BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di
Indonesia akhir-akhir ini semakin meningkat seiring dengan meningkatnya
angkutan transportasi berbahan bakar minyak dan mesin lainnya yang menggunakan
bahan bakar minyak. Sampai saat ini Indonesia bukan lagi sebagai pengekspor
minyak bumi tapi justru sekarang Indonesia sebagai pengimpor minyak dari luar
negeri khususnya dari Arab (Sumanto, 2005). Untuk itu perlu dicarikan sumber
alternatif dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan salah satu
tanaman yang memiliki potensi sebagai sumber bahan bakar nabati (BBN).
Bahan bakar nabati berasal jarak pagar
memiliki beberapa kelebihan. Keuntungan yang dimiliki jarak pagar dibandingkan
dengan tanaman lainnya karena tanaman ini hanya memiliki sedikit fungsi lain
dan terbatas, sehingga persaingan penggunaannya juga terbatas. Selain ramah
lingkungan minyak jarak pagar bukan termasuk minyak yang dapat dimakan (edible
oil) sehingga harga bahan bakunya lebih murah dan tidak bersaing dengan
pangan (Puslitbangbun, 2007).
Untuk mengatasi permasalahan ini
diperlukan budidaya kultur jaringan (in vitro). Kultur jaringan tanaman
merupakan teknik menumbuhkembangkan bagian tanaman, baik berupa sel, jaringan,
atau organ dalam kondisi kultur yang aseptik secara in vitro (Yusnita,
2004). Perbanyakan secara kultur jaringan akan menawarkan peluang besar untuk
menghasilkan jumlah bibit yang banyak dalam waktu relatif singkat. Selain itu
kultur jaringan juga dapat mempertahankan sifat induk yang unggul dan dapat
menghasilkan bibit yang bebas cendawan, bakteri, virus dan hama penyakit
(Prihandana dan Hendroko, 2006).
Prinsip
dari teknik kultur jaringan ini adalah bahwa semua bagian tanaman baik berupa
sel, jaringan, dan organ tanaman, dapat menjadi tanaman baru apabila
ditumbuhkan dalam kondisi yang aseptik, dengan cara steril. Teknik kultur
jaringan jarak pagar akan berhasil dengan baik apabila syarat – syarat yang
diperlukan terpenuhi. Teknik tersebut meliputi pemilihan eksplan sebagai bahan
tanam, penggunaan medium yang cocok, keadaan yang aseptik, dan pengaturan udara
yang baik (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Salah satu faktor yang mempengaruhi
berhasil tidaknya pengadaan bibit jarak pagar melalui kultur jaringan adalah
adanya zat pengatur tumbuh (ZPT). Namun, kandungan hormon pada tanaman juga
harus diperhatikan. Hormon pada tanaman disebut juga fitohormon. Menurut
(Pierik, 1987) fitohormon adalah senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh tanaman
tingkat tinggi secara endogen. Senyawa tersebut berperan merangsang dan
meningkatkan pertumbuhan serta perkembangan sel, jaringan, dan organ tanaman
menuju arah diferensiasi tertentu. Senyawa-senyawa lain yang memiliki
karakteristik yang sama dengan hormon, tetapi diproduksi secara eksogen,
dikenal sebagai ZPT. Wetter dan Constabel (1991) mengemukakan bahwa salah satu
senyawa yang paling sering digunakan untuk menginduksi pembelahan sel adalah asam
2,4-diklorofenoksiasetat (2,4-D). Dalam budidaya in vitro,
menginduksi kalus merupakan salah satu langkah penting. Jika endosperm tanaman
dikotil dipakai dan pada medium ditambahkan hormon dari kelompok auksin yaitu
2,4-D atau IAA, maka harus ditambahkan pula hormon dari kelompok sitokinin
yaitu kinetin atau BAP (Suryowinoto, 1996).
1.2
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas,
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan konsentrasi BAP dan 2,4-D
yang tepat untuk menginduksi kalus jarak pagar secara in vitro.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Jarak
pagar
Tanaman
jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan tanaman asli Amerika Tengah
yang saat ini telah menyebar ke seluruh dunia terutama daerah tropika (Makkar et
al., 1998 cit. Widyawati, 2010). Tanaman jarak pagar mulai banyak
ditanam di Indonesia sejak masa penjajahan Jepang untuk membudidayakan tanaman
jarak. Hasilnya yang berupa biji digunakan untuk membuat bahan bakar bagi
pesawat-pesawat tempur Jepang. Oleh karenanya dalam waktu singkat tanaman jarak
pagar menyebar cukup luas, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Wilayah
Jawa Tengah meliputi daerah Semarang serta Solo dan sekitarnya. Sementara,
wilayah Jawa Timur meliputi Madiun, Lamongan, Bojonegoro, Besuki, dan Malang.
