MAKALAH KULTUR KACANG HIJAU (Vigna radiata L. Wilczek)


KULTUR KACANG HIJAU (Vigna radiata L. Wilczek)




Oleh :
Luqman
H141 09 050



Tugas Terstruktur
Kultur Jaringan




Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Tanjungpura
Pontianak
2012

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang
            Kacang hijau (Vigna radiata L. Wilczek) termasuk tanaman pangan yang sudah lama dibudidayakan di Indonesia (Arora dan Mauria 1993). Budi daya kacang relatif mudah dengan risiko kegagalan yang kecil. Namun demikian, peningkatan luas pertanamannya hanya sekitar 5%/tahun. Peningkatan yang lambat ini antara lain disebabkan sulitnya petani memperoleh benih yang berkualitas baik serta waktu panen yang tidak serempak (Marzuki dan Soeprapto 2001). Berkembangnya penyakit yang belum diikuti dengan penyediaan varietas tahan juga turut menghambat pengembangan kacang hijau (Astanto dan Sutarman 1993). Persilangan antarspesies memainkan peran penting dalam program pemuliaan tanaman. Teknik ini digunakkan jika keragaman genetik yang diinginkan tidak ditemukan pada spesies yang dibudidayakan. Persilangan antarspesies dapat memfasilitasi introgresi gen antartaksa (Song et al. 1997).
            Persilangan antarspesies juga memungkinkan untuk mendapatkan hibrida dengan variasi yang tinggi, seperti adanya mutasi serta perluasan adaptasi baik terhadap lingkungan abiotik maupun biotik atau memperoleh individu dengan kombinasi karakter yang baru. Persilangan antara kacang hijau dan kacang hitam (Vigna mungo) telah dilakukan di India dan Australia terutama untuk sifat-sifat toleransi terhadap penyakit. Hasil persilangan menunjukkan keguguran embrio yang cukup tinggi dan kegagalan perkecambahan (Jaiwal dan Gulati 1995). Benih F1 yang dihasilkan bersifat fertil parsial bahkan steril, lambat matang, dan muncul beberapa sifat morfologi lain yang merupakan perpaduan antara kedua tetuanya (Gosal dan Bajaj 1983). Untuk menyelamatkan embrio dan meningkatkan daya kecambah biji F1 dapat dilakukan dengan kultur in vitro. Teknik ini banyak digunakan untuk menyelamatkan embrio atau biji hasil persilangan dengan cara mengkulturkannya pada media tumbuh yang sesuai (Raghavan 1986). Keberhasilan teknik kultur in vitro ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain kondisi dan hubungan kekerabatan genotipe yang digunakan sebagai tetua, formulasi media, dan umur biji muda (embrio) yang dikulturkan.
            Persilangan antarspesies umumnya menghasilkan tanaman F1 yang fertil parsial hingga steril penuh/ murni, karena genom berasal dari tetua yang berbeda, sehingga ketika pembelahan sel meiosis terjadi pembentukan multivalen (Poespodarsono 1988). Akibatnya gamet yang terbentuk memiliki kromosom yang khimera (Hansen dan Andersen 1998). Tanaman F1 fertil dari persilangan dengan genom yang berbeda dapat diperoleh bila terbentuk amphidiploid atau allotetraploid. Tanaman ampidiploid dapat diperoleh dengan menggandakan genom tanaman F1 dan genom tetua yang akan disilangkan, serta melakukan hibridisasi somatik (fusi protoplas) dari kedua tetua. Penggandaan kromosom buatan umumnya dilakukan dengan menambahkan senyawa kolkisin. Senyawa ini akan menghambat pembentukan dan aktivitas benang-benang gelendong pada saat mitosis, dimana pada tahap metafase kromosom tidak bergerak ke arah dua kutubnya tetapi tetap berada di daerah ekuator bahkan dapat kembali mengganda (Strickberger 1985). Senyawa kolkisin dapat digunakan baik pada kultur in vivo maupun in vitro. Efisiensi yang dicapai kedua cara ini relatif sama, namun kultur in vitro lebih efektif karena perlakuannya dapat dikenakan pada tingkat sel (Husni et al. 1995).
            Penyelamatan embrio dengan kultur embrio dan penggandaan kromosom embrio F1 hasil persilangan diharapkan dapat menghasilkan tanaman amphidiploid yang normal dan fertil. Selanjutnya, tanaman hasil persilangan ini dapat diseleksi dan diuji ketahanannya terhadap penyakit kudis. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan aksesi kacang hitam toleran penyakit kudis yang sesuai untuk disilangkan dengan kacang hijau varietas Walet, mengetahui umur yang tepat untuk menyelamatkan embrio dan mencari formulasi media yang sesuai untuk mengecambahkannya, serta mengetahui konsentrasi kolkisin yang dapat menggandakan kromosom F1 hasil persilangan.
