BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertumbuhan
suatu tanaman meliputi tumbuh dan berkembang (diferensiasi) dari sel-sel atau
jaringan. Biasanya proses tumbuh dan diferensiasi ini berjalan bersamaan selama
pertumbuhan. Melalui teknik kultur jaringan dapat diamati proses tersebut yang
berupa pembentukkan massa sel yang belum berdiferensiasi yang disebut kalus.
Bila kalus ini mengalami regenerasi maka akan terbentuk tunas dan akar, yang
akhirnya terbentuk tanaman lengkap (Willadsen, 1979).
Penelitian
pembentukan kalus pada jaringan terluka pertama kali dilakukan oleh Sinnott
pada tahun 1960. Pembentukan kalus pada jaringan luka dipacu oleh zat pengatur
tumbuh auxin dan sitokinin endogen.
Secara in vivo, kalus pada umumnya terbentuk pada bekas-bekas luka akibat
serangan infeksi mikro organisme seperti Agrobacterium tumefaciens, gigitan
atau tusukan serangga dan nematoda. Kalus juga dapat terbentuk sebagai akibat
stress. Kalus yang diakibatkan oleh hasil dari infeksi bakteri Agrobacterium
tumefaciens disebut tumor (Syarifah et all, 2009).
Tujuan
kultur kalus adalah untuk memperoleh kalus dari eksplan yang diisolasi dan
ditumbuhkan dalam lingkungan terkendali. Kalus diharapkan dapat memperbanyak
dirinya (massa selnya) secara terus menerus. Seperti telah diketahui bahwa,
banyak jenis tumbuhan yang dapat memproduksi ssenyawa metabolit sekunder yang
dapat dimanfaatkan sebagai sumber obat-obatan maupun zat berguna lain bagi
kehidupan. Tetapi, kebanyakan metabolit sekunder pada beberapa tanaman hanya
diproduksi dalam jumlah yang sedikit atau bahkan sangat jrang diproduksi
ataupun diproduksi tetapi dalam jangka waktu yang sangat lama sehingga
diperlukan suatu cara untuk memperoleh senyawa metabolit sekunder tersebut
dalam jangka waktu yang cepat, jumlah yang banyak dan dapat dipanen dengan
cepat dengan metode yang cukup sederhana. Salah satu cara yang telah di ketahui
adalah dengan teknik kultur jaringan , yaitu kultur kalus (Suryowinoto, 1996).
Penggunaan
kultur jaringan mempunyai kelebihan yaitu mampu memproduksi bibit yang seragam
dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang relatif singkat sehingga kultur
jaringan sering dijadikan solusi sebagai metode perbanyakan tanaman dan juga
dapat digunakan sebagai suatu metode penyimpanan plasma nutfah yang tidak
membutuhkan tempat yang besar.
Keberhasilan dari kultur jaringan sangat bergantung dari ketepatan
konsentrasi nutrisi yang berada di dalam media kultur. Ketepatan konsentrasi
ini menyangkut pada ketersediaan nutrisi bagi eksplan tanaman. Kelebihan
nutrisi dari tanaman akan menyebabkan tanaman mengalami keracunan unsur hara.
Oleh karena itu, pembuatan larutan stock dan sterilisasi media dianggap penting
untuk diketahui sebagai sarana penenunjang kebutuhan informasi akan kultur
jaringan (Rahardja, 1988).
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan
masalah berdasarkan latar belakang diatas adalah:
1. Bagaimana pengaruh pemberian konsentrasi zat pengatur
tumbuh pada pertumbuhan kultur endosperm biji mahkota dewa ?
2. Medium dengan
konsentrasi berapa yang baik untuk pertumbuhan dari kultur endosperm biji
mahkota dewa dan respon pertumbuhan yang ditunjukkan?
1.3 Tujuan
Tujuan dari
percobaan ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian kinsentrasi zat
pengatur tumbuh pada pertumbuhan kultur endosperm biji mahkota dewa?
2. Untuk dapat mengetahui konsentrasi yang baik untuk
pertumbuhan dari kultur endosperm biji mahkota dewa dan respon pertumbuhan yang
ditunjukkan.
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1 Pengenalan Alat Laboratorium Kultur Jaringan
Pada
dasarnya setiap alat memiliki nama yang menunjukkan kegunaan alat, prinsip
kerja atau proses yang berlangsung ketika alat digunakan. Beberapa kegunaan
alat dapat dikenali berdasarkan namanya.Penamaan alat-alat yang berfungsi
mengukur biasanya diakhiri dengan kata meter seperti thermometer, hygrometer
dan spektrofotometer, dll. Alat-alat pengukur yang disertai dengan informasi
tertulis, biasanya diberi tambahan “graph” seperti thermograph, barograph (Muller
et all, 1990).
2.2 Teknik Aseptik
Perbanyakan
tanaman dengan sistem kultur jaringan dilaksanakan dalam suatu laboratorium
yang aseptik dengan peralatan seperti pada laboratorium Mikrobiologi. Kita
dapat juga memakai peralatan sederhana seperti almari penabur buatan sendiri
ataupun dengan peralatan laboratorium kultur jaringan khususnya yang lebih
canggih seperti laminary air flow (Linacero & Vazquez, 1992).
Seluruh
kegiatan kultur jaringan harus dilakukan secara aseptik. Artinya, seluruh bahan
dan alat yang digunakan harus disterilkan terlebih dahulu. Termasuk ruangan
laboratoriumnya dan pekerja yang melakukan. Sterilisasi ruangan biasanya
dilakukan dengan menyalakan lampu UV selama beberapa menit dan menyemprotkan
alkohol 70 . Sementara itu alat dan bahan yang digunakan disterilkan dengan
memanaskan dalam autoclave atau direndam larutan sodium hipoklorit (kloroks).
Bagi para pekerja, sebelum melakukan aktivitas di dalam laboratorium seluruh
permukaan tubuhnya disemprot dengan alkohol 70% (Larkin & Scowcroft, 1981).
