Kultur Embrio Dan Penggandaan
Kromosom Hasil Persilangan Kacang Hijau Dan Kacang Hitam
Persilangan antarspesies sangat
ditentukan oleh kedekatan hubungan kekerabatannya. Hubungan kekerabatan kedua
tetua yang makin dekat meningkatkan keberhasilan persilangan, sebaliknya
hubungan yang makin jauh akan memperkecil keberhasilan persilangan. Penggunaan
tiga varietas kacang hitam dimaksudkan untuk menilai varietas yang paling
sesuai disilangkan secara resiprokal dengan kacang hijau serta menghasilkan
biji yang dapat berkecambah sehingga diperoleh tanaman F1 yang fertil. Ketiga
aksesi kacang hitam yang digunakan memiliki ketahanan yang cukup tinggi
terhadap penyakit kudis. Keberhasilan persilangan kacang hijau varietas Walet
dengan tiga nomor kacang hitam VR-35, VR-34, dan lokal Madura No. 19/1 pada
umumnya masih rendah (Tabel 1). Hal ini ditunjukkan oleh persentase polong yang
dapat dipanen (umur 3 minggu setelah polinasi) yang hanya 21,7-51,3%.
Persentase keberhasilan polinasi cukup tinggi dengan kisaran 72,5-90,0%. Hal
ini menunjukkan bahwa hubungan kekerabatan kacang hijau dan kacang hitam cukup
dekat.
Hambatan genetik kurang berpengaruh
fertilisasi, tetapi hambatan genetik ini berpengaruh nyata setelah fertilisasi
(postzygotic barriers). Hal ini ditandai dengan tingginya polong muda yang
gugur hingga hari ke-21 setelah polinasi, mencapai 76,5%. Gugur polong terjadi
sejak hari pertama hingga 3 minggu setelah polinasi, bahkan polong yang sudah
berbiji pun dapat gugur. Pada polong yang gugur, embrio umumnya kisut sehingga
tidak dapat dikulturkan. Gugurnya polong muda dapat disebabkan oleh
inkompatibilitas setelah fertilisasi, karena endosperma gagal berkembang
sehingga tidak dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan embrio. Kegagalan
pertumbuhan endosperma dapat disebabkan oleh laju pembelahan sel yang rendah
atau bahkan terhenti sehingga mengakibatkan terjadinya degradasi jaringan
endosperma yang sudah terbentuk (Hadley dan Openshaw 1980).
Pertumbuhan embrio sangat bergantung pada
endosperma sebagai sumber nutrisi. Persentase keberhasilan pembentukan polong
tertinggi (51,3%) diperoleh dari persilangan kacang hijau dengan kacang hitam
lokal Madura No. 19/1. Polong muda yang gugur juga paling rendah (32,1%)
dibandingkan persilangan dengan VR-34 dan VR-35. Penampakan polong hasil
persilangan ini kurang baik dibanding persilangan lainnya bahkan jumlah biji
kisut pada setiap polong paling banyak. Kualitas polong yang paling baik
dihasilkan dari persilangan Walet dengan VR-35. Polong dapat berbiji dengan
jumlah biji kisut hanya sedikit bahkan hampir tidak ada, kualitas bijinya baik
dengan kotiledon yang terbentuk sempurna. Namun, persilangan Walet dengan VR-35
sulit dilakukan dengan keberhasilan persilangan hingga terbentuk polong hanya
21,7%, embrio yang gugur cukup tinggi (76,5%), tetapi keberhasilan polinasinya
tertinggi (90%). Pada kacang-kacangan, pertumbuhan embrio sangat bergantung
pada endosperma sebagai sumber nutrisi. Persentase keberhasilan pembentukan
polong tertinggi (51,3%) diperoleh dari persilangan kacang hijau dengan kacang
hitam lokal Madura No. 19/1.Pembentukan biji bervariasi dari normal hingga
tidak normal (pengisian biji tidak maksimal) sehingga biji kisut atau hanya
berisi ovul yang membengkak (tidak dibuahi) yang akhirnya gugur. Warna kulit
biji hasil persilangan mengikuti warna kulit biji tetua kacang hijau yaitu
hijau kecoklatan.