            Tauge merupakan bahan makanan yang cukup familiar di Indonesia terutama sebagai bahan pelengkap masakan. Bahkan pada beberapa masakan khas daerah menggunakan tauge sebagai salah satu bahan bakunya, seperti paa masakan soto di beberapa daerah ataupun masakan rawon yang ada di Jawa Timur.
            Tauge merupakan bahan makanan yang dihasilkan dari perkecambahan biji kekacangan seperti kacang hijau maupun kacang kedelai. Meskipun sebagian besar tauge dibuat dengan menggunakan kacang hijau (Vigna radiata L.). kacang hijau merupakan tanaman tropis dataran rendah yang dapat dibudidayakan pada ketinggian 5-700 m diatas permukaan laut (mdpl). Di daerah dengan ketinggian diatas 700 mdpl produksi kacang hijau menurun (Warintek-Progressio, 2010). Kacang hijau juga merupakan salah satu jenis kekacangan (legume) yang merupakan sumber protein nabati setelah kedelai dan kacang tanah (Wikipedia, 2010).
            Perubahan bentuk dari biji menjadi tauge ditujukan untuk diversifikasi produk serta meningkatkan nilai gizi yang terkandung. Tauge mempunyai vitamin lebih banyak dibandingkan dengan bentuk bijinya. Selama berkecambah, kadar vitamin B meningkat 2,5 sampai 3 kali lipat. Demikian juga dengan vitamin E, mengalami peningkatan dari 24-230 mg per 100 gram biji kering menjadi 117-662 mg per 100 gram kecambah. Vitamin C yang tidak terdapat dalam biji kedelai, mulai terbentuk pada hari pertama berkecambah hingga mencapai 12 mg per 100 gram setelah 48 jam (Anonim, 2010).
Berdasarkan berat kering, protein tauge kacang hijau meningkat menjadi 119 persen dibandingkan dengan kandungan awal pada biji. Hal ini disebabkan terjadinya sintesa protein selama proses germinasi. Selama proses berkecambah, terjadi hidrolisis protein yang menyebabkan kenaikan kadar asam amino di dalam kecambah (Anonim, 2010). Sehingga cukup tepat jika menjadikan tauge sebagai sumber protein karena memiliki kandungan asam amino esensial yang sangat potensial.
Pemanfaatan tauge sebagai bahan pangan juga dipengaruhi oleh kandungan gizi yang cukup beragam. Tauge kaya akan zat gizi, setiap 100 g tauge mengandung energi 50 kkal, kalsium 32 mg, potasium 235 mg, besi 897 mg, fosfor 75 mg, seng 960 mg asam folat 160 mg, vitamin C 20 mg dan vitamin B2 163 mg (Sutomo, 2007).
Peningkatan kadar protein pada tauge terjadi akibat adanya peristiwa hidrolisis yang terjadi pada saat germinasi atau perkecambahan. Pada saat berkecambah terjadi hidrolisis karbohidrat, protein dan lemak menjadi senyawa yang lebih sederhana, sehingga mudah dicerna. Selama proses itu pula terjadi peningkatan jumlah protein dan vitamin, sedangkan kadar lemaknya mengalami penurunan (Astawan, 2003)
Setelah perkecambahan, bentuk tersebut diaktifkan, sehingga meningkatkan daya cerna bagi manusia. Peningkatan zat-zat gizi pada tauge mulai tampak sekitar 24-48 jam saat perkecambahan. Germinasi meningkatkan daya cerna karena berkecambah merupakan proses katabolis yang menyediakan zat gizi penting untuk pertumbuhan tanaman melalui reaksi hidrolisis dari zat gizi cadangan yang terdapat di dalam biji. Melalui germinasi, nilai daya cerna kacang-kacangan akan meningkat, sehingga waktu pemasakan atau pengolahan pun menjadi lebih singkat.
