telah meningkatkan permintaan
benih temulawak. Permintaan terhadap temulawak untuk keperluan industri obat
tradisional di Provinsi Jawa Tengah mencapai 3,14 ton rimpang segar/ tahun
(Kemala et al., 2003).
Menurut Bermawie et al. (2006) sekitar 70%
jamu yang beredar di pasaran mengandung temulawak dan sekitar 70% hasil
produksi temulawak dari Indonesia diekspor ke luar negeri. Kondisi ini memberi
peluang kepada petani sebagai penyedia bahan baku temulawak. Meningkatnya
permintaan rimpang telah mendorong meningkatnya permintaan akan bibit
temulawak. Namun sampai saat ini kebutuhan yang tinggi terhadap bahan tanaman
belum
dapat
dipenuhi sehingga diperlukan alternatif lain untuk penyediaan bahan
tanamandalam jumlah yang cukup. Upaya penyediaan bahan tanaman secara massal
dalam waktu relatif singkat serta bebas hama dan penyakit dapat dilakukan
melalui teknik kultur jaringan. Penggunaan teknik ini masih terkendala oleh
tingginya biaya bahan kimia khususnya zat pengatur tumbuh (ZPT). Keberhasilan
perbanyakan in vitro dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya jenis
media dasar yang digunakan, aplikasi ZPT yang tepat serta kondisi lingkungan
kultur (George, 1993).
Benzyl
Adenin (BA) merupakan salah satu jenis ZPT dari golongan sitokinin yang
berperan dalam proses pembelahan sel. Peran utamanya adalah dalam pemben-tukan
benang gelondong pada proses metafase (George dan Sherington, 1984). Aplikasi
sitokinin dalam perbanyakan tanaman in vitro dapat berasal dari
bahan kimia sintetik maupun bahan alami seperti air kelapa.
Bagian yang berkhasiat dari temu lawak adalah rimpangnya
yang mengandung berbagai komponen kimia di antaranya zat kuning kurkumin,
protein, pati dan minyak atsiri. Pati, salah satu komponen terbesar temu lawak
sering disebut sebagai pati yang mudah dicerna sehingga disarankan digunakan
sebagai makanan bayi. Minyak atsirinya mengandung senyawa phelandren,kamfer,
borneol, sineal, xanthorhizol. Kandungan xanthorizol dan kurkumin ini yang
menyebabkan temulawak sangat berkhasiat (Taryono et al., 1987).
Kurkumin merupakan salah satu produk senyawa
metabolit sekunder dari tanaman Zingiberaceae, khususnya kunyit dan temulawak.
Yang telah di-manfaatkan dalam industri farmasi, makanan, parfum, dan
lain-lain. Ada banyak data dan literatur yang menun-jukkan bahwa kunyit dan
temulawak berpotensi besar dalam aktifitas farma-kologi yaitu anti imflamatori,
anti imunodefisiensi, anti virus (virus flu burung), anti bakteri, anti jamur,
anti
oksidan,
anti karsinogenik dan anti infeksi (Joe et al., 2004; Chattopadhyay et
al., 2004; Araujo dan Leon, 2001).
Senyawa kurkumin
ini, seperti juga senyawa kimia lain seperti anti-biotik, alkaloid, steroid,
minyak atsiri, resin, fenol dan lain-lain merupakan hasil metabolit sekunder
suatu tanaman (Indrayanto, 1987). Tanaman obat dan aromatik dapat menghasilkan
senyawa metabolit sekunder bernilai ekonomi tinggi, seperti
vinblastina/vinkristina pada tanaman tapak dara (Vinca rosea),
ajmalisina, digitalis (Dioscorea sp), kinina pada tanaman kina (Cinchoa
sp.),
kodeina, yasmin
pada tanaman melati (Jasminum sambac), piretrin pada tanaman Piretrum (Pyrethrum
pe-largonium) dan spearmint pada tanam-an mentha (Mentha sp.)
(Harris, 1989).