2.3 Pembuatan Stok Medium dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
Sebelum
membuat media, terlebih dahulu dilakukan pembuatan larutan stok. Larutan stok
dibuat dengan tujuan untuk memudahkan pengambilan bahan-¬bahan kimia khususnya
yang dibutuhkan dalam jumlah kecil, tak perlu sering menimbang karena hal ini
kurang praktis. Larutan stok disimpan di dalam lemari pendingin agar tidak
mudah rusak dan mencegah terdegradasinya bahan-bahan kimia oleh mikroba
penyebab kontaminasi. Pembuatan larutan stok harus dilakukan dengan cennat,
sebab larutan stok yang terlalu pekat akan mengalami pengendapan di lemari es,
dan larutan stok yang terkontaminasi tidak boleh digunakan lagi (Gunawan,
1995).
Hormon
adalah bahan organik yang disintesa pada jaringan tanaman. Hormon diperlukan
dalam konsentrasi yang rendah untuk mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Banyak molekul sintetis organik yang telah dikenal memiliki aktivitas
serupa hormon. Senyawa sintetis dan hormon yang secara alami ada, dikenal
dengan sebutan zat pengatur tumbuh (Dixon & Gonzales, 1994).
Zat
pengatur tumbuh (ZPT) yang digunakan pada media disimpan dalam gelap pada
refrigerator sebagai larutan stok. Sedikit volume (misalnya 50 mL) larutan stok
mengandung 1 mg mL-1 ZPT dapat disimpan untuk beberapa lama. Kestabilan zpt
bervariasi: kinetin dan IAA tidak stabil pada kondisi cahaya, sehingga biasanya
disimpan pada botol berwarna gelap. Juga, IAA kehilangan aktivitasnya pada
larutan aqueous sehingga larutan stok IAA sebaiknya tidak disimpan dalam jangka
waktu yang lama (Larkin & Scowcroft, 1981).
Auxin (IAA)
dalam budidaya jaringan berperan dalam mempengaruhi perkembangan dan pembesaran
sel, sehingga tekanan dinding sel terhadap protoplasma berkurang, hal ini
mengakibatkan protoplast dapat mengabsorbsi air di sekitar sel, sehingga sel
menjadi panjang terutama sel-sel di bagian maristem. Di sisi lain NAA dapat
juga mendorong terbentuknya sejumlah sel yang cukup banyak tetapi tidak
membelah, kumpulan dari sel ini yang disebut kalus. Kalus terbentuk karena
terjadinya penumpukan sel-sel yang mengembang akibat dari masuknya air, unsur
hara dan ZPT ke dalam sel, semua bahan tersebut tidak dapat disebarkan ke
seluruh tubuh tanaman seperti akar, batang, dan daun, sehingga berkumpul di
satu titik (Muller et all, 1990).
Kinetine
berperan dalam mendorong morfogensis sel. Proses perpanjangan sel (fase G1
dalam pertumbuhan sel) berlangsung baik karena terpenuhi kebutuhan nutrisinya.
Adanya kinetine yang ditambah pada media tumbuh mengakibatkan fase transkripsi
dan translasi RNA berlangsung lebih giat, yang selanjutnya akan bertambah giat
memasuki fase pembesaran sel (G2) ke fase pembelahan sel (Suryowinoto, 1996).
2.4 Pembuatan medium
Media
merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung
dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya
terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan
seperti agar, gula, dan lain-lain. Zat
pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun
jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung
reaksi atau botol-botol kaca. Media yang
digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan autoklaf (Willadsen,
1979).
Dalam
kultur jaringan, unsur-unsur diberikan tidak dalam bentuk unsure murni, tetapi
berupa senyawa berbentuk garam. Sebelum dicampurkan kedalam media tumbuh,
garam-garam mineral itu haruslah lebih dahulul dilarutkan dalam konsentrasi
tertentu, sehingga dalam media tumbuh nantinya jumlah tiap gram benar sesuai
dengan ketentuan sebagai pelarut dipakai akuades (Suryowinoto, 1996).
Untuk
memenuhi faktor pertumbuhan tanaman, media kultur jaringan yang baik mengandung
(Muller et all, 1990):
1. Hara anorganik
Ada 12 hara mineral yang penting untuk pertumbuhan tanaman
dan beberapa hara yang dilaporkan mempengaruhi pertumbuhan in vitro. Untuk
pertumbuhan normal dalam kultur jaringan, unsur – unsur penting ini harus
dimasukkan dalam media kultur.
2. Hara organik
Tanaman yang tumbuh dalam kondisi normal bersifat autotrof
dan dapat mensintesa semua kebutuhan bahan organiknya.Meskipun tanaman in vitro
dapat mensintesa senyawa ini, diperkirakan mereka tidak menghasilkan vitamin
dalam jumlah yang cukup untuk pertumbuhan yang sehat dan satu atau lebih
vitamin mesti ditambahkan ke media.Thiamin merupakan vitamin yang penting,
selain itu asam nikotin, piridoksin dan inositol biasanya ditambahkan. Selain
bahan organik tersebut, bahan kompleks seringkali ditambahkan, termasuk ekstrak
ragi, casein hydrolysate, air kelapa, jus jeruk, jaringan pisang, dan lain –
lain. Penambahan bahan kompleks ini menghasilkan media yang tak
terdefinisi.Dengan penelitian yang cukup, semestinya bahan kompleks ini dapat
diganti dengan zat tertentu, mungkin tambahan suatu vitamin atau asam amino.
3. Sumber karbon
Tanaman dalam kultur jaringan tumbuh secara heterotrof dan
karena mereka tidak cukup mensintesa kebutuhan karbonnya, maka sukrosa harus
ditambahkan ke dalam media. Sumber karbon ini menyediakan energi bagi
pertumbuhan tanaman dan juga sebagai bahan pembangun untuk memproduksi molekul
yang lebih besar yang diperlukan untuk tumbuh. Biasanya sukrosa pada
konsentrasi 1 – 5% digunakan sebagai sumber karbon tapi sumber karbon lain
seperti glukosa, maltosa, galaktosa dan laktosa juga digunakan. Ketika sukrosa
diautoklaf, terjadi hidrolisis untuk menghasilkan glukosa dan fruktosa yang
dapat digunakan lebih efisien oleh tanaman dalamkultur.