Dalam perkembangan selanjutnya, tanaman jarak pagar meluas sampai di Kawasan
Indonesia Timur, seperti Nusa Tenggara, Sulawesi, dan sebagainya. Jadi,
nama-nama lokal untuk jarak pagar dapat ditemukan di daerah-daerah (Nurcholis
dan Sumarsih, 2007).
Jarak
pagar termasuk famili Euphorbiaceae, satu famili dengan karet dan ubi kayu.
Klasifikasi tanaman jarak pagar adalah sebagai berikut (Hambali et al.,
2006).
Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Klasis : Dicotyledoneae
Ordo
: Euphorbiales
Familia
: Euphorbiaceae
Genus
: Jatropha
Spesies
: Jatropha curcas L.
Menurut
Kusuma (2009), tanaman jarak pagar memiliki beberapa nama daerah (lokal) antara
lain jarak budeg, jarak gundul, arak cina (Jawa); baklawah, nawaih (NAD);
dulang (Batak); jarak kosta (Sunda); jarak kare (Timor); peleng kaliki (Bugis);
kalekhe paghar (Madura); jarak pager (Bali); lulu mau, paku kase, jarak pageh
(Nusa Tenggara); kuman nema (Alor); jarak kosta, jarak wolanda, bindalo,
bintalo, tondo utomene (Sulawesi); dan ai huwa kamala, balacai, kadoto
(Maluku). Tanaman jarak pagar termasuk perdu dengan tinggi 1-7 m, bercabang
tidak teratur. Batangnya berkayu, silindris dan bila terluka akan mengeluarkan
getah.
Jarak
pagar tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian sekitar 500 mdpl. Curah hujan
yang sesuai untuk tanaman jarak pagar adalah 625 mm/tahun. Namun, tanaman ini
dapat tumbuh pada daerah dengan curah hujan antara 300–2.380 mm/tahun. Kisaran
suhu yang sesuai untuk tanaman jarak adalah 20–26oC. Pada daerah dengan suhu
terlalu tinggi (di atas 35oC) atau terlalu rendah (di bawah 15oC) akan
menghambat serta mengurangi kadar minyak dalam biji dan mengubah komposisinya
(Hambali et al., 2006).
Biasanya
jarak pagar ditanam sebagai tanaman hias atau tanaman pagar yang serba guna,
meskipun manfaatnya yang paling menonjol adalah sebagai tanaman obat. Para
pakar botani menggolongkannya sebagai tanaman perdu. Tingginya biasanya 3-6
meter, terkadang juga bisa mencapai tinggi lebih dari itu pada lahan yang subur
dan perkembangannya tidak terganggu (terutama oleh manusia). Daunnya biasanya
berlekuk 3-5, terkadang ada yang sampai 7. Lekukan bisa dangkal atau agak dalam.
Panjang helaiannya 10-19 cm, urat daun menjari, warna helaian daun hijau muda
sampai hijau tua polos. Warna pucuk daun kebanyakan hijau muda tetapi ada juga
yang kecoklatan atau kemerahan. Kedudukan daun berselang-seling, sekilas
seperti berhadapan melingkari batang (spiral). Bunganya muncul di bagian ujung
batang, pada ketiak daun. Panjang tangkai bunga 3-12 cm. Bunga jantan dan
betina terpisah, terdapat di ujung-ujung tangkai bunga. Bunga betina sedikit
lebih besar dibandingkan dengan jantan. Bunganya berwarna kuning kehijauan
(Prana, 2006).
Menurut
penelitian Saparni (2007), jumlah cabang primer jarak pagar antara lima sampai
delapan. Berdasarkan bunga yang dimiliki, tanaman jarak pagar dapat dibedakan
atas tiga macam. Karakter pertama, tanaman hanya memiliki bunga jantan
saja.Karakter kedua, tanaman memiliki bunga jantan dan betina dalam satu
tanaman. Karakter ketiga, tanaman memiliki bunga jantan dan hermaphrodith dalam
satu tanaman. Jumlah kapsul per pohon antara 3 sampai 72 kapsul.Bentuk kapsul bulat,
oblong, dan ovoid. Jumlah biji per kapsul tiga, berat kering rata-rata
20 biji antara 9 sampai15 kg.