Embrio diisolasi dari polong yang
terbentuk dengan mengupas kulit biji, kemudian ditanam pada medium
perkecambahan. Embrio yang berhasil diisolasi memiliki kualitas yang beragam,
dari normal (embrio dengan endosperma-kotiledon) hingga tidak normal (biji yang
tidak memiliki embrio atau biji hampa). Menurut Miyazaki et al. (1984), biji
hasil persilangan kacang hijau (tetua betina) dengan kacang hitam tetua jantan)
berbentuk normal hingga tidak normal, kadang biji pecah dengan kotiledon
menonjol atau pengisian biji (kotiledon) tidak maksimal sehingga tampak kisut.
Hasil persilangan juga menunjukkan bahwa kacang dan kacang hitam mempunyai
hubungan kekerabatan yang relatif dekat karena persilangan dapat menghasilkan
F1 yang berkecambah. Namun, tingkat kedekatan tiga aksesi/varietas kacang hitam
yang digunakan bervariasi, di mana aksesi VR-35 memiliki hubungan yang paling
dekat dengan kacang hijau dibandingkan aksesi VR-34 dan lokal Madura No. 19/1.
Kultur Embrio
Pengaruh umur polong setelah polinasi pada kultur embrio hasil
persilangan antarspesies, umur embrio saat dikulturkan sangat mempengaruhi
keberhasilan persilangan, mengingat embrio yang gugur sangat tinggi dan hal ini
tidak dapat diduga sebelumnya. Pada penelitian ini, keguguran polong/ embrio
berlangsung sejak hari pertama sampai hari ke- 21 setelah polinasi. Di lain
pihak, penanaman embrio yang masih sangat muda menghadapi kendala teknis
sulitnya mengisolasi embrio dari polong karena ukuran embrio sangat kecil.
Selain itu, penanaman embrio yang sangat muda memerlukan formulasi media yang
lebih kompleks.
Penggunaan embrio yang lebih matang
akan mempermudah isolasi serta formulasi media yang digunakan lebih sederhana,
tetapi embrio yang gugur (embrio tidak berkecambah) akan meningkat. Pada penelitian ini, embrio
dipanen pada umur 1, 2, dan 3 minggu setelah polinasi karena pemasakan embrio
kacang hijau berkisar antara 4-6 minggu, sementara kacang hitam 6-9 minggu.
Diharapkan sampai umur 3 minggu setelah polinasi, embrio belum gugur tetapi
cukup matang untuk berkecambah dan mudah diisolasi. Semua embrio hasil
persilangan kacang hijau dan kacang hitam dapat berkecambah pada media yang
digunakan (Tabel 2). Persentase perkecambahan cenderung meningkat seiring
dengan bertambahnya umur embrio yang dikulturkan.
Peningkatan umur embrio juga mempercepat
waktu perkecambahan karena embrio lebih matang. Persentase perkecambahan hasil
persilangan tiga nomor kacang hitam pada umur embrio yang sama beragam.
Persentase perkecambahan terbaik (55,13%) diperoleh dari embrio umur 3 minggu
dari tetua jantan kacang hitam VR-35, dengan rata-rata waktu perkecambahan 5,4
hari setelah tanam. Perkecambahan hampir tidak terjadi pada embrio umur 3
minggu dengan tetua jantan kacang hitam VR-34, dan embrio yang berhasil berkecambah
memerlukan waktu 29 hari setelah tanam. Biji hasil persilangan dengan tetua
jantan VR-34 umumnya memiliki kulit yang pecah karena pertumbuhan kotiledon
sangat pesat sehingga menghambat pertumbuhan embrio aksis.
Hal ini menunjukkan bahwa embrio
dengan kondisi yang tidak sempurna (embrio terhambat oleh kotiledon) memerlukan
waktu yang lebih lama untuk berkecambah. Hasil yang sama diperlihatkan oleh
embrio umur 1 minggu hasil persilangan dengan kacang hitam VR-35 dan lokal
Madura No. 19/1, masing-masing 31,4 dan 30,5 hari. Persilangan dengan tetua
jantan kacang hitam VR-35 menghasilkan perkecambahan yang cukup baik pada semua
umur embrio dan media yang digunakan. Penggunaan embrio yang makin tua akan
meningkatkan persentase embrio berkecambah serta mempersingkat waktu
perkecambahan. Hal ini sesuai dengan Pierik (1987) yang menyatakan bahwa kultur
embrio matang lebih sederhana/mudah dibandingkan dengan kultur embrio muda.