4. Agar
Umumnya jaringan dikulturkan pada media padat yang dibuat
seperti gel dengan menggunakan agar atau pengganti agar sperti Gelrite atau
Phytagel.Konsentrasi agar yang digunakan berkisar antara 0.7 – 1.0%. Pada
konsentrasi tinggi agar menjadi sangat keras, sedikit sekali air yang tersedia,
sehingga difusi hara ke tanaman sangat buruk. Agar dengan kualitas tinggi
seperti Difco BiTek mahal harganya tapi lebih murni, tidak mengandung bahan
lain yang mungkin mengganggu pertumbuhan.
5. pH
Media biasanya diatur pada kisaran 5.6 – 5.8 tapi tanaman
yang berbeda mungkin memerlukan pH yang berbeda untuk pertumbuhan optimum.Jika
pH lebih tinggi dari 6.0, media mungkin menjadi terlalu keras dan jika pH
kurang dari 5.2, agar tidak dapat memadat.
6. Zat Pengatur Tumbuh
Pada media umumnya ditambahkan zat pengatur tumbuh.Zat
pengatur tumbuh.
7. Air
Distilata biasanya digunakan dalam kultur jaringan, dan
banyak lab menggunakan aquabides (air destilata ganda). Beberapa lab, dengan
alasan ekonomi, menggunakan air hujan, tapi ini menyebabkan sulit mengontrol
kandungan bahan organik dan non-organik pada media.
8. Pemilihan Media
Jika tidak ada informasi awal, biasanya mulai dengan media
MS (Murashige dan Skoog). Media ini mengandung konsentrasi garam dan nitrat
yang lebih tinggi dibandingkan media lain, dan telah sukses digunakan pada
berbagai tanaman dikotil. Untuk inisiasi kalus, 2.4-D ditambahkan ke media
dengan konsentrasi 1 – 5 mgL-1.Untuk multiplikasi tunas, sitokinin seperti BAP
ditambahkan dan juga diberi auksin, seperti NAA pada konsentrasi yang
rendah.Untuk inisiasi akar, IBA pada konsentrasi 1 – 2 mgL-1 ditambahkan.
2.5 Kultur Kalus
Kultur
kalus merupakan pemeliharaan bagian kecil tanaman dalam lingkungan buatan yang
steril dan kondisi yang terkontrol. Kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous
atau jaringan yang berproliferasi secara terus menerus dan tidak terorganisasi
sehingga memberikan penampilan sebagai massa sel yang bentuknya tidak teratur.
Proliferasi jaringan ini dapat dilakukan secara tidak terbatas dengan cara
melakukan subkultur sepotong kecil jaringan kalus pada medium yang segar dengan
interval waktu yang teratur. Kalus diinduksi dengan melukai jaringan tanaman.
Menurut Pemotongan atau pelukaan jaringan tanaman dapat merangsang pembelahan
sel yang berperan dalam inisiasi pembentukan kalus. Kultur kalus ini merupakan
materi penting dalam kultur suspensi sel tanaman (Larkin & Scowcroft,
1981).
Sel-sel
penyusun kalus berupa sel parenkim yang mempunyai ikatan yang renggang dengan
sel-sel lain. Di dalam kultur jaringan, kalus dapat dihasilkan dari potongan
organ yang telah steril, di dalam media yang mengandung auksin dan
kadang-kadang juga sitokinin. Organ tersebut dapat berupa kambium vaskular,
parenkim cadangan makanan, perisikle, kotiledon, mesofil daun dan jaringan
provaskular. Kalus mempunyai pertumbuhan yang abnormal dan berpotensi untuk
berkembang menjadi akar, tunas dan embrioid yang nantinya akan dapat membentuk
plantlet (Gunawan, 1995).
Beberapa
kalus ada yang mengalami pembentukan lignifikasi sehingga kalus tersebut
mempunyai tekstur yang keras dan kompak. Namun ada kalus yang tumbuh
terpisah-pisah menjadi fragmen-fragmen yang kecil, kalus yang demikian dikenal
dengan kalus remah (friable). Warna kalus dapat bermacam-macam tergantung dari
jenis sumber eksplan itu diambel, seperti warna kekuning-kuningan, putih,
hijau, kuning kejingga-jingaan (karena adanya pigmen antosianin ini terdapat
pada kalus kortek umbi wortel) (Dixon & Gonzales, 1994).
Kalus
homogen yang tersusun atas sel-sel parenkim jarang dijumpai kecuali pada kultur
sel Agave dan Rosa. Kalus yang homogen
dapat diperoleh dengan menggunakan eksplan jaringan yang mempunyai sel-sel yang
seragam. Di dalam pertumbuhan kalus, citodiferensiasi terjadi untuk membentuk elemen trachea, buluh tapis,
sel gabus, sel sekresi dan trikoma. Kambium dan periderm sebagai contoh dari
proses hitogenesis dari kultur kallus. Anaman kecil dari pembelahan
sel-sel membentuk meristemoid atau nodul
vaskular yang nantinya menjadi pusat dari pembentukan tunas apikal, primordial
akar atau embrioid (Gunawan, 1995).
Umumnya,
eksplan yang mempunyai kambium tidak perlu penambahan ZPT untuk menginduksi
terbentuknya kalus karena secara alamiah pada jaringan berbambium yang
mengalami luka akan tumbuh kalus untuk menutupi luka yang terbuka. Keberadaan
kambium di dalam eksplan tertentu dapat
menghambat pertumbuhan kalus bila tanpa penambahan zat pengatur tumbuh
eksogen. Penambahan ZPT tersebut dapat
satu macam atau lebih tergantung dari jenis eksplan yang digunakan. Pembelahan
sel di dalam eksplan dapat terjadi tergantung dari ZPT yang digunakan, seperti:
1) auxin; 2) sitokinin; 3) auxin dan sitokinin dan 4) ekstrak senyawa organik
komplek alamiah (Larkin & Scowcroft, 1981).
Umumnya,
kemampuan pembentukan kalus dari jaringan tergantung juga dari (Linacero &
Vazquez, 1992):
1. Umur fisiologi dari jaringan waktu
diisolasi.