Sumanto
(2005), menyebutkan kelebihan minyak jarak pagar dibanding dengan solar adalah
pada minyak jarak pagar banyak terdapat oksigen sehingga pembakarannya
sempurna. Hal ini menimbulkan gas buangan yang lebih bersih dan tidak
berbahaya. Sementara solar tidak memiliki oksigen sehingga gas buangnya
berkarbon monoksida, berasap, kotor, dan berbahaya.
B.
Kultur In Vitro
Kultur
jaringan didefinisikan sebagai suatu teknik menumbuhkembangkan bagian tanaman,
baik berupa sel, jaringan, atau organdalam kondisi aseptik secara in vitro,
yang dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media kultur buatan
dengan kandungan nutrisi lengkap dan ZPT (Zat Pengatur Tumbuh) serta kondisi
ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol (Yusnita, 2004).
Pengetahuan
yang baik tentang kebutuhan hara sel dan jaringan yang dikulturkan akan
mempengaruhi keberhasilan dalam teknologi serta penggunaan metode in vitro.
Hara yang terdapat dalam media terdiri atas komponen utama meliputi garam
mineral, sumber karbon (gula), vitamin dan zat pengatur tumbuh (Wetter dan
Constabel, 1991).
Aplikasi
kultur jaringan pada awalnya ialah untuk propagasi tanaman. Selanjutnya
penggunaan kultur jaringan lebih berkembang lagi yaitu untuk menghasilkan
tanaman yang bebas penyakit, koleksi plasma nutfah, memperbaiki sifat genetika
tanaman, produksi dan ekstaksi zat-zat kimia yang bermanfaat dari sel–sel yang
dikulturkan (George dan Sherrington, 1984).
Sifat
kompeten, dediferensiasi dan determinasi sel atau jaringan eksplan sangat
penting agar terjadi organogenesis atau embriogenesis pada eksplan. Suatu sel
atau jaringan dikatakan kompeten jika sel atau jaringan tersebut mampu
memberikan tanggapan terhadap signal lingkungan atau signal hormonal. Bentuk
tanggapannya berupa pertumbuhan dan perkembangan diri yang mengarah ke proses
organogenesis atau embriogenesis. Eksplan yang dikondisikan di lingkungan dengan
penambahan ZPT yang cocok akan menjadi kompeten untuk membentuk organ atau
embrio. Istilah lain proses ini adalah induksi (inductive event).
Dediferensiasi adalah berubah kembalinya fungsi sel-sel yang tadinya sudah
terdiferensiasi menjadi tidak terdiferensiasi. Sedangkan determinasi adalah
tertentukan nasibnya. Contohnya, sel atau jaringan eksplan yang dikulturkan
terdeterminasi menjadi organ atau embrio (Yusnita, 2004).
Perbanyakan
tanaman melalui kultur jaringan (in vitro) menawarkan peluang besar untuk
menghasilkan jumlah bibit tanaman yang banyak dalam waktu relatif singkat
sehingga lebih ekonomis. Teknik perbanyakan tanaman ini dapat dilakukan
sepanjang waktu tanpa tergantung musim. Selain itu, perbanyakan tanaman dengan
teknik in vitro mampu mengatasi kebutuhan bibit dalam jumlah besar,
serentak, dan bebas penyakit sehingga bibit yang dihasilkan lebih sehat serta
seragam. Oleh sebab itu, kini perbanyakan tanaman secara kultur jaringan
merupakan teknik alternatif yang tidak dapat dihindari bila penyediaan bibit
tanaman harus dilakukan dalam skala besar dan dalam waktu relatif singkat
(Hambali et al., 2006).
Teknik
kultur in vitro mempunyai keuntungan diantaranya menghemat waktu dan
tenaga (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Keuntungan lain yang dapat diperoleh
menurut Suryowinoto (1996) adalah tidak tergantung musim, dapat diproduksi
dalam jumlah cukup banyak dengan kondisi terkontrol dan dapat diproduksi sesuai
dengan kebutuhan.