Protein kacang-kacangan umumnya kaya akan lisin, leusin, dan isoleusin, tapi terbatas dalam hal kandungan metionin dan sistin. Hal ini menyebabkan kacang-kacangan sering dikombinasikan dengan serealia. Sebab, serealia kaya akan metionin dan sistin, tapi miskin lisin. Selain itu, kacang-kacangan juga merupakan sumber lemak, vitamin, mineral, dan serat pangan (dietary fiber). Kadar serat dalam kacang-kacangan mempunyai peran yang sangat penting akhir-akhir ini, yaitu untuk mencegah berbagai penyakit degeneratif. Selain senyawa-senyawa yang berguna, ternyata kacang-kacangan juga mengandung antigizi. Beberapa senyawa antigizi terpenting yang terdapat dalam kacang-kacangan adalah antitripsin, hemaglutinin atau lektin, oligosakarida, dan asam fitat. Salah satu upaya untuk menginaktifkan zat-zat antigizi tersebut adalah dengan membuat kacang-kacangan berkecambah menjadi tauge. Membuatnya Mudah Berkecambah merupakan suatu proses keluarnya bakal tanaman (tunas) dari lembaga. Proses itu disertai dengan terjadinya mobilisasi cadangan makanan dari jaringan penyimpanan atau keping biji ke bagian vegetatif (sumbu pertumbuhan embrio atau lembaga). Biji kacang hijau, kacang tunggak, atau kedelai yang dikecambahkan umumnya disebut sebagai tauge. Selama proses berkecambah, bahan makanan cadangan diubah menjadi bentuk yang dapat digunakan, baik untuk tumbuhan maupun manusia.
Menurut Prof. Made Astawan (2003), Proses berkecambah (germinasi) dipengaruhi oleh kondisi dan tempat. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh adalah air, gas, suhu, dan cahaya. Temperatur optimum untuk proses berkecambah adalah 34oC. Cara pembuatan kecambah atau tauge yang digunakan sebagai sayur adalah sebagai berikut: Kacang-kacangan direndam dalam air selama satu malam. Kemudian ditebarkan di tempat yang mempunyai lubang-lubang dan diberi daun, kain, atau kertas merang sebagai substrat untuk menjaga kelembaban agar kacang-kacangan tidak busuk. Setiap hari disiram dengan air sebanyak 4-5 kali. Setelah satu hari germinasi akan dihasilkan kecambah dengan panjang sekitar satu cm. Setelah dua hari akan mencapai empat cm, dan 3-5 hari 5-7 cm. Mudah Dicerna Kandungan zat gizi pada biji sebelum dikecambahkan berada dalam bentuk tidak aktif (terikat).
Beberapa faktor yang mempengaruhi kandungan nutrisi tanaman adalah serapannya terhadap nutrisi yang tersedia. Proses perkecambahan tauge terjadi akibat adanya air imbibisi yang masuk melalui kulit biji dan mengaktifkan enzim sehingga terjadilah proses germinasi (Lakitan, 2000). Kandungan nutrisi yang diberikan pada proses pembuatan tauge akan mempengaruhi kandungan gizi tauge.
Air kelapa merupakan salah satu produk tanaman yang dapat dimanfaatkan  untuk  meningkatkan kesuburan dan pertumbuhan tanaman. Menurut Dwijoseputro (1994) dalam hasil penelitian Fatimah (2008) air  kelapa selain mengandung mineral  juga 3 mengandung sitokinin, fosfor dan kinetin yang berfungsi mempergiat pembelahan sel serta pertumbuhan tunas dan akar. Selama ini air kelapa banyak digunakan di laboratorium sebagai nutrisi tambahan di dalam media  kultur jaringan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan National Institute of Molecular Biology and Biotechnology (BIOTECH) di UP Los Baños, menujukkan air kelapa kaya akan kalium hingga 17 %. Mineral lainnya antara lain Natrium (Na), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Ferum (Fe), Cuprum (Cu), Fosfor (P) dan Sulfur (S). Selain kaya mineral, air kelapa juga mengandung gula  antara 1,7 sampai  2,6 %, protein 0,07 hingga 0,55 % dan mengandung berbagai macam vitamin seperti  asam sitrat, asam nikotina, asam pantotenal, asam folat, niacin, riboflavin dan thiamin. Terdapat pula 2 hormon alami yaitu auksin dan sitokinin sebagai pendukung pembelahan sel embrio kelapa.
1.2. Tujuan
            Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
  1. Mempelajari pengaruh pemberian air kelapa pada proses pembuatan tauge terhadap kadar protein tauge.
  2. Mempelajari pengaruh perlakuan suhu terhadap kandungan protein tauge kacang hijau.
  3. Mengetahui tentang jenis tanaman yang bias di kulturkan dan mengetahui media yang digunakan, sehingga mahasiswa dapat memahami jelas tentang kultur in vitro.