2. Musim pada
waktu bahan tanaman diisolasi.
3. Bagian tanamn
yang dipakai.
4. Jenis tanaman.
Kalus dapat
diinisiasi dari hampir semua bagian tanaman, tetapi organ yang berbeda
menunjukkan kecepatan pembelahan sel yang berbeda pula. Jenis tanaman yang
menghasilkan kalus, meliputi dikotil berdaun lebar, monokotil, Gymnospermae,
pakis dan moss. Bagian tanaman seperti embrio muda, hipokotil, kotiledon dan
batang muda merupakan bagian yang mudah untuk dediferensiasi dan menghasilkan
kalus (Muller et all, 1990).
Suatu sifat
yang diamati dalam jaringan yang membentuk kalus adalah bahwa pembelahan sel
tidak terjadi pada semua sel dalam jaringan asal, tetapi hanya sel di lapisan
perisfer yang membelah terus menerus sedangkan sel-sel di tengah tetap
quiscent. Faktor-faktor yang menyebabkan inisiasi pembelahan sel hanya terbatas
di lapisan luar dari jaringan kalus, adalah (Rahardja, 1988):
a. Ketersesediaan oksigen yang lebih tinggi.
b. Keluarnya gas CO2.
c. Kesediaan hara yang lebih banyak.
d. Penghambat yang bersifat folatik lebih capat menguap.
e. Cahaya.
2.6 Mahkota Dewa
Klasifikasinya:
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas: Rosidae
Ordo: Myrtales
Famili: Thymelaeaceae
Genus: Phaleria
Spesies: Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl.
(Harmanto, 2002).
Pada
awalnya mahkota dewa dipandang sebagai tumbuhan yang sangat menarik, karena
memiliki buah berwarna merah marun. Penampilan mahkota dewa yang sangat menarik
ini, kemudian menyebabkan banyak orang memeliharanya sebagai tanaman hias,
terutama apabila buahnya sudah mulai tua. Buah tua tumbuhan ini sesungguhnya
dapat dimakan, meskipun harus diperhatikan bahwa bijinya mengandung racun. Tumbuhan
ini akan mengeluarkan bunga dan diikuti dengan munculnya buah setelah 9 – 12
bulan kemudian. Buahnya berwarna hijau saat muda dan menjadi merah marun
setelah berumur 2 bulan. Buahnya berbentuk bulat dengan ukuran bervariasi mulai
dari sebesar bola pingpong sampai sebesar buah apel, dengan ketebalan kulit
antara 0,1 – 0,5 mm (Harmanto, 2002).
3.3. Cara Kerja
3.3.1. Pembuatan Stok
Bahan-bahan
kimia yang telah dikalikan ditimbang menjadi beberapa kali konsentrasi,
misalnya untuk unsur hara makro dikalikan 20 dan unsur hara mikro dikalikan 100
kali konsentrasi. Bahan-bahan kimia tersebut dilarutkan ke dalam aquadest
dengan volume tertentu, misalnya 500 ml. Masing-masing larutan dimasukkan ke
dalanm botol dan menyimpannnya ke dalam refrigerator.
3.3.2. Pembuatan Media
Larutan
stok yang berisi NaEDTA, hara makro, hara mikro, vitamin dan ZPT di ambil.
Larutan stok dimasukkan ke dalam labu takar dan tambahkan aquadest sebanyak
1000ml/ sampai tanda. Dimasukkan ke dalam bekerglas. Gula dimasukkan sebanyak
30 gr/ tunggu sampai larut. Diukur pH dan mengkondisikannya menjadi 5,8 – 6,2
dengan menambahkan HCl atau NaOH. Agar dimasukkan sebanyak 8 gr/l. Didihkan
larutan tersebut. Larutan yang sudah
jadi dimasukkan ke dalam botol kultur. Botol kultur ditutup dengan plastik pp
dan mengikatnya dengan karet gelang.
Botol kultur dimasukkan tersebut ke dalam autoklaf untuk disterilkan.
3.3.3. Sterilisasi Alat dan Eksplan
3.3.3.1.
Sterilisasi Alat
Alat-alat
yang perlu disterilkan sebelum penanaman adalah pinset, gagang skapel, kertas
saring, cawan petri, botol-botol kultur, pipet dan alat gelas yang mungkin
diperlukan saat penanaman, akuades yang digunakan dimasukan dalam botol.
Pinset, gagang scapel, kertas saring, almunium foil, cawan petri dibungkus
dengan kertas sampul lalu dimasukkan dalam plastic, sedangkan botol kultur dan
alat gelas lainnya dibungkus langsung dengan plastik. Otoklaf dipanaskan dengan
cara mengikuti prosedur operasional yang telah ada, selanjutnya masukkan
alat-alat yang telah dibungkus, disusun serrapi mungkin. Otoklaf ditutup,
tunggu sampai sampai proses sterilisasi selesai. Setelah sterilisasi selesai, otoklaf dibuka dengan perlahan agar uap air
yang tersiasa dapat keluar sedikit demi sedikit. Semua alat yang telah disterilisasi dikeluarkan dengan
hati-hati. Alat-alat yang telah steril disimpan pada tempat yang telah
disediakan, selanjutnya alat siap digunakan baik untuk pembuatan medium maupun
untuk penanaman.
3.3.2. Sterilisasi Ruangan Kerja
Lamina air
flow cabinet yang akan digunakan sebagai ruangan kerja harus dalam keadaan
steril. Penutup laminar dibuka, selanjutnya bersihkan seluruh permukaan bagian
dalam menggunakan kapas yang telah dibasahi dengan alcohol 70%. Dimasukkan dan
susun alat-alat dan media yang akan dipakai dalam penanaman ke dalam laminar,
tutup laminar, selanjutnya hidupkan lampu UV selama 30 menit. Setelah
sterilisasi selesai dimatikan UV, buka penutup laminar, biarkan kira-kira 15
menit. “Blower” dimasukkan dengan menekan tombol, selanjutnya proses penanaman
dapat dilakukan.