C. Zat
Pengatur Tumbuh
Zat
pengatur tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam
jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat dan dapat merubah proses fisiologi
tumbuhan. Zat pengatur tumbuh dapat dibagi menjadi beberapa golongan yaitu
golongan auksin, sitokinin, giberelin dan inhibitor. Zat pengatur tumbuh yang
tergolong auksin adalah Indol Asam Asetat (IAA), Indol Asam Butirat (IBA),
Naftalaen Asam Asetat (NAA) dan 2,4 Dikhlorofenoksiasetat (2,4-D). Zat pengatur
tumbuh yang termasuk golongan sitokinin adalah Kinaetin, Zeatin, Ribosil dan
Bensil Aminopurin (BAP). Sedangkan golongan giberelin adalah GA1, GA2, GA3,
GA4, dan golongan inhibitor adalah fenolik dan asam absisik (Hendaryono dan
Wijayani, 1994).
Zat
pengatur tumbuh yang banyak digunakan dalam kultur jaringan adalah auksin dan
sitokinin. Salah satu zat pangatur tumbuh yang digolongkan auksin adalah asam
2,4-D. Peran auksin adalah merangsang pembelahan dan perbesaran sel yang
terdapat pada pucuk tanaman dan menyebabkan pertumbuhan pucuk-pucuk baru.
Penambahan auksin dalam jumlah yang lebih besar, atau penambahan auksin yang
lebih stabil, seperti asam 2,4-D cenderung menyebabkan terjadinya pertumbuhan
kalus dari eksplan dan menghambat regenerasi pucuk tanaman (Wetherell, 1987).
Pemakaian zat pengatur tumbuh asam 2,4-D biasanya digunakan dalam jumlah kecil
dan dalam waktu yang singkat, antara 2-4 minggu karena merupakan auksin kuat,
artinya auksin ini tidak dapat diuraikan di dalam tubuh tanaman (Hendaryono dan
Wijayani, 1994). Sebab pada suatu dosis tertentu asam 2,4-D sanggup membuat
mutasi-mutasi (Suryowinoto, 1996).
Sitokinin
adalah senyawa yang dapat meningkatkan pembelahan sel pada jaringan tanaman
serta mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sama halnya dengan kinetin
(6-furfurylaminopurine) (Zulkarnain, 2009). Sitokinin berperan merangsang
pertumbuhan sel dalam jaringan yang disebut eksplan dan merangsang pertumbuhan
tunas daun (Wetherell, 1987).
Penentuan
ZPT yang akan digunakan memerlukan pengetahuan tentang cara menghitung
dosisnya. Hal ini sangat penting karena apabila perhitungannya keliru dapat
berakibat fatal bagi pertumbuhan jaringan. ZPT dengan dosis yang terlalu tinggi
dapat menghambat pertumbuhan kalus (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Pada umunya
media perbanyakan in vitro yang menggunakan zat pengatur tumbuh dari
golongan sitokinin, seperti BAP merupakan salah satu zat pengatur tumbuh yang
banyak digunakan untuk memacu pembentukan tunas dengan daya aktivitas yang kuat
mendorong proses pembelahan sel (George dan Sherrington, 1984).
Salah
satu jenis ZPT dari golongan sitokinin yang sering dipakai dalam kultur
jaringan yaitu BAP (6-benzylaminopurine). Menurut George & Sherrington
(1984) 6-Benzilaminopurine (BAP) merupakan salah satu sitokinin sintetik yang
aktif dan daya merangsangnya lebih lama karena tidak mudah dirombak oleh enzim
dalam tanaman. Menurut Noggle dan Fritz (1983) BAP memiliki struktur yang mirip
dengan kinetin dan juga aktif dalam pertumbuhan dan proliferasi kalus, sehingga
BAP merupakan sitokinin yang paling aktif.
Menanam
organ tanaman dalam media dengan penambahan 2,4-D menyebabkan pada kalus akan
terbentuk tunas dan akar. Tetapi, 2,4-D ini mempunyai kelemahan juga, sebab
tanaman yang dibudidayakan dapat mengalami mutasi sehingga terjadi banyak
variasi genetik. Untuk tujuan cloning hal ini tentu saja merugikan, tetapi
apabila tujuannya untuk mendapatkan variabel pada tanaman umur pendek, maka
penambahan dengan 2,4-D dosis tinggi dapat ditempuh (Hendaryono dan Wijayani,
1994). Secara umum diketahui bahwa auksin dalam konsentrasi tinggi mendorong
embrio somatik secara efektif. Hasil pada embriogenesis somatik langsung telah
menunjukkan bahwa BAP sangat penting untuk menginduksi embriogenesis somatik
dari kotiledon eksplan J. curcas. Namun, Ramasamy et al., (2005)
cit. Kalimuthu et al., (2007) melaporkan bahwa auksin dalam
kombinasi dengan sitokinin sangat mempengaruhi frekuensi dan juga memiliki
dampak yang signifikan terhadap pematangan embrio somatik. Embrio somatik ialah
embrio yang berasal dari sel-sel somatik (tidak merupakan hasil peleburan gamet
jantan dan gamet betina).