Pada umur 3 minggu setelah polinasi, kondisi embrio cukup baik dengan kotiledon
yang sempurna.
Beberapa embrio memiliki kotiledon
yang besar sehingga kulit biji agak merekah, hal itu tidak mengganggu
perkecambahan. Dengan
kondisi embrio yang hampir sempurna, embrio tidak memerlukan waktu yang lama
untuk berkecambah dengan rata-rata waktu kecambah 5,4 hari setelah tanam.
Keberhasilan perkecambahan embrio yang lebih muda hanya 9,52% untuk embrio umur
1 minggu dan 21,35% untuk embrio umur 2 minggu setelah polinasi. Penurunan
persentase embrio berkecambah diikuti dengan peningkatan rata-rata waktu
berkecambah, yaitu 31,4 hari untuk embrio 1 minggu dan 16,7 hari untuk embrio 2
minggu setelah polinasi.
Embrio umur 1 minggu setelah polinasi
agak sulit diisolasi karena ukurannya hanya + 2 mm termasuk kulit biji dan
embrio masih berupa cairan. Pada umur 2 minggu embrio sudah terlihat, tetapi
ukuran kotiledonnya masih kecil. Embrio umur 1 dan 2 minggu setelah polinasi
mungkin memerlukan formulasi media yang lebih kaya atau lebih kompleks untuk
meningkatkan perkecambahannya. persilangan dengan tetua jantan kacang hitam
VR-34, peningkatan umur embrio justru menurunkan persentase perkecambahan,
bahkan pada embrio umur 3 minggu, rata-rata perkecambahan di bawah 1%. Pada
umur 3 minggu, kulit biji telah pecah dan kotiledon tumbuh sangat pesat
sehingga menghambat pertumbuhan embrio aksis. Hal seperti ini juga terjadi pada
persilangan antarspesies Solanum, di mana pertumbuhan endosperma hibrida
menggungguli pertumbuhan embrio sehingga embrio gugur muda (Handayani 1995). Pada embrio yang lebih muda, pertumbuhan
kotiledon belum menghambat pertumbuhan embrio aksis sehingga persentase
perkecambahannya 22,27% (embrio 1 minggu) dan 22,43% (embrio 2 minggu). Hal ini
menunjukkan bahwa penentuan umur embrio yang akan dikecambahkan harus
memperhatikan faktor keguguran embrio dan hubungan kekerabatan tetua yang
digunakan.
Kultur embrio yang lebih tua relatif
lebih mudah dengan formulasi media yang lebih sederhana, tetapi tidak dapat
menjamin keberhasilan perkecambahan in vitro bagi embrio hasil persilangan.
Pada persilangan dengan tetua jantan kacang hitam lokal Madura No. 19/1,
perkecambahan embrio cenderung menyerupai embrio hasil persilangan dengan Namun
demikian, pertumbuhan embrio lokal Madura No. 19/1 umur 3 minggu lebih rendah
dengan rata-rata waktu berkecambah yang lebih lama dibanding VR-35. Hal ini
menunjukkan perkecambahan embrio dari tetua jantan lokal Madura mungkin dapat
meningkat bila dikulturkan pada umur yang lebih tua. Rendahnya perkecambahan
mungkin juga menunjukkan ketidaksesuaian antara kacang hijau varietas Walet
dengan kacang hitam lokal Madura.
Pengaruh Media Perkecambahan
Perkecambahan in vitro juga ditentukan
oleh komposisi media dan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media
untuk menggantikan peran endosperma. Pengecambahan embrio yang lengkap biasanya
tidak memerlukan formulasi media yang rumit, bahkan pada beberapa jenis
tanaman, embrio dapat tumbuh pada media dasar tanpa zat pengatur tumbuh,
seperti pada embrio hasil persilangan S. khasianum dan S. capsicoides
(Handayani 1995). Hasil penelitian menunjukkan bahwa embrio hasil persilangan
antara kacang hijau dan kacang hitam dapat berkecambah pada semua media yang
digunakan, baik media yang sederhana (medium dasar media yang lebih kaya (MS)
maupun media yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh. Secara umum penambahan zat
pengatur tumbuh BA pada media dasar dapat meningkatkan persentase
perkecambahan.