3.3.3. Sterilisasi Eksplan
Eksplan
dicuci deengan deterjen untuk menghilangkan kotoran yang melekat. Dibilas
dengan air yang mengalir selama 15-30 menit. Dibilas dengan akuades steril,
selanjutnya proses sterilisasi dilakukan didalam laminar air flow cabinet.
Eksplan dimasukkan ke dalam larutan bayclin yang telah ditambah 2 tetes Tween
20 atau 80, masing-masing 10% selama 10 menit dan bayclin 5 % selama 5 menit.
Bilas eksplan dengan akudes steril 3x masing-masing 3 menit.
3.4. Penanaman
Eksplan.
Eksplan
yang telah steril diletakan pada cawan petri yang ada kertas saringnya. Potong
biji menjadi 4 bagian tetapi embrio dalam biji dibuang terlebih dahulu dengan
ukuran +1x1. Ditanam potongan biji pada medium.
3.5. Parameter Pengamatan
Kultur
diletakakn diatas rak pada ruang kultur dengan suhu ruangan 25 – 280C.
Pencahayan dilakukan secara terus-menerus. Pengamatan dilakukan selama 4
minggu, yamg meliputi: Kultur kalus.
1
BAB IV
HASIL dan PEMBAHASAN
BAB 4 PEMBAHASAN
Kultur jaringan atau biakan jaringan merupakan teknik
pemeliharaan jaringan atau bagian dari individu secara buatan (artifisial),
artinya dilakukan di luar individu yang bersangkutan. Teknik ini sering kali
disebut kultur in vitro, karena jaringan dibiakkan di dalam tabung inkubasi
atau cawan Petri dari kaca atau material tembus pandang lainnya. Kultur
jaringan secara teoretis dapat dilakukan untuk semua jaringan, baik dari
tumbuhan maupun hewan (termasuk manusia) namun masing-masing jaringan
memerlukan komposisi media tertentu (Chawla, 2004).
Sel-sel yang heterogen dari jaringan yang komplek
menunjukkan pertumbuhan yang berbeda. Dengan mengubah komposisi media, terjadi
seleksi sel-sel yang mempunyai sifat khusus. Hal ini berarti bahwa media tumbuh
menentukan komposisi kalus. Sel yang jumlahnya paling banyak merupakan sel-sel
yang paling cepat membelah dan sel yang paling sedikit adalah sel yang paling
lambat pertumbuhannya. Media seleksi dapat berdasarkan unsur-unsur hara atau
zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media (Pierik 1999).
Penyediaan keragaman genetik baru dapat dilakukan dengan
memanfaatkan teknik kultur jaringan melalui induksi variasi somaklonal dan
berpotensi dapat membantu pemulia tanaman. Varian somaklon adalah keragaman
genetic tanaman yang dihasilkan melalui kultur jaringan (Larkin and Scowcroft,
1981).
Varian somaklon yang telah diseleksi dan stabil untuk sifat
tertentu dapat digunakan sebagai sumber gen untuk perakitan kultivar baru
(Muller et al, 1990; Linacero and Vasquez, 1992).
Massa kultur yang ditumbuhkan terlalu lama dalam media yang tetap, akan menyebabkan
terjadinya kehabisan hara dan air. Kehabisan hara dan air dapat terjadi karena
selain terhisap untuk pertumbuhan juga karena media menguapkan air dari masa ke
masa. Kalus tersebut kecuali kehabisan unsur hara, kalus juga mengeluarkan
persenyawaan-persenyawaan hasil metabolisme yang menghambat pertumbuhan kalus itu
sendiri. Untuk menjaga kehidupan dan perbanyakan yang berkesinambungan, kalus
yang dihasilkan perlu disubkulturkan (Mariska, 1987).
Street
(1969 dalam Dodds & Robert 1983) menyarankan massa sel yang dipindahkan
pada subkultur harus cukup banyak antara 5-10 mm atau seberat 20-100 mg, supaya ada pertumbuhan yang cepat
dalam media baru. Subkultur sebaiknya
dilakukan 28 hari sekali (4-6 minggu sekali). Namun waktu yang tepat untuk
memindahkan kultur, tergantung dari kecepatan pertumbuhan kalus. Massa kalus
ada 2 macam yaitu massa yang remah (friable) dan kompak. Bila massa kalus remah
maka pemindahan kalus cukup dilakukan dengan menyedok kalus dengan spatula atau
skapel lasung disubkultur ke media baru. Namun bila kalus kompak mesti dipindah
ke petridish steril untuk dipotong-potong dengan skapel baru disubkultur ke
media baru. Kalur yang sudah melai mengalami nekrosis (pencoklatan) sebaiknya
tidak ikut disubkultur karena tidak akan tumbuh dengan baik.
Kadang –
kadang eksplan menghasilkan kalus, bukan tunas baru, khususnya jika diberikan
hormon dengan konsentrasi tinggi pada media. Dalam hal lain, kalus sengaja
diinduksi karena potensinya untuk produksi massal plantlet baru. Faktor
pembatasnya adalah sulitnya menginduksi inisiasi tunas baru, terutama pada tanaman
berkayu dan tingginya kejadian mutasi somatik. Potensi terbesar penggunaan
kultur kalus adalah dimana sel –sel kalus dapat dipisahkan dan diinduksi untuk
berdiferensiasi menjadi embrio somatic. Secara morphologi, embryo ini mirip
dengan yang ada pada biji, tapi tidak seperti embrio biji, mereka secara
genetik bersifat identik dengan tanaman tetua, jadi, segregasi seksual materi
genetik tidak terjadi. Karena 1 milimeter kalus berisi ribuan sel, masing –
masing memiliki kemampuan untuk membentuk embrio, sehingga kecepatan
multiplikasi sangat tinggi. Kultur kalus dapat dilakukan pada media cair dan
embrio berkembang sebagai individu terpisah, sehingga penanganan kultur relatif
mudah (Heddy, 1986).
Salah satu persyaratan yang diperlukan agarteknik kultur
jaringan dapat digunakan untuk memperoleh variasi somaklonal adalah tersedianya
media yang efektif untuk menginduksi pembentukan kalus dan kalus embriogenik.