Dalam
kenyataannya, produksi kurkumin untuk pabrik-pabrik industri sangat dipengaruhi
oleh keberadaan dan pertumbuhan tanaman di lapang yang ditentukan oleh berbagai
faktor lingkungan seperti tanah, nutrisi, iklim serta hama dan penyakit. Salah
satu upaya untuk menghasilkan kurkumin dengan jumlah yang banyak adalah dengan
teknologi kultur jaringan seperti kultur kalus. Ada peluang untuk meningkatkan
kadar kurkumin dalam kultur kalus tanaman kunyit dan temu-lawak dengan in duksi
elisitor.
Dilain pihak,
masyarakat dunia membutuhkan kurkumin untuk obat flu burung sebagai pengganti
Tamiflu. Tetapi Tamiflu terbukti tidak efektif pada suatu kasus di Vietnam dan
men-jadi tidak berguna selain karena mahal juga terjadi resistensi akibat
sebuah mutasi yang sederhana.
2.1
Kandungan Kurkumin Dan Manfaatnya Sebagai Pengganti Tamiflu
Kurkuminoid
adalah kelompok senyawa fenolik yang terkandung da-lam rimpang tanaman famili
Zingibera-ceae antara lain : Curcuma longa syn. Curcuma domestica (kunyit)
dan Cur-cuma xanthorhiza (temulawak). Kurku-minoid bermanfaat untuk
mencegah timbulnya infeksi berbagai penyakit. Kandungan utama dari kurkuminoid
adalah kurkumin yang berwarna ku-ning. Kandungan kurkumin di dalam kunyit
berkisar 3 – 4% (Joe et al., 2004; Eigner dan Schulz, 1999).
Tiga varietas unggul kunyit yang telah
di-lepas Balittro memiliki kadar kurkumin cukup tinggi yaitu 8,7%. Kurkumin
(C2H20O6) atau diferu-loyl methane (Gambar 1) pertama kali diisolasi pada tahun
1815. Kemudian tahun 1910, kurkumin didapatkan ber-bentuk kristal dan bisa
dilarutkan tahun 1913. Kurkumin tidak dapat larut dalam air, tetapi larut dalam
etanol dan aceton (Joe et al., 2004; Chattopadhyay et al., 2004;
Araujo dan Leon, 2001).
Tamiflu adalah salah satu jenis
antibiotik yang digunakan untuk meng-atasi penyakit flu burung merupakan
neuraminidase inhibitor sebuah enzim pada membran virus yang memotong partikel
virus yang menyebabkan sel membran terinfeksi, sehingga virus tidak dapat
berkembang biak di dalam sel atau tubuh manusia yang sudah terinfeksi virus tersebut.
BAB III
PEMBAHASAN
Respon tumbuh dan multiplikasi tunas terbaik diperoleh
pada penggunaan konsentrasi air kelapa 15% (yang disterilisasi dengan autoclave)
menghasilkan jumlah tunas 3,4 tunas/2 bulan, berbeda nyata dengan perlakuan ZPT
sintetik BA 1,5 mg/l yaitu 2,4 tunas. Aplikasi air kelapa sebagai substitusi
Benzyl Adenin menghasilkan respon tumbuh yang bervariasi.
Aplikasi
air kelapa pada konsentrasi 15% yang diautoclave menghasilkan respon
tumbuh dan multiplikasi tunas temulawak terbaik, dengan rataan jumlah
tunas 3,4 buah yang tidak berbeda nyata dengan Benzyl Adenin 1,5 mg/l
pada umur delapan minggu. Konsentrasi ini merupakan konsentrasi
optimal yang mendukung pertumbuhan kultur pada umur 2 bulan. Air kelapa
merupakan zat pengatur tumbuh alami yang banyak digunakan dalam perbanyakan
in vitro berbagai tanaman hias di antaranya anggrek karena
memiliki ZPT sitokinin.