Pada
penelitian Nofiyanti (2007) menyatakan bahwa perlakuan IBA dan BA mampu
menumbuhkan tunas dan daun Jatropha curcas L., tetai tidak mampu
menumbuhkan akar, demikian halnya dengan kalus juga tidak berkembang. Sedangkan
pada penelitian Hanifah (2007) mengungkapkan bahwa induksi kalus tercepat
terdapat pada media dengan penambahan NAA 0,5 ppm dan BAP 1 ppm (N2B2) dan
penambahan NAA 0,5 ppm dan BAP 2 ppm (N2B3).
BAB III
Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari isi makalah tentang
kultur jaringan tanaman jarak pagar ini adalah :
1. Tanaman
jarak pagar ditanam sebagai tanaman hias atau tanaman pagar yang serba guna,
meskipun manfaatnya yang paling menonjol adalah sebagai tanaman obat.
2. Bunga
tanaman jarak pagar dapat dibedakan atas tiga macam yaitu 1. Hanya memiliki
bunga jantan saja, 2. Memiliki bunga jantan dan betina dalam satu tanaman, 3. Memiliki
bunga jantan dan hermaphrodith dalam satu tanaman.
3. Kelebihan
minyak jarak pagar dibanding dengan solar adalah pada minyak jarak pagar banyak
terdapat oksigen sehingga pembakarannya sempurna.
4. Teknik
perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan (in-vitro) ini dapat dilakukan sepanjang waktu tanpa tergantung
musim.
5. Zat
pengatur tumbuh yang banyak digunakan dalam kultur jaringan adalah auksin dan
sitokinin
6. Kalus
yang dihasilkan dari kultur jaringan tanaman jarak pagar biasanya berwarna
hijau kekuningan dan bertekstur remah.
DAFTAR
PUSTAKA
Dwiyono,
E. 2009. Induksi Kalus Tanaman Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.)
Boerl.) dengan Perlakuan Kondisi Gelap dan 2,4-D. Skripsi Fakultas
Pertanian UNS. Surakarta.
Fatmawati,
A. 2008. Kajian Konsentrasi BAP dan 2,4-D terhadap Induksi Kalus Tanaman Artemisia
annua L. secara In Vitro. Skripsi Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.
Fitriani,
H. 2008. Kajian Konsentrasi BAP dan NAA terhadap Multiplikasi Tanaman
Artemisia annua L. secara In Vitro. Skripsi Fakultas Pertanian UNS.
Surakarta.
George,
E. F. dan P. D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Eastern
Press. England.
Gustian.
2009. Upaya Perbanyakan Tanaman Penghasil Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk)
secara In Vitro. http://repository.unand.ac.id/562/1/. Diakses 19
Agustus 2010.
Hambali,
E., A. Suryani, Dadang, Hariyadi, H. Hanafie, I. K. Reksowardojo, M. Rivai, M.
Ihsanur,
P. Suryadarma, S. Tjitrosemito, T. H. Soerawidjaja, T. Prawitasari, T. Prakoso,
dan W. Purnama. 2006. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodiesel. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Hanifah,
N. 2007. Pengaruh Konsentrasi NAA dan BAP terhadap Pertumbuhan Eksplan Jarak
Pagar (Jatropha curcas L.) secara In Vitro. Skripsi Fakultas
Pertanian UNS. Surakarta.
Hariyanti,
E., R. Nirmala, dan Rudarmono. 2004. Mikropropagasi Tanaman Pisang Talas dengan
Naphtalene Acetic Acid (NAA) dan Benzyl Amino Purine (BAP). Jurnal Budidaya
Pertanian 10 (1): 26-34.
Hendaryono,
D. P. S. dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Kanisius.
Yogyakarta.
Kalimuthu,
K., S. Paulsamy, R. Senthilkumar dan M. Sathy. 2007. In vitro Propagation of
the Biodiesel Plant Jatropha curcas L. Plant Tissue Culture &
Biotechnology Journal 17(2): 137-147
1 komentar:
Sama-sama gan. Semoga bermanfaat :D
Posting Komentar