Induksi kalus embriogenik diperlukan untuk memunculkan keragaman sel somatik di
dalam kultur in vitro dan meregenerasikan sel tersebut menjadi embrio
somatik (Syarifah, dkk, 2009).
Media yang digunakan dalam kultur jaringan berbeda
komposisinya tergantung kebutuhan. Perbedaan komposisi media dapat
mengakibatkan perbedaan pertumbuhan dan perkembangan eksplan yang ditumbuhkan
secara in vitro. Media Murashige dan Skoog (MS) sering digunakan karena cukup
memenuhi unsur hara makro, mikro dan vitamin untuk pertumbuhan tanaman (Gardner
1991). Nutrien yang tersedia di media berguna untuk metabolisme, dan vitamin
pada media dibutuhkan oleh organisme dalam jumlah sedikit untuk regulasi. Media
MS tidak terdapat zat pengatur tumbuh (ZPT) sehingga ZPT ditambahkan pada media
(eksogen). ZPT atau hormon tumbuhan berpengaruh pada pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Interaksi dan keseimbangan antara ZPT yang diberikan
dalam media (eksogen) dan yang diproduksi oleh sel secara endogen menentukan
arah perkembangan suatu kultur. Penambahan hormon tumbuhan atau zat pengatur
tumbuh pada jaringan parenkim dapat mengembalikan jaringan menjadi meristematik
kembali dan berkembang menjadi jaringan adventif tempat pucuk, tunas, akar
maupun daun pada lokasi yang tidak semestinya. Proses ini dikenal dengan
peristiwa dediferensiasi. Dediferensiasi ditandai dengan peningkatan aktivitas
pembelahan, pembesaran sel, dan perkembangan jaringan.
Menurut Gunawan (1988), arah pertumbuhan dan perkembangan
atau regenerasi eksplan ditentukan oleh beberapa faktor yaitu: komposisi media
serta jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh, bagian tanaman yang digunakan
sebagai eksplan dan lingkungan tempat eksplan dikulturkan. Medium yang
digunakan untuk membiakan potongan jaringan tersebut mengandung makanan
berupaunsur – unsur hara
makro dan mikro. Penggunaan
eksplan dari jaringan muda lebih sering berhasil karena sel-selnya aktif
membelah, dinding sel tipis karena belum terjadi penebalan lignin dan selulose
yang menyebabkan kekakuan pada sel. Gunawan (1995) menyatakan bagian tanaman
yang dapat digunakan sebagai eksplan adalah : pucuk muda, batang muda, daun
muda, kotiledon, hipokotil. Menurut Wattimena (1992) perbedaan dari bagian tanaman yang digunakan akan menghasilkan
pola pertumbuhan yang berbeda. Eksplan tanaman yang masih muda menghasilkan
tunas maupun akar adventif lebih cepat bila dibandingkan dengan bagian yang
tua.
Dalam kultur jaringan, pertumbuhan eksplan atau inokulum
diusahakan dalam lingkungan aseptik dan terkendali. Implikasi dari keadaan ini
adalah bahwa setiap langkah dalam pelaksanaanya harus dilakukan dalam
laboratorium. Laboratorium yang efektif merupakan salah satu unsur penting yang
ikut menentukan keberhasilan suatu kegiatan, baik untuk keperluan peneletian,
maupun produksi. Laboratorium kultur jaringan sebaiknya mempunyai pembagian
ruangan yang diatur sedemikian rupa sehingga setiap kegiatan terpisah satu
dengan yang lainya, tetapi juga saling berhubungan dan mudah dicapai.
Ruangan laboratorium harus dijaga tetap bersih, serta bebas
dari hewan kecil seperti tikus dan insek (lalat, semut, kecoa dan lain-lain).
Sarana dasar seperti : aliran listrik yang cukup, air yang lancar, dan gas,
merupakan perlengkapan yang dapat dikatakan harus dimiliki.
Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan
tanaman secara vegetatif. Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman
dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta
menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya
nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya
sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman
lengkap. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbayakan tanaman
dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang
dilakukan di tempat steril.
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu
memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan
secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa
keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat
diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat
yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang
singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih
cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional.
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pengenalan
alat – alat kultur jaringan di lakukan agar mahasiswa memahami cara kerja alat
– alat tersebut. Serta mengetahui nama alat – alat kultur jaringan. Kalau tidak
di kenalkan banyak yang tidak di pahami dan kurang mengerti cara kerja alat –
alat tersebut.
Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan
mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan
bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptic yang kaya nutrisi dan
zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian
tanaman dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap.
Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbanyakan tanaman dengan
menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan di
tempat steril.
3
Pembahasan
Jenis media kultur jaringan antara lain Murashige &
Skoog (media MS), Gamborg B5 (media B5), Schenk & Hildebrant (media SH),
WPM (Woody Plant Medium), Nitsch & Nitsch, Knop dapat juga digunakan untuk
menumbuhkan kalus wortel, White dikembangkan oleh Hildebrant untuk keperluan
kultur jaringan tumor bunga matahari, Knudson dan media Vacin and Went media
ini dikembangkan khusus untuk kultur anggrek.
Medium Murashige
dan Skoog (MS)
merupakan perbaikan komposisi medium Skoog, terutama kebutuhan garam
anorganik yang mendukung pertumbuhan optimum pada kultur jaringan tembakau.
Medium MS mengandung 40 mM N dalam bentuk NO3 dan 29 mM N dalam bentuk NH4+.
Kandungan N ini, lima kali lebih tinggi dari N total yang terdapat pada media
Miller, 15 kali lebih tinggi dari media tembakau Hildebrant, dan 19 kali lebih
tinggi dari media White. Kalium juga ditingkatkan sampai 20 mM, sedangkan P
1,25 mM. Unsur makro lainnya pada medium MS konsentrasinya dapat dinaikkan
sedikit. Pertama kali unsur-unsur makro dalam media MS dibuat untuk kultur
kalus tembakau, tetapi komposisi MS ini sudah umum digunakan untuk kultur
jaringan jenis tanaman lain (Hendaryono 2002).