Dalam
air kelapa terdapat vitamin C, asam nikotianat, asam folat, asam pantotenat,
biotin, riboflavin (ANON., 2007).
Komponen tersebut yang mendorong pertumbuhan kultur
sehingga fungsi sitokinin sintetik dapat digantikan oleh air kelapa. Aplikasi
air kelapa 15% juga efektif pada multiplikasi tunas tanaman krisan in vitro
(MANDANG, 1993).
Model perbanyakan in vitro dapat dikembangkan
dari awal benih sebanyak 20 kg sebagai sumber eksplan, sehingga dalam waktu
delapan bulan akan diperoleh benih
temulawak
in vitro sebanyak 30.000 tunas. Dari hasil perhitungan efisiensi media
cair dapat diketahui bahwa penggunaan media dasar MS cair yang diperkaya zat pengatur
tumbuh (ZPT) alami air kelapa konsentrasi 15% lebih murah Rp. 1 dibandingkan
dengan media dasar MS cair yang diperkaya ZPT sintetik Benzyl Adenin 1,5 mg/l, dengan
harga jual benih di tingkat laboratorium sebesar Rp.322,87/tanaman. Tetapi
apabila menggunakan air kelapa dari limbah pasar, harga jual benih akan lebih
murah Rp. 4,646 dibandingkan dengan media dasar MS cair yang diperkaya ZPT
sintetik Benzyl Adenin 1,5 mg/l. Walaupun secara finansial perbedaan harga jual
benih tidak terlalu signifikan, namun bila penggunaan bahan BA sintetik akan
banyak menemui kendala di antaranya bahan BA yang tidak selalu ready stock (memerlukan
proses yang lebih lama) yang secara ekonomis bila dikalkulasi antara waktu,
biaya, dan target yang akan dicapai akan memberikan dampak yang sangat
signifikan.
Respon pemupukan memberikan hasil yang berbedabeda
terhadap parameter pertumbuhan. Jumlah anakan, tinggi tanaman, jumlah dan
panjang daun tidak dipengaruhi oleh pemupukan, sedangkan lebar daun pada
pemupukan taraf 4 dan 5 serta lingkar batang pada pemupukan taraf 5
memperlihatkan pengaruh yang berbeda dengan kontrol (tanpa pemupukan).
pupuk
kandang kambing maupun pupuk buatan, tidak berpengaruh terhadap banyaknya
anakan temulawak yang dihasilkan, begitu juga tinggi tanaman, panjang maupun jumlah
daun. Berarti daya tumbuh rimpang hasil rimpang kultur jaringan sangat tinggi
sehingga tanpa pemberian pupuk mampu menghasilkan pertumbuhan yang optimal. Hasil
penelitian ini berbeda dibandingkan pertumbuhan rimpang jahe hasil kultur
jaringan generasi kedua yang pertumbuhannya tidak optimal tanpa pemberian pupuk
kandang maupun pupuk buatan (HOBIR et al., 1998).
DAFTAR PUSTAKA
ROSITA,
S.M.D., M. RAHARDJO dan U. KOSASIH, 2005. Pola pertumbuhan dan serapan hara N,
P dan K tanaman bangle (Zingiber purpureum Roxb.). Tidak diterbitkan, 12p.
SALISBURY,
F. B and C. W. ROSS, 1992. Plant Physiology 4 th edition, Co A division of
Wadsworth. Inc. 241p.
SETYONO,
R.T dan N. AJIJAH, 2002. Evaluasi beberapa sifat agronomi plasma nutfah
temulawak (Curcuma xanthorrhiza). Buletin Penelitian Tanaman Rempahdan Obat.
XIII (2) : 7-12.
TARYONO.,
E. M. RAHMAT, S dan A. SARDINA, 1987. Plasma Nutfah Tanaman Temu-temuan. Edisi
Khusus Ballittro. 3 (1) ;47-56.