Embrio yang lebih muda, penambahan 1 mg/l
dapat meningkatkan persentase perkecambahan yang lebih baik daripada tanpa
penambahan BA. Pada persilangan dengan tetua jantan hitam VR-35, persentase
perkecambahan terbaik 90%) diperoleh pada medium Knudson + BA 1 waktu
berkecambah 3,6 hari. Persentase perkecambahan tinggi (81%) juga diperoleh dari
embrio umur 1 minggu dari tetua jantan kacang hitam VR-34 yang dikulturkan pada
medium Knudson modifikasi + BA 1 mg/l. Namun demikian waktu berkecambahnya jauh
lebih lama (19,7 hari). Media dasar Knudson ternyata cukup baik untuk
mengecambahkan embrio hasil persilangan antarspesies, kecuali untuk embrio yang
lebih muda dengan tetua jantan VR-35 dan lokal Madura No. 19/1. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Mariska et al. (1998) pada embrio hasil persilangan
antarspesies panili. Penggunaan medium MS yang diencerkan 1/2 kali lebih baik
daripada MS penuh.
Kandungan garam makro media MS yang
diencerkan ini hampir sama dengan garam makro media Knudson. Penambahan BA pada
medium perkecambahan juga berhasil pada perkecambahan embrio F1 panili liar dan
panili budi daya dengan media 1/2 MS + BA 1 mg/l (Mariska et al. 1998), embrio
F1 Vigna unguiculata dan V. vexillata pada media MS + BA 1 mg/l + adenin sulfat
+ kasein hidrolisat (Gomathinayagami et al. 1997), embrio F1 Glycine max dan G.
canescens pada media B5 + BA 1 μM + NAA 0,1 μM (Bodanese- Zanettini et al.
1996), dan embrio F1 C. arietinum dan C. pinnatifidum pada media B5 + BA 2 mg/l
+ IAA (Badami et al. 1997). Perkecambahan embrio muda (umur 1 dan 2 minggu)
dari tetua jantan kacang hitam VR-35 dan lokal Madura No. 19/1 lebih baik pada
medium MS + IAA dan kinetin. Tunas-tunas yang tumbuh memperlihatkan keragaman
yang tinggi Tunas tersebut kemudian disubkultur pada media MS atau B5 untuk
diperbanyak secara klonal.
Tunas-tunas ini tidak dapat mengganda,
baik tunas adventif maupun aksilar. Umumnya tunas menunjukkan gejala
pembentukan kalus pada pangkal tunas, daunnya gugur dan layu serta akar tidak
terbentuk dengan baik. Pelayuan dan gugurnya daun menyebabkan subkultur tunas
harus dilakukan dengan cepat, dalam waktu 2 minggu setelah tanam daun mulai
layu dan akhirnya gugur. Pelayuan ini juga terjadi pada tunas-tunas pucuk yang
disubkultur. Untuk mengurangi daun yang gugur dan layu, dicoba ditambahkan
arginin dan glutamin maupun AgNO3 konsentrasi rendah, namun pertumbuhan tunas
justru terhambat dan akhirnya mati.
Pembentukan akar dicoba diinduksi
dengan menambahkan auksin (IAA, IBA, dan NAA) konsentrasi rendah, tetapi
penambahan zat pengatur tumbuh ini justru menginduksi pembentukan kalus. Perbanyakan klonal pada F1
hasil persilangan kacang hijau dan kacang hitam tidak menambah jumlah tunas,
tetapi tunas justru berkurang karena mati akibat pelayuan dan kontaminasi
karena seringnya tunas disubkultur. Tunas-tunas yang berhasil membentuk akar
dengan jumlah daun lebih dari dua diaklimatisasi pada medium campuran tanah dan
kompos. Namun, plantlet umumnya hanya bertahan hidup sampai 2 minggu, dan
beberapa tanaman yang bertahan hidup hingga 12 minggu tidak berbunga. Hal ini
menunjukkan hasil persilangan bersifat steril, karena ketidakcocokan kromosom
antartetua sehingga kromosom tidak berpasangan.