Senyawa-senyawa sumber unsur hara makro diperlukan dalam
jumlah yang cukup besar. Oleh karena itu sebaiknya dibuat dalam larutan stok
tunggal. Selain itu anion senyawa sumber unsur hara makro tidak sama,
kemungkinan hal tersebut akan mempercepat pengendapan larutan bila dibuat
larutan stok campuran. Unsur hara mikro sangat sedikit diperlukan dalam
pembuatan media. Biasanya larutan hara mikro dibuat dengan kepekatan 100 atau
200 kali konsentrasi media dan bahan yang diperlukan masih cukup kecil
jumlahnya. Vitamin dan zat pengatur tumbuh merupakan bahan-bahan kimia organik
yang umumnya peka terhadap suhu dan cahaya tinggi. Selain itu zat organik dalam
bentuk larutan mudah mengalami perubahan, sehingga tidak awet disimpan. Oleh karena
itu larutan stok vitamin dan zat pengatur tumbuh, harus disimpan dalam lemari
es dan sebaiknya dalam membuatnya tidak perlu banyak-banyak agar cepat habis
terpakai.
Zat pengatur tumbuh umumnya dibutuhkan dalam jumlah yang
sedikit. Proses penimbangan zat pengatur tumbuh untuk larutan stok, sulit
digeneralisasikan karena biasanya zat pengatur tumbuh merupakan perlakuan dalam
media kultur jaringan. Biasanya larutan stok zat pengatur tumbuh dibuat dengan
kepekatan 1 -10 mg/l. Contoh cara membuat stok ZPT auksin (IAA, NAA, IBA, 2-D)
1 mg/l sebanyak 100 ml: timbang bahan sebanyak 100 mg, kemudian tuangkan
kedalam gelas piala yang berisi aquades 70 ml. Sambil diaduk-aduk ditetesi
sedikit larutan NaOH 1 N hati-hati hingga bahan benar-baenar larut. Setelah larut
merata, kemudian dipindahkan kedalam labu takar 100 ml dan volume ditepatkan
100 ml dengan menambah aquades.
Pembuatan medium kultur kali ini dapat dikatakan berhasil,
karena tidak terjadi kontaminasi bakteri ataupun cendawan pada media. Hal ini
disebabkan pengerjaan yang steril mulai dari alat, bahan dan tekniknya.
Simpulan
Pembuatan medium kultur berhasil karena diperoleh media yang
steril. Media merupakan faktor utama dalam perbanyakan dengan kultur jaringan.
Pembuatan medium MS dilakukan dengan mencampur unsur makro, unsur mikro,
vitamin, gula, dan ZPT serta agar dengan cara dididihkan kemudian disterilisasi
dan disimpan dalam inkubator.
4.2 Pembahasan
Kultur jaringan merupakan teknik memperbanyak tanaman dengan
memperbanyak jaringan mikro tanaman yang ditumbuhkan in vitro menjadi tanaman
yang sempurna dalam jumlah yang tidak terbatas (Dwidjoseputro 1986).. Dasar
dari kultur jaringan ini adalah teori totipotensi sel yang berbunyi “setiap sel
organ tanaman akan mampu tumbuh menjadi tanaman yang sempurna jika ditempatkan
di lingkungan yang sesuai. Tujuan dari teknik ini adalah untuk memperbanyak
tanaman dengan waktu yang lebih singkat.
Media merupakan
faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media
yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media
yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain
itu, diperlukan juga bahan tambahan
seperti agar, gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang
ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan
tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan
pada botol-botol kaca. Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara
memanaskannya dengan autoklaf (Dwidjoseputro 1986).
Berdasarkan teori yang ada dapat dilihat bahwa media
merupakan salahsatu sarana yang penting dalam penunjang pertumbuhan. Media yang
digunakan dalam praktikum ini yaitu media MS. Pengamatan yang dilakukan selama
4 bulan yaitu dari bulan Maret sampai Bulan Juni. Menunjukkan komposisi media yang baik yang digunakan pada
pertumbuhan endosperm biji mahkota dewa yaitu media dengan konsentrasi NAA/BAP
0/10-6 ; 0/10-7 ; 10-7/10-7. Komposisi-komposisi ini dapat ditunjukkan dengan
adanya pertumbuha n planlet dan tunas-tunas yang banyak dan daun yang muncul
pada pucuk. Biji yang tumbuh sebelum berkembang menjadi planlet ditutupi oleh
banyak kalus, warna kalus pun yang didapat beragam ada yang berwarna putih,
coklat, dan kehijauan.
Perbedaan warna pada kalus dapat melihat tingkat
pertumbuhan. Mula-mula pada pertumbuhan awal, warna yang muncul adalah warna
coklat. Warna kalus coklat terbentuk setelah melewati masa elongasi. Setelah
masa elongasi warna kalus menjadi coklat terutama pada bagian biji yang mengalami
pengirisan. Ini dikarenakan pada bagian pengirisan terbentuk upaya fisiologi
yaitu usaha menutupi bekas luka. Bagian luka memiliki jaringan dalam yang
terbuka terutama bagian pengisapan haranya lebih mudah menyerap nutrisi dari
medium, karena tidak ditupi oleh eksodermis dari bagian biji tersebut.
Menurut Gotama, dkk (1999) di dalam kulit buah mahkota dewa
terkandung senyawa alkaloid, saponin, dan flavonoid. Batang mahkota dewa yang
bergetah dapat digunakan untuk mengobati penyakit kanker tulang, bahkan bijinya
yang dianggap sangat beracun, masih digunakan sebagai obat luar untuk mengobati
penyakit kulit. Ini lah yang menyebabkan pada biji mahkota dewa yang masih
mengandung eksodermis luar pada biji agak sulit mengisap unsur hara.
Kalus kecoklatan lama kelamaan akan berubah menjadi
keputihan yang banyak dan berkerut-kerut. Kalus putih ini tidak hanya menutupi
bagian bekas luka saja namun juga hampir keseluruh bagian biji. Kalus putih
tersebut akan berubah menjadi kehijauan hingga menyerupai gumpalan hijau. Kalus
hijau menandakan perubahan bentuk menjadi planlet. Lama-kelamaan dari bagian
yang bergumpalan akan menjadi tunas-tunas yang lama kelamaan akan tumbuh daun,
ini disebut planlet.