YUSRON,
M and M. JANUWATI, 2004a. Improvement phosphate use efficiency on East Indian
galanga production. Proceeding of International Symposium on Biomedicines,
Bogor. 18th – 19th September 2003. Biofarmaca Research Center Bogor Agric. Univ.
p. 156-163.
YUSRON,
M dan M, JANUWATI, 2004b. Perbaikan efisiensi pemupukan P pada jahe emprit.
Seminar Indonesian Biopharmaca Exhibition and Congress. Yogyakarta, 14-18 Juli
2004. 9p.
AFIFAH
E, dan T. LENTERA. 2003. Khasiat dan Manfaat Temulawak : Rimpang Penyembuhan
Aneka Penyakit. Jakarta. Agromedia Pustaka.
ANONYMOUS.
2007. Kasiat kelapa. http://tabulampot. wordpress. com/page21. Diakses tanggal
02 Pebruari 2009.
BADAN
PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN (BPOM). 2005. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan, Nomor. HK.00.05.41.1384, Tahun 2005 tentang Kriteria dan Tata
Laksana Pendaftaran Obat Tradisional. Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka.
BPOM
Jakarta.
BERMAWIE,
N., M. RAHARDJO, D. WAHYUNO, dan MAKMUN. 2006. Status teknologi budidaya dan
pasca panen tanaman kunyit dan temulawak sebagai penghasil kurkumin. EDSUS
Littro. 2(4) : 84-99.
BEY,
Y., W. SYAFII, dan SUTRISNA. 2006. Pengaruh pemberian Giberalin (GA3) dan air
kelapa terhadap perkecambahan bahan biji anggrek bulan (Phalaenopsis
amabilis BL.) secara in vitro. Jurnal Biogenesis. 2(2): 41-46.
DARUSMAN
L.K, E. DJAUHARI, dan W. NURCHOLIS. 2006. Kandungan xantorhizol temulawak (Curcuma
xanthorrhiza roxb.) pada berbagai cara budidaya dan masa tanam. Dalam
Prosiding Seminar Tumbuhan Obat Indonesia XXXIX. Fakultas Kedokteran UNS.
24-25
Maret 2006. Surakarta. Universitas Sebelas Maret. pp. 567-580.
ERMIATI.
2009. Analisis efisiensi biaya dan penentuan skala usaha produksi benih unggul
temulawak sehat dan murah melalui kultur jaringan. Laporan Penelitian Dikti
2009. (tidak dipublikasi).
GEORGE,
E.F. 1993. Plant propagation by Tissue Culture. Part I. The Technology.
Edington, Wilts, Exegetics Ltd, BA 134QG. England.
GEORGE,
E. F. and P.D. SHERINGTON. 1984. Plant propagation by tissue culture. Exegetics
Ltd, England.
HERNANI.
2009. Komunikasi pribadi.
HWANG,
J.K. 2006. Xanthorrizol; A New Bioactivity Natural Compound. Yonsei : Department
of Biotecnology, Yonsei University.
HWANG
J.K., J.S. SHIM, YR. PYUN. 2000. Antibachterial activity of xanthorrhizol from Curcuma
xanthorrhiza against oral pathogens. Fitoterapia 71 : 312-
323.
KEMALA,
S., SUDIARTO, E.R. PRIBADI, J.T. YUHONO, M. YUSRON, L. MAULUDI, M. RAHARDJO, Y.
FERRY, B. WASKITO, dan H. NURHAYATI. 2003. Studi Serapan
Pasokan
dan Pemanfaatan Tanaman Obat di Indonesia. Laporan Teknis Penelitian. Balai
Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat, Bogor 2: 143-241.
KATUUK,
J.R.P. 2000. Aplikasi mikropropagasi anggrek macan (Gram matohyllum Scriptum).
Jurnal Penelitian IKIP Manado. I(IV): 290-298.
MANDANG,
J.P. 1993. Peranan Air Kelapa Dalam Kultur Jaringan Tanaman Krisan (Chrysanthemum
morifolium Ramat). Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor. 113p.
0 komentar:
Posting Komentar