  4. Mendapat pengetahuan dan wawasan dalam kultur embrio pada tanaman kacang hijau.















BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Kultur Embrio Dan Penggandaan Kromosom Hasil Persilangan Kacang Hijau Dan Kacang Hitam
            Persilangan antarspesies sangat ditentukan oleh kedekatan hubungan kekerabatannya. Hubungan kekerabatan kedua tetua yang makin dekat meningkatkan keberhasilan persilangan, sebaliknya hubungan yang makin jauh akan memperkecil keberhasilan persilangan. Penggunaan tiga varietas kacang hitam dimaksudkan untuk menilai varietas yang paling sesuai disilangkan secara resiprokal dengan kacang hijau serta menghasilkan biji yang dapat berkecambah sehingga diperoleh tanaman F1 yang fertil. Ketiga aksesi kacang hitam yang digunakan memiliki ketahanan yang cukup tinggi terhadap penyakit kudis. Keberhasilan persilangan kacang hijau varietas Walet dengan tiga nomor kacang hitam VR-35, VR-34, dan lokal Madura No. 19/1 pada umumnya masih rendah (Tabel 1). Hal ini ditunjukkan oleh persentase polong yang dapat dipanen (umur 3 minggu setelah polinasi) yang hanya 21,7-51,3%. Persentase keberhasilan polinasi cukup tinggi dengan kisaran 72,5-90,0%. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan kekerabatan kacang hijau dan kacang hitam cukup dekat.
            Hambatan genetik kurang berpengaruh fertilisasi, tetapi hambatan genetik ini berpengaruh nyata setelah fertilisasi (postzygotic barriers). Hal ini ditandai dengan tingginya polong muda yang gugur hingga hari ke-21 setelah polinasi, mencapai 76,5%. Gugur polong terjadi sejak hari pertama hingga 3 minggu setelah polinasi, bahkan polong yang sudah berbiji pun dapat gugur. Pada polong yang gugur, embrio umumnya kisut sehingga tidak dapat dikulturkan. Gugurnya polong muda dapat disebabkan oleh inkompatibilitas setelah fertilisasi, karena endosperma gagal berkembang sehingga tidak dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan embrio. Kegagalan pertumbuhan endosperma dapat disebabkan oleh laju pembelahan sel yang rendah atau bahkan terhenti sehingga mengakibatkan terjadinya degradasi jaringan endosperma yang sudah terbentuk (Hadley dan Openshaw 1980).
            Pertumbuhan embrio sangat bergantung pada endosperma sebagai sumber nutrisi. Persentase keberhasilan pembentukan polong tertinggi (51,3%) diperoleh dari persilangan kacang hijau dengan kacang hitam lokal Madura No. 19/1. Polong muda yang gugur juga paling rendah (32,1%) dibandingkan persilangan dengan VR-34 dan VR-35. Penampakan polong hasil persilangan ini kurang baik dibanding persilangan lainnya bahkan jumlah biji kisut pada setiap polong paling banyak. Kualitas polong yang paling baik dihasilkan dari persilangan Walet dengan VR-35. Polong dapat berbiji dengan jumlah biji kisut hanya sedikit bahkan hampir tidak ada, kualitas bijinya baik dengan kotiledon yang terbentuk sempurna. Namun, persilangan Walet dengan VR-35 sulit dilakukan dengan keberhasilan persilangan hingga terbentuk polong hanya 21,7%, embrio yang gugur cukup tinggi (76,5%), tetapi keberhasilan polinasinya tertinggi (90%). Pada kacang-kacangan, pertumbuhan embrio sangat bergantung pada endosperma sebagai sumber nutrisi. Persentase keberhasilan pembentukan polong tertinggi (51,3%) diperoleh dari persilangan kacang hijau dengan kacang hitam lokal Madura No. 19/1.Pembentukan biji bervariasi dari normal hingga tidak normal (pengisian biji tidak maksimal) sehingga biji kisut atau hanya berisi ovul yang membengkak (tidak dibuahi) yang akhirnya gugur. Warna kulit biji hasil persilangan mengikuti warna kulit biji tetua kacang hijau yaitu hijau kecoklatan.
            Embrio diisolasi dari polong yang terbentuk dengan mengupas kulit biji, kemudian ditanam pada medium perkecambahan. Embrio yang berhasil diisolasi memiliki kualitas yang beragam, dari normal (embrio dengan endosperma-kotiledon) hingga tidak normal (biji yang tidak memiliki embrio atau biji hampa). Menurut Miyazaki et al. (1984), biji hasil persilangan kacang hijau (tetua betina) dengan kacang hitam tetua jantan) berbentuk normal hingga tidak normal, kadang biji pecah dengan kotiledon menonjol atau pengisian biji (kotiledon) tidak maksimal sehingga tampak kisut. Hasil persilangan juga menunjukkan bahwa kacang dan kacang hitam mempunyai hubungan kekerabatan yang relatif dekat karena persilangan dapat menghasilkan F1 yang berkecambah. Namun, tingkat kedekatan tiga aksesi/varietas kacang hitam yang digunakan bervariasi, di mana aksesi VR-35 memiliki hubungan yang paling dekat dengan kacang hijau dibandingkan aksesi VR-34 dan lokal Madura No. 19/1.