Pelaksanaan teknik ini memerlukan berbagai prasyarat untuk mendukung kehidupan jaringan yang
dibiakkan. Yang paling esensial adalah wadah dan media tumbuh
yang steril. Media adalah tempat
bagi jaringan untuk tumbuh dan mengambil
nutrisi yang mendukung kehidupan jaringan. Media tumbuh menyediakan berbagai
bahan yang diperlukan jaringan untuk hidup dan memperbanyak dirinya (Gardner
1991). Apabila melakukan gerakan-gerakan selama bekerja di dalam laboratorium,
akan mengakibatkan timbulnya suatu awan debu yang hampir tidak tampak. Debu
tersebut mengandung spora yang sangat besar jumlahnya. Bila spora ini kontak dengan media kultur yang digunakan
dalam pekerjaan tersebut, spora akan tumbuh dengan cepat. Spora dalam beberapa
hari akan tumbuh menjadi koloni yang terlihat oleh mata biasa (Wetherel 1982).
Untuk membuat media dengan jumlah zat seperti yang ditentukan, diperlukan
penimbangan dan penakaran bahan secara tepat (Rahardja 1988).
Media yang cocok adalah komposisi konsentrasi NAA/BAP 0/10-6
dan 0/10-7 ini menunjukan perkembangan
pertumbuhan yang sangat pesat dan dapat dilihat dengan planlet yang tumbuh
sangat subur. Komposisi BAP berlebih ternyata berpengaruh pada suburnya tingkat
pertumbuhan pada pucuk. Planlet dengan kondisi ini memiliki banyak pucuk dengan
daun-daun yang banyak pula. Ini menunjukkan pemberian BAP yang lebih tinggi
pada pada medium dapat memicu pertumbuhan pucuk. Berdasarkan komposisi ini
menunjukkan tingkat sitokinin yang lebih tinggi dibandingkan auksin.
Perbandingan sitokinin yang lebih tinggi dibandingkan auksin memacu pertumbuhan
pucuk. Planlet yang memiliki pucuk yang subur dan banyak, pertumbuhan akarnya
agak lambat. Berdasarkan hasil pengukuran pada komposisi berbanding seimbang
dengan kadar besar yaitu NAA/BAP
10-7/10-7yang dapat dilihat adalah kalus yang banyak ini juga berlaku
untuk komposisi 10-6/10-7 ; 10-7/10-6. Sedangkan untuk komposisi dengan kadar
NAA yang lebih tinggi dapat dilihat bahwa pengukuran akar sangat panjang.
Komposisi kontrol (10◦/100) tidak ditemukan perubahan apapun baik pertumbuhan
kalus, akar ataupun pucuk selain terjadinya proses elongasi.
Proses penanaman pad kultur ini memerlukan keterampilan.
Kultur endosperm biji tidak menggunakan embrio. Oleh karena itu pada persiapan
penanaman embrio dari biji dipotong agar yang didapat hanya bagian endospermnya
saja. Biji yang dipilih adalah biji yang berasal dari tanaman yang baik.
Kontaminasi internal dapat disebabkan buah yang dipakai busuk hal ini
berpengaruh pada bijinya.
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan dapat disimpulkan
bahwa :
- Pertumbuhan
endosperm biji mahkota dewa sangat dipengaruhi oleh komposisi nutrisi yang
dikandung oleh medium.
- Medium MS
merupakan medium yang cocok untuk pertumbuahan endosperm biji mahkota dewa.
- Kompisisi yang
baik untuk pertumbuhan mahkota dewa yaitu NAA/BAP 0/10-7 dan 0/10-6 yang
ditandai dengan pertumbuhan planlet dengan tunas dan daun yang banyak.
5.2. Saran
Saran yang dapat diberikan untuk kemajuan praktikum yang
akan datang yaitu antara lain :
- Sebaiknya
dalam melakukan kultur in vitro endosperm biji mahkota dewa sebaiknya biji yang
disiapkan sebagai kultur dalam keadaan bagus dan dari bibit tanaman yang baik.
Diusahakan tidak busuk dan kulit luarnya masih dalam keadaan baik.
- Saat
melakukan penanaman sebaiknya kulit ari pada biji dikupas secara bersih dan
dilakukan pemotongan pada embrionya.
DAFTAR PUSTAKA
Dixon, R. A
and R. A. Gonzales. 1994. Plant cell Culture. Apractical Approach Second
Edition. Oxford University Press: Oxford.
Gunawan,
I.W. 1995. Teknik In vitro Dalam Hortikultura. Penerbit Swadaya. Jakarta.
Harmanto,
N., 2002 Sehat Dengan Ramuan Tradisional Mahkotadewa. Cetakan Ke empat,
Tangerang, PT. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Larkin P.J.
and W.R. Scowcroft. 1981. Somaclonal variation-a novel source of variability
from cell culture for plant improvement. Theor.Appl.gen. 60 : 197 -214.
Linacero R
and A.W. Vazquez. 1992. Cytogenetic variation in rye regenerated plants and
their progenies. Genome 35: 428-430.
Muller E,
P.T.H Brown., S Hartke and H Lorz. 1990. DNA variation in tissue culture
derived rice plants. Theor. Appl. Genet. 80: 673-679.
Rahardja
PE. 1988. Kultur Jaringan Teknik
Perbanyakan Tanaman Secara Modern. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suryowinoto,
M. 1996. Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro. Kanisius. Yogyakarta.
Syarifah
Iis Aisyah, Surjono H. Sutjahjo, Rustikawati dan Catur Herison . 2009. Induksi
Kalus Embriogenik pada Kultur In Vitro Jagung (Zea mays) dalam Rangka
Peningkatan Keragaman Genetik Melalui Variasi Somaklonal. ISSN 1411 – 0067
Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Edisi Khusus, No. 3 2007, Hlm. 344 - 350
344.
Willadsen,
S.M. 1979. A method for culture of micromanipulated sheep embryos and its use
to produce monozygotic twins. Nature, 277:298-30.
0 komentar:
Posting Komentar