Penggandaan Kromosom
Salah satu upaya untuk mengatasi
sterilitas hasil persilangan adalah dengan menggandakan kromosom secara buatan
sedini mungkin. Penggandaan pada.tahap dini dimaksudkan untuk meningkatkan
peluang mendapatkan tanaman ampidiploid (Poespodarsono 1988). Penggandaan
kromosom secara in vitro dapat dilakukan pada bahan tanaman yang masih sangat
muda, bahkan pada tingkat sel (Husni et al. 1995). Pada penggandaan kromosom
secara in vitro, embrio hasil persilangan antara kacang hijau dan kacang hitam
VR-35 memberikan persentase perkecambahan tertinggi. Penggandaan dilakukan
dengan mengkulturkan embrio umur 2-3 minggu pada medium perkecambahan yang
ditambah dengan kolkisin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa embrio gagal
berkecambah untuk setiap ulangan penggandaan. Embrio tidak mati, tetapi plumula
gagal membentuk tunas sementara radikel tidak memanjang tetapi hanya mengalami
pembengkakan. Daun pertama dapat tumbuh dan berwarna hijau tetapi hanya
bertahan beberapa hari kemudian gugur. Kotiledon dan radikel membesar lalu
membentuk kalus, tetapi kalus tida dapat beregenerasi.
Masalah pengkalusan ini sulit diatasi
meskipun sudah dicoba dengan menambahkan antiauksin ke dalam medium. Pada
beberapa perlakuan, yang terbentuk menyerupai kalus embriogenik, tetapi kalus
ini sulit beregenerasi membentuk benih somatik atau bila berhasil benih somatik
yang terbentuk tidak sempurna. Analisis kromosom dengan metode squash sulit
dilakukan karena kalus tumbuh menutupi titik-titik tumbuh, baik meristem tunas
maupun ujung akar. Jumlah kromosom kalus tidak dapat dianalisis karena sulitnya
menentukan tahap metafase sel akibat pembelahan sel kalus yang sangat aktif dan
cepat. Penggandaan embrio diulang dengan mengganti media pemulihan setelah
perlakuan kolkisin. Pemulihan dilakukan dengan mengkulturkan embrio pada media
perkecambahan yang diberi arang aktif 0,2% untuk mengurangi residu kolkisin
yang terbawa.
Arang aktif dapat mengikat toksin yang
dikeluarkan oleh eksplan. Subkultur ini berhasil mengurangi pengkalusan bahkan
beberapa tunas dapat tumbuh. Tunas berhasil diperoleh dari semua konsentrasi
perlakuan kolkisin 0,05; 0,15; dan 0,25% dan diinkubasi selama 2 hari. Tunas
terbanyak diperoleh dari konsentrasi kolkisin 0,15%. Analisis kromosom
dilakukan dengan mempersingkat perendaman dalam larutan hidroksikuinolin
menjadi hanya 2 jam. Semua eksplan yang hidup dianalisis jumlah kromosomnya.
Tanaman hasil persilangan antarspesies biasanya steril akibat ketidakseimbangan
kromosom ketika terjadi pembelahan. Pada saat mitosis sering terjadi pergerakan
kromosom yang multivalen sehingga terbentuk sel-sel khimera dengan jumlah
kromosom homolog sedikit atau tidak ada sama sekali. Hambatan ini dapat diatasi
dengan menggandakan kromosom secara buatan seperti dengan perlakuan kolkisin.
Hasil analisis menunjukkan adanya keragaman jumlah kromosom dari eksplan yang
berhasil difiksasi pada tahap metafase, meskipun dengan perlakuan kolkisin yang
sama.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
perbedaan jumlah kromosom dari embrio F1 yang digandakan. Tingkat ploidi
kromosom tidak dapat diketahui karena embrio langsung digandakan tanpa dilihat
terlebih dahulu jumlah kromosom awalnya. Jumlah kromosom awal sulit diperoleh
karena biakan tidak dapat diperbanyak secara klonal. Perlakuan kolkisi 0,25%
memberikan jumlah kromosom terbanyak (72). Perlakuan kolkisin yang lebih lama
juga meningkatkan jumlah kromosom. Tunas yang diperoleh berasal dari biakan
dengan jumlah kromosom 36-60.
0 komentar:
Posting Komentar