2.2 Kultur Embrio
            Pengaruh umur polong setelah polinasi pada kultur embrio hasil persilangan antarspesies, umur embrio saat dikulturkan sangat mempengaruhi keberhasilan persilangan, mengingat embrio yang gugur sangat tinggi dan hal ini tidak dapat diduga sebelumnya. Pada penelitian ini, keguguran polong/ embrio berlangsung sejak hari pertama sampai hari ke- 21 setelah polinasi. Di lain pihak, penanaman embrio yang masih sangat muda menghadapi kendala teknis sulitnya mengisolasi embrio dari polong karena ukuran embrio sangat kecil. Selain itu, penanaman embrio yang sangat muda memerlukan formulasi media yang lebih kompleks.
            Penggunaan embrio yang lebih matang akan mempermudah isolasi serta formulasi media yang digunakan lebih sederhana, tetapi embrio yang gugur (embrio tidak berkecambah) akan meningkat. Pada penelitian ini, embrio dipanen pada umur 1, 2, dan 3 minggu setelah polinasi karena pemasakan embrio kacang hijau berkisar antara 4-6 minggu, sementara kacang hitam 6-9 minggu. Diharapkan sampai umur 3 minggu setelah polinasi, embrio belum gugur tetapi cukup matang untuk berkecambah dan mudah diisolasi. Semua embrio hasil persilangan kacang hijau dan kacang hitam dapat berkecambah pada media yang digunakan (Tabel 2). Persentase perkecambahan cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya umur embrio yang dikulturkan.
            Peningkatan umur embrio juga mempercepat waktu perkecambahan karena embrio lebih matang. Persentase perkecambahan hasil persilangan tiga nomor kacang hitam pada umur embrio yang sama beragam. Persentase perkecambahan terbaik (55,13%) diperoleh dari embrio umur 3 minggu dari tetua jantan kacang hitam VR-35, dengan rata-rata waktu perkecambahan 5,4 hari setelah tanam. Perkecambahan hampir tidak terjadi pada embrio umur 3 minggu dengan tetua jantan kacang hitam VR-34, dan embrio yang berhasil berkecambah memerlukan waktu 29 hari setelah tanam. Biji hasil persilangan dengan tetua jantan VR-34 umumnya memiliki kulit yang pecah karena pertumbuhan kotiledon sangat pesat sehingga menghambat pertumbuhan embrio aksis.
            Hal ini menunjukkan bahwa embrio dengan kondisi yang tidak sempurna (embrio terhambat oleh kotiledon) memerlukan waktu yang lebih lama untuk berkecambah. Hasil yang sama diperlihatkan oleh embrio umur 1 minggu hasil persilangan dengan kacang hitam VR-35 dan lokal Madura No. 19/1, masing-masing 31,4 dan 30,5 hari. Persilangan dengan tetua jantan kacang hitam VR-35 menghasilkan perkecambahan yang cukup baik pada semua umur embrio dan media yang digunakan. Penggunaan embrio yang makin tua akan meningkatkan persentase embrio berkecambah serta mempersingkat waktu perkecambahan. Hal ini sesuai dengan Pierik (1987) yang menyatakan bahwa kultur embrio matang lebih sederhana/mudah dibandingkan dengan kultur embrio muda. Pada umur 3 minggu setelah polinasi, kondisi embrio cukup baik dengan kotiledon yang sempurna.
            Beberapa embrio memiliki kotiledon yang besar sehingga kulit biji agak merekah, hal itu tidak mengganggu perkecambahan. Dengan kondisi embrio yang hampir sempurna, embrio tidak memerlukan waktu yang lama untuk berkecambah dengan rata-rata waktu kecambah 5,4 hari setelah tanam. Keberhasilan perkecambahan embrio yang lebih muda hanya 9,52% untuk embrio umur 1 minggu dan 21,35% untuk embrio umur 2 minggu setelah polinasi. Penurunan persentase embrio berkecambah diikuti dengan peningkatan rata-rata waktu berkecambah, yaitu 31,4 hari untuk embrio 1 minggu dan 16,7 hari untuk embrio 2 minggu setelah polinasi.
            Embrio umur 1 minggu setelah polinasi agak sulit diisolasi karena ukurannya hanya + 2 mm termasuk kulit biji dan embrio masih berupa cairan. Pada umur 2 minggu embrio sudah terlihat, tetapi ukuran kotiledonnya masih kecil. Embrio umur 1 dan 2 minggu setelah polinasi mungkin memerlukan formulasi media yang lebih kaya atau lebih kompleks untuk meningkatkan perkecambahannya. persilangan dengan tetua jantan kacang hitam VR-34, peningkatan umur embrio justru menurunkan persentase perkecambahan, bahkan pada embrio umur 3 minggu, rata-rata perkecambahan di bawah 1%. Pada umur 3 minggu, kulit biji telah pecah dan kotiledon tumbuh sangat pesat sehingga menghambat pertumbuhan embrio aksis. Hal seperti ini juga terjadi pada persilangan antarspesies Solanum, di mana pertumbuhan endosperma hibrida menggungguli pertumbuhan embrio sehingga embrio gugur muda (Handayani 1995). Pada embrio yang lebih muda, pertumbuhan kotiledon belum menghambat pertumbuhan embrio aksis sehingga persentase perkecambahannya 22,27% (embrio 1 minggu) dan 22,43% (embrio 2 minggu). Hal ini menunjukkan bahwa penentuan umur embrio yang akan dikecambahkan harus memperhatikan faktor keguguran embrio dan hubungan kekerabatan tetua yang digunakan.    
            Kultur embrio yang lebih tua relatif lebih mudah dengan formulasi media yang lebih sederhana, tetapi tidak dapat menjamin keberhasilan perkecambahan in vitro bagi embrio hasil persilangan. Pada persilangan dengan tetua jantan kacang hitam lokal Madura No. 19/1, perkecambahan embrio cenderung menyerupai embrio hasil persilangan dengan Namun demikian, pertumbuhan embrio lokal Madura No. 19/1 umur 3 minggu lebih rendah dengan rata-rata waktu berkecambah yang lebih lama dibanding VR-35. Hal ini menunjukkan perkecambahan embrio dari tetua jantan lokal Madura mungkin dapat meningkat bila dikulturkan pada umur yang lebih tua. Rendahnya perkecambahan mungkin juga menunjukkan ketidaksesuaian antara kacang hijau varietas Walet dengan kacang hitam lokal Madura.
2.3 Pengaruh Media Perkecambahan
            Perkecambahan in vitro juga ditentukan oleh komposisi media dan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media untuk menggantikan peran endosperma. Pengecambahan embrio yang lengkap biasanya tidak memerlukan formulasi media yang rumit, bahkan pada beberapa jenis tanaman, embrio dapat tumbuh pada media dasar tanpa zat pengatur tumbuh, seperti pada embrio hasil persilangan S. khasianum dan S. capsicoides (Handayani 1995). Hasil penelitian menunjukkan bahwa embrio hasil persilangan antara kacang hijau dan kacang hitam dapat berkecambah pada semua media yang digunakan, baik media yang sederhana (medium dasar media yang lebih kaya (MS) maupun media yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh. Secara umum penambahan zat pengatur tumbuh BA pada media dasar dapat meningkatkan persentase perkecambahan.
            Embrio yang lebih muda, penambahan 1 mg/l dapat meningkatkan persentase perkecambahan yang lebih baik daripada tanpa penambahan BA. Pada persilangan dengan tetua jantan hitam VR-35, persentase perkecambahan terbaik 90%) diperoleh pada medium Knudson + BA 1 waktu berkecambah 3,6 hari. Persentase perkecambahan tinggi (81%) juga diperoleh dari embrio umur 1 minggu dari tetua jantan kacang hitam VR-34 yang dikulturkan pada medium Knudson modifikasi + BA 1 mg/l. Namun demikian waktu berkecambahnya jauh lebih lama (19,7 hari). Media dasar Knudson ternyata cukup baik untuk mengecambahkan embrio hasil persilangan antarspesies, kecuali untuk embrio yang lebih muda dengan tetua jantan VR-35 dan lokal Madura No. 19/1. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mariska et al. (1998) pada embrio hasil persilangan antarspesies panili. Penggunaan medium MS yang diencerkan 1/2 kali lebih baik daripada MS penuh.
            Kandungan garam makro media MS yang diencerkan ini hampir sama dengan garam makro media Knudson. Penambahan BA pada medium perkecambahan juga berhasil pada perkecambahan embrio F1 panili liar dan panili budi daya dengan media 1/2 MS + BA 1 mg/l (Mariska et al. 1998), embrio F1 Vigna unguiculata dan V. vexillata pada media MS + BA 1 mg/l + adenin sulfat + kasein hidrolisat (Gomathinayagami et al. 1997), embrio F1 Glycine max dan G. canescens pada media B5 + BA 1 μM + NAA 0,1 μM (Bodanese- Zanettini et al. 1996), dan embrio F1 C. arietinum dan C. pinnatifidum pada media B5 + BA 2 mg/l + IAA (Badami et al. 1997). Perkecambahan embrio muda (umur 1 dan 2 minggu) dari tetua jantan kacang hitam VR-35 dan lokal Madura No. 19/1 lebih baik pada medium MS + IAA dan kinetin. Tunas-tunas yang tumbuh memperlihatkan keragaman yang tinggi Tunas tersebut kemudian disubkultur pada media MS atau B5 untuk diperbanyak secara klonal.
            Tunas-tunas ini tidak dapat mengganda, baik tunas adventif maupun aksilar. Umumnya tunas menunjukkan gejala pembentukan kalus pada pangkal tunas, daunnya gugur dan layu serta akar tidak terbentuk dengan baik. Pelayuan dan gugurnya daun menyebabkan subkultur tunas harus dilakukan dengan cepat, dalam waktu 2 minggu setelah tanam daun mulai layu dan akhirnya gugur. Pelayuan ini juga terjadi pada tunas-tunas pucuk yang disubkultur. Untuk mengurangi daun yang gugur dan layu, dicoba ditambahkan arginin dan glutamin maupun AgNO3 konsentrasi rendah, namun pertumbuhan tunas justru terhambat dan akhirnya mati. 
            Pembentukan akar dicoba diinduksi dengan menambahkan auksin (IAA, IBA, dan NAA) konsentrasi rendah, tetapi penambahan zat pengatur tumbuh ini justru menginduksi pembentukan kalus. Perbanyakan klonal pada F1 hasil persilangan kacang hijau dan kacang hitam tidak menambah jumlah tunas, tetapi tunas justru berkurang karena mati akibat pelayuan dan kontaminasi karena seringnya tunas disubkultur. Tunas-tunas yang berhasil membentuk akar dengan jumlah daun lebih dari dua diaklimatisasi pada medium campuran tanah dan kompos. Namun, plantlet umumnya hanya bertahan hidup sampai 2 minggu, dan beberapa tanaman yang bertahan hidup hingga 12 minggu tidak berbunga. Hal ini menunjukkan hasil persilangan bersifat steril, karena ketidakcocokan kromosom antartetua sehingga kromosom tidak berpasangan.
2.4 Penggandaan Kromosom
            Salah satu upaya untuk mengatasi sterilitas hasil persilangan adalah dengan menggandakan kromosom secara buatan sedini mungkin. Penggandaan pada.tahap dini dimaksudkan untuk meningkatkan peluang mendapatkan tanaman ampidiploid (Poespodarsono 1988). Penggandaan kromosom secara in vitro dapat dilakukan pada bahan tanaman yang masih sangat muda, bahkan pada tingkat sel (Husni et al. 1995). Pada penggandaan kromosom secara in vitro, embrio hasil persilangan antara kacang hijau dan kacang hitam VR-35 memberikan persentase perkecambahan tertinggi. Penggandaan dilakukan dengan mengkulturkan embrio umur 2-3 minggu pada medium perkecambahan yang ditambah dengan kolkisin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa embrio gagal berkecambah untuk setiap ulangan penggandaan. Embrio tidak mati, tetapi plumula gagal membentuk tunas sementara radikel tidak memanjang tetapi hanya mengalami pembengkakan. Daun pertama dapat tumbuh dan berwarna hijau tetapi hanya bertahan beberapa hari kemudian gugur. Kotiledon dan radikel membesar lalu membentuk kalus, tetapi kalus tida dapat beregenerasi.
            Masalah pengkalusan ini sulit diatasi meskipun sudah dicoba dengan menambahkan antiauksin ke dalam medium. Pada beberapa perlakuan, yang terbentuk menyerupai kalus embriogenik, tetapi kalus ini sulit beregenerasi membentuk benih somatik atau bila berhasil benih somatik yang terbentuk tidak sempurna. Analisis kromosom dengan metode squash sulit dilakukan karena kalus tumbuh menutupi titik-titik tumbuh, baik meristem tunas maupun ujung akar. Jumlah kromosom kalus tidak dapat dianalisis karena sulitnya menentukan tahap metafase sel akibat pembelahan sel kalus yang sangat aktif dan cepat. Penggandaan embrio diulang dengan mengganti media pemulihan setelah perlakuan kolkisin. Pemulihan dilakukan dengan mengkulturkan embrio pada media perkecambahan yang diberi arang aktif 0,2% untuk mengurangi residu kolkisin yang terbawa.
            Arang aktif dapat mengikat toksin yang dikeluarkan oleh eksplan. Subkultur ini berhasil mengurangi pengkalusan bahkan beberapa tunas dapat tumbuh. Tunas berhasil diperoleh dari semua konsentrasi perlakuan kolkisin 0,05; 0,15; dan 0,25% dan diinkubasi selama 2 hari. Tunas terbanyak diperoleh dari konsentrasi kolkisin 0,15%. Analisis kromosom dilakukan dengan mempersingkat perendaman dalam larutan hidroksikuinolin menjadi hanya 2 jam. Semua eksplan yang hidup dianalisis jumlah kromosomnya. Tanaman hasil persilangan antarspesies biasanya steril akibat ketidakseimbangan kromosom ketika terjadi pembelahan. Pada saat mitosis sering terjadi pergerakan kromosom yang multivalen sehingga terbentuk sel-sel khimera dengan jumlah kromosom homolog sedikit atau tidak ada sama sekali. Hambatan ini dapat diatasi dengan menggandakan kromosom secara buatan seperti dengan perlakuan kolkisin. Hasil analisis menunjukkan adanya keragaman jumlah kromosom dari eksplan yang berhasil difiksasi pada tahap metafase, meskipun dengan perlakuan kolkisin yang sama.
            Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan jumlah kromosom dari embrio F1 yang digandakan. Tingkat ploidi kromosom tidak dapat diketahui karena embrio langsung digandakan tanpa dilihat terlebih dahulu jumlah kromosom awalnya. Jumlah kromosom awal sulit diperoleh karena biakan tidak dapat diperbanyak secara klonal. Perlakuan kolkisi 0,25% memberikan jumlah kromosom terbanyak (72). Perlakuan kolkisin yang lebih lama juga meningkatkan jumlah kromosom. Tunas yang diperoleh berasal dari biakan dengan jumlah kromosom 36-60.

























BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

            Tetua kacang hitam VR-35 paling sesuai untuk disilangkan dengan kacang hijau dengan hasil persilangan F1 yang paling baik. Embrio dapat berkecambah sampai umur embrio 3 minggu setelah polinasi, kecuali pada persilangan dengan kacang hitam VR-34. Perk
ecambahan embrio secara in vitro dapat dilakukan pada medium dasar Knudson. Penambahan BA 1 mg/l dapat meningkatkan persentase embrio berkecambah. Tunas terbanyak diperoleh dari perlakuan kolkisin 0,15% dan diinkubasi 2 hari. Jumlah kromosom terbanyak diperoleh dari konsentrasi kolkisin 0,25%.
            Penggunaan embrio yang lebih matang akan mempermudah isolasi serta formulasi media yang digunakan lebih sederhana, tetapi embrio yang gugur (embrio tidak berkecambah) akan meningkat. Pada penelitian ini, embrio dipanen pada umur 1, 2, dan 3 minggu setelah polinasi karena pemasakan embrio kacang hijau berkisar antara 4-6 minggu, sementara kacang hitam 6-9 minggu. Diharapkan sampai umur 3 minggu setelah polinasi, embrio belum gugur tetapi cukup matang untuk berkecambah dan mudah diisolasi. Semua embrio hasil persilangan kacang hijau dan kacang hitam dapat berkecambah pada media yang digunakan. Persentase perkecambahan cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya umur embrio yang dikulturkan.








DAFTAR PUSTAKA

Husni, A., D. Sukmadjaja, dan I. Mariska. 1995. Variasi somaklonal tanaman panili dengan mutagen kimia colchicines secara in vitro. hlm. 8-16. Prosiding Evaluasi dan Hasil Penelitian Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.
Astanto, K. dan T. Sutarman. 1993. Perbaikan genetik kacang hijau untuk stabilitas hasil. Dalam Kacang Hijau. Edisi Khusus Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbiumbian, Malang. hlm. 25-49.
Marzuki, R. dan H.S. Soeprapto. 2001. Bertanam Kacang Hijau. Penebar Swadaya, Depok.
Raghavan, V. 1986. Variability through wide crosses and embryo rescue. p. 631-633. In I.K. Vasil (Ed.). Cell Culture and Somatic Cell Genetic of Plant. Vol. 3. Academic Press Inc., New York.
Fatimah, Siti Nur. 2008. Efektivitas Air Kelapa Dan Leri Terhadap Pertumbuhan  Tanaman Hias Bromelia (Neoregelia carolinae) Pada Media Yang Berbeda. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Ihsan, Nur. 1994. Pengaruh pH Air Siraman dan Umur Perkecambahan Terhadap Karakteristik Mutu Tauge Kacang Hijau (Vigna radiata (L) Wilczek.). Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Institut pertanian Bogor. Bogor.
Lakitan, Benyamin. 2000. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Rajawali Press. Jakarta.


1 komentar:

Anonim mengatakan...

По своей натуре мужчин больше интересует проблема Который делать?, а женщин - Который виноват? [url=http://profvesti.ru/stroitelstvo-bani.html]строительный портал россии